Kategori
Jurnalisme Warga EEJ 2024 Leuser Perempuan Berdaya

Sepak Terjang Rosi Sebagai Perempuan Konservasionis di Hutan Leuser

Oleh  Nurul Islamidini*

Stereotip mengenai larangan perempuan berkecimpung di lapangan masih mengakar kuat dalam pola pikir (mindset)sebagian besar masyarakat Aceh. Masyarakat menganggap perempuan lebih baik duduk manis di dalam biliknya mengurusi dapur, sumur, dan kasur. Efek dari paradigma klise semacam itu juga pernah dialami Rosi Safriana. Saat dijumpai langsung di salah satu kafe di Lambhuk pada 31 Maret 2024, Rosi yang merupakan seorang aktivis konservasi yang kerap bertugas dan melakukan penelitian di lapangan itu pun memaparkan kisahnya. 

Motivasi awal Rosi berkiprah di lapangan murni didasari atas kecintaannya akan keindahan alami alam raya. Di samping itu, petuah terkait keindahan semesta yang diucapkan salah seorang dosennya masih terus membekas di benak Rosi hingga hari ini.

“Manusia adalah makhluk surga. Sehingga manusia suka melihat keindahan seperti halnya alam, yang mana alam merupakan serpihan surga,” demikian sang guru berpesan. 

Selama bertugas di kawasan hutan, Rosi menunjukkan dedikasinya dengan mengumpulkan data konservasi dan ikut serta dalam proses pemulihan Kawasan Ekosistem Leuser, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Perempuan berusia 23 tahun ini terlibat langsung dalam berbagai kegiatan lapangan, mulai dari memasang kamera jebakan (camera trap), hingga melakukan penelitian perilaku terhadap orang utan selama 3 bulan. 

Kredit Foto : Makmur Jaya

Namun, perjalanan Rosi di dunia konservasi tak selalu mulus. Tantangan yang dihadapi tidak hanya sebatas stigma fisik perempuan yang dianggap lebih lemah daripada laki-laki, tetapi juga tantangan psikologis, dan sosial.

Sebagai seorang perempuan, Rosi harus menghadapi berbagai kendala; mulai dari rasa tidak nyaman berada di lingkungan yang didominasi oleh perokok, hingga perjuangan untuk memperoleh restu orang tua demi bisa bekerja langsung di kawasan hutan.

Untuk lolos dari proses perizinan untuk bekerja dari orang tua, Rosi pun membagikan kiatnya. “Jadi, kita harus melakukan sebagaimana kita mau penelitian skripsi. Ada proses seminar proposal, revisi, seminar hasil, revisi, hingga sidang,” paparnya. Rosi menjelaskan proses serupa seminar proposal berfungsi memperjelas urgensi sekaligus rencana keberangkatan ke lapangan.

Pada kasus Rosi sendiri, dia akan mulai memberitakan kondisi krusial untuk berangkat ke lapangan kepada orang tuanya sejak setahun sebelum keberangkatan. Menjelang hari keberangkatan, proses seminar proposal diulang kembali dengan merincikan teknis keberangkatan. Setelah itu, orang tuanya biasa akan memberikan revisi berupa pemberian izin bersyarat meliputi permintaan penerimaan surat resmi dari kampus dan lembaga, memberikan kontak aktif staf lapangan, serta foto wajah dan sosial media mereka.

Bagi Rosi, memiliki strict parents merupakan salah satu sumber keberkahan. Lantaran tuntutan orang tuanya, Rosi menjadi lebih selektif akan aktivitas dan lingkup pertemanannya.

Menurutnya, anak perempuan dengan strict parents akan merasa tidak nyaman apabila pulang hingga larut malam. Tanpa pola asuh tersebut, menurut Rosi, bisa jadi anak perempuan akan pulang sesuka hati. 

Di samping itu, Rosi juga harus menghadapi tantangan fisik yang tidak kalah beratnya. Perjalanan ke lapangan seringkali membutuhkan persiapan matang, terutama bagi perempuan muslim yang cenderung menggunakan pakaian lebih banyak.

Ditambah lagi perempuan memiliki siklus datang bulan yang menuntut mereka menggunakan air lebih sering.

Bahkan, kondisi menstruasi tersebut tak jarang memberikan rasa sakit fisik kepada sebagian perempuan yang membuat mereka harus menunda kegiatan lapangan selama beberapa hari.  

Belum lagi ketika mendapati kondisi di mana beberapa staf lapangan laki-laki yang kurang peka terhadap hak perlindungan perempuan. Sehingga mereka kerap melemparkan lelucon vulgar yang membuat staf perempuan tidak nyaman. Namun hal tersebut kembali ke pribadi masing-masing dan tentu tidak semua staf laki-laki bertindak demikian.  

Selaku perempuan yang bekerja di lapangan, masalah terkait fisik tak berhenti sampai di situ. Rosi juga punya kisah menarik terkait bagaimana caranya menjaga diri terkait batasan sentuhan fisik antara dirinya selaku perempuan dengan staf laki-laki.

Terkadang ketika terjatuh, sebagian staf lapangan refleks menolong tanpa meminta izin terlebih dahulu terkait boleh-tidaknya menyentuh. Pada kondisi tersebut, Rosi harus tegas dan berusaha mencari alternatif lain terlebih dahulu seperti menarik kayu, menarik bahu atau lengan yang dilapisi baju, hingga akhirnya menerima pertolongan dengan menggenggam tangan.

Adegan tolong-menolong seperti itu sudah biasa terjadi. Sehingga selaku perempuan Rosi merasa perlu untuk mengatur strategi agar tidak muncul fitnah maupun perasaan di luar urusan profesional.

Terkait tantangan fisik yang dihadapi staf perempuan seperti Rosi, Nawi selaku pembimbing lapangan Rosi turut berpendapat. “Sebelumnya saya curiga kalau Rosi tidak akan mampu menjelajah dan meneliti perilaku orang utan. Namun ternyata dia sanggup berjalan jauh, pulang jam 7-8 malam, bahkan kehujanan. Intinya, dia ternyata perempuan yang luar biasa,” ujarnya saat diwawancarai melalui panggilan video pada 21 April 2024.

Kehati-hatian serupa juga Rosi terapkan ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang berlawanan jenis. Ketika berinteraksi dengan warga desa—misalnya untuk mengadakan sosialisasi—perempuan kerap berada di posisi yang serba salah.

Apabila terlalu ramah, masyarakat bisa salah arti bahkan sampai ‘jatuh hati’. Namun apabila perempuan tersebut terlalu dingin, masyarakat jadi enggan terlibat dan menolak untuk bekerja sama. Sehingga banyak staf perempuan yang tidak dapat mengikuti pola pergaulan tersebut. 

Meski dipenuhi berbagai tantangan sebagai perempuan yang bekerja di lapangan, Rosi tetap bersemangat dan tidak ragu untuk tetap menjelajahi keindahan alam yang ada di sekitarnya. Bahkan sekalipun berjilbab lebar, Rosi mengakui bahwa hal tersebut sama sekali tidak mempersulit kinerjanya selama di lapangan. Bahkan, menurut ceritanya, kain jilbab yang lebar itu bahkan pernah melindunginya dari tajamnya sayatan rotan saat mengeksplorasi hutan. 

Kredit Foto : Junaidi Hanafiah

Berbagai tantangan tersebut nyatanya tidak membuat Rosi kehilangan momentum untuk menikmati keindahan hutan hujan tropis. Berbagai jalur hutan yang dia lalui membawanya menikmati keindahan hutan hujan tropis. Menurutnya, berbagai jalur hutan yang dia lalui memiliki kesan tersendiri. Ada kawasan hutan yang dipenuhi pohon salak, ada yang dipenuhi liana yang airnya dapat diminum, dan ada pula wilayah dipenuhi jurang dan jalan menanjak.

Rosi mengaku takjub saat menyaksikan kasih sayang seekor induk orang utan terhadap anaknya. Sang induk mengupas dan mengunyahkan buah yang keras, lalu diberikan kepada sang anak. Induk tersebut juga menjadikan dirinya sebagai jembatan bagi anaknya ketika hendak melewati ranting pohon yang sulit dijangkau. 

Rosi pun pernah geram sekaligus terkesima ketika Pasto—seekor anak orang utan—menjahilinya dan beberapa peneliti lainnya saat berkunjung. Pasto melempari ranting pada kawanan peneliti yang sedang makan siang. Setelah beberapa kali mereka pindah posisi, Pasto tetap usil melempari para peneliti. Hingga akhirnya, salah seorang anggota peneliti menggoyang-goyangkan dahan tempat Pasto bertengger, ia pun berteriak ketakutan.

Sang induk pun bangun, lantas memeluknya. Sang ibu mengekspresikan sesuatu kepada Pasto dengan bahasa yang tidak manusia mengerti. Namun, ekspresi sang induk seolah-olah mengisyaratkan kepada Pasto bahwa, “Mereka itu peneliti yang tidak merusak alam atau pun mengganggu kita. Jangan diganggu.” Rosi terkesima akan fakta bahwa induk orang utan tidak marah pada kehadiran manusia, tetapi justru fokus memperbaiki kenakalan anaknya.

Di akhir wawancara, Rosi pun menitipkan pesan untuk para perempuan yang kelak berkehendak untuk berkarir di lapangan agar tidak perlu takut.

Menurutnya, tak perlu menjadikan gender sebagai alasan untuk membatasi diri berkecimpung di dunia konservasi.

Kemudian, hendaknya perempuan meluruskan niatnya bahwa hutan bukanlah tempat untuk menampakkan kehebatan diri, tetapi menjadi wadah positif untuk belajar dan bekerja.[]

Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *