Oleh Iyonnas Al Hayati*
Di balik hamparan hutan lebat di kaki Gunung Leuser, tersembunyi sebuah gerbang istimewa. Gerbang menuju dunia flora dan fauna yang memesona, menjadi rumah bagi para ilmuwan dan penjelajah yang ingin menguak misteri alam liar Aceh.
Meski telah menjadi tujuan para peneliti, baik lokal mau pun internasional, mencapai SP (Stasiun Penelitian) Soraya bukan perkara mudah. Memulai perjalanan dari Banda Aceh, Rabu 24 April 2024, perjalanan saya ke kamp singgah di daerah Gelombang, Desa Suka Maju, membutuhkan 10-11 jam melalui perjalanan darat.
Setiba di Gelombang, kami disambut pihak pengelola kamp. Seraya menunggu tibanya kapal robin yang akan kami naiki untuk menuju SP Soraya, kami diajak mengelilingi pasar pekan. Rombongan kami dipandu seorang perempuan ramah bernama Kartini, akrab dipanggil Kak Kar.
Hari itu dia ada di Gelombang untuk membeli persediaan bahan makanan. Gelombang merupakan pusat perdagangan bagi masyarakat sekitar. Di sini dihimpun hasil panen, baik yang dikirim dari Medan maupun hasil kebun masyarakat sekitar.
Hadir sepekan sekali pada hari Rabu, masyarakat menyebut “pasar tumpah” ini sebagai Pasar Raya Pekan Gelombang. Puncak keramaian pasar ini sekitar pukul 10.00 WIB, hingga menjelang siang.
Setelah tiga jam menanti, akhirnya kapal robin yang kami tunggu tiba juga. Kak Kar juga sudah selesai membeli kebutuhan harian untuk di stasiun penelitian. Banyaknya tidak tanggung-tanggung. Maklumlah, bahan makanan itu adalah persediaan untuk sepekan ke depan.
Sebagai koki, Kak Kar tidak setiap hari bisa pergi berbelanja. Selain letak Pasar Gelombang yang sangat jauh, perjalanan melalui sungai juga tidak selalu mulus, karena ada saat air naik atau banjir. Misalnya di musim hujan. Pada saat demikian, perahu tempel berangkat hanya pada waktu tertentu saja.
Saat saya berkunjung, ada 12 orang di Soraya, termasuk saya dan kawan-kawan. Artinya, setiap hari, tiga kali sehari, Kak Kar harus memasak untuk 12 orang, ditambah suguhan minuman hangat dan camilan, setiap pagi dan sore.
Kami menyusuri Lae (Sungai) Alas, sejauh 16 km dengan waktu tempuh 2-3 jam, menggunakan perahu motor tempel. Masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan robin.
Pemandangan indah di sepanjang jalan, tidak mengurangi rasa ingin tahu saya tentang sosok Kak Kar. Tugasnya sebagai juru masak membuatnya harus tinggal di SP Soraya. Kak Kar berpenampilan kokoh, akan tetapi SP Soraya yang dikepung rimba raya tentunya memberikan pengalaman lain bagi mereka yang harus menetap di sana.
Akhirnya kami tiba di dermaga perahu SP Soraya. Stasiun Penelitian ini diberi nama sesuai dengan nama sungai yang mengalir di dekatnya, yaitu Lae Soraya. Jalan menuju kamp adalah jalan hutan yang terjal.
Pada 1970-an, Stasiun Penelitian Soraya merupakan kawasan Hak Perusahaan Hutan (HPH) PT. ASDAL dan PT. HARGAS. Setelah masa izin penguasaan hutan untuk dua perusahaan tersebut habis, kemudian LDP (Leuser Development Program) membangun Stasiun Penelitian Soraya pada tahun 1994. Kamp ini pernah dibakar OTK pada 2001, saat konflik bersenjata berkobar di Aceh. Pada tahun 2016 FKL bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh membangun kembali stasiun penelitian ini.
Badan terasa letih, setelah makan malam yang sedap, saya langsung tertidur. Namun, pukul empat pagi saya terbangun. Hidung saya tergelitik harumnya masakan. Di dapur, ternyata Kak Kar sudah sibuk memasak.
“Wah, sudah bangun? Sini duduk, Kakak buatkan teh,” sapa Kak Kar hangat. Sambil meladeni obrolan saya, Kak Kar mengolah bahan yang dibeli pada saat di pasar tadi menjadi sarapan yang menggugah selera.
“Setiap hari Kakak memang harus bangun cepat. Seringkali pukul 4 pagi seperti sekarang, tapi kadang-kadang malah jam 2 sudah bangun. Memasak bekal, untuk adik-adik yang akan mengadakan penelitian, masuk ke hutan mencari orangutan,” kata Kak Kar saat saya tanya.
Kegiatan memasak dan menyiapkan makanan ini terlihat sederhana. Namun ternyata sebelum Kak Kar datang, jabatan koki di SP Soraya sudah berkali-kali berganti. Kebanyakan juru masak sebelum Kak Kar kurang betah karena lokasi kerja mereka di tengah hutan raya.
“Awalnya, Kakak bekerja di Resort Taman Nasional di Ketambe,” cerita Kak Kar. “Lalu Kakak diajak bekerja di sini. Kakak mau, karena kerjanya cuma disuruh masak,” ucap Kak Kar. Bagi Kak Kar, memasak itu hobi yang menghasilkan. Sejak kecil, perempuan pencinta kuliner ini memang gemar memasak.
Dari sinilah kemampuannya berkembang. Sebagai remaja tanggung, Kartini telah kerap dimintai bantuan oleh kerabat atau para tetangga yang mengadakan kenduri. Karena inilah, Kak Kar menjadi sangat paham seluk beluk masakan dan kue-kue tradisional.
Kecintaannya terhadap memasak inilah yang mengantarnya menjadi koki. Awalnya, Kak Kar dihadirkan ke Soraya untuk memberikan training pada juru masak baru. Sayangnya, juru masak baru itu tak betah. Hingga akhirnya Feri Sandria, Manajer Kamp Soraya, meminta Kartini untuk menjadi juru masak resmi SP Soraya.
“Selama Kak Kar masih sehat, masih bersedia bekerja, kami akan terus meminta bantuan Kak Kar di camp ini. Ke depannya, kalau Kak Kar ingin berhenti bekerja, harapan kami bisa menemukan pengganti seperti Kak Kar,” ujar Feri.
Koki ahli dan berpengalaman mungkin banyak. Akan tetapi, juru masak sebuah stasiun penelitian memerlukan orang yang sanggup bertahan dengan kondisi tempat kerja. Tak mudah untuk bekerja di stasiun penelitian seperti Soraya.
Tak ada sinyal telepon genggam maupun internet di sini. Dapur tempat kami bercakap, dinding bagian atasnya terbuka, dan menghadap langsung ke kegelapan rimba.
Sistem bekerja sebagai juru masak di Soraya adalah sistem shift. Kak Kar tinggal dan bekerja di Soraya 20 hari dalam sebulan. Setelah itu dia mendapat libur. Biasanya, waktu libur dimanfaatkannya untuk pulang ke kampungnya di Ketambe.
Menurut Kak Kar, keluarganya kini mendukung profesinya sebagai juru masak stasiun penelitian. Sebagai anak keempat dari enam bersaudara, Kak Kar punya abang dan adik laki-laki yang menginginkan keamanan saudari mereka terjamin sepenuhnya saat bekerja.
Lokasi stasiun penelitian tersebut jauh masuk ke dalam hutan, berbeda dengan wisma di Ketambe tempatnya mula-mula bekerja. Tapi, keluarganya percaya bahwa Kak Kar dapat mengatasi kesulitan kerja di hutan. Lagipula, Kak Kar menyukai pekerjaannya itu.
“Kakak sudah 8 tahun bertugas di kamp. Di sini dapat bertemu banyak kenalan baru, para peneliti dan para pengelola camp yang datang silih berganti,” kisahnya. Kak Kar merasa nyaman bekerja di Soraya. Katanya, dia tidak ingin mencari pekerjaan lain.
“Kakak belum siap berhenti bekerja di Soraya. Kakak betah di sini. Suasananya nyaman dan banyak teman. Kalau tinggal di kampung, kakak malah bingung mau ngapain,” tuturnya sembari tertawa.
“Kami sebagai keluarga memang akan tetap terus mendukung Kakak. Kami yakin pekerjaan yang ditekuninya positif dan tidak merugikan orang lain, bahkan sangat membantu,” ungkap Raja, adik kandung Kartini, 5 Mei 2024 via sambungan telepon.
Minat Kak Kar tidak terbatas pada memasak. Dia mengaku sangat senang bila diajak peneliti dalam kegiatan penelitian. Kak Kar memanfaatkan kesempatan ini untuk menambah wawasan, mengenal seluk beluk hutan, dan berkenalan langsung dengan alam dan flora fauna penghuninya.
“Sebagian tanaman di sini Kakak beli bibitnya di pasar. Tapi, kadangkala ketika tim masuk hutan, mereka menemukan bibit tanaman obat, lalu dibawa pulang dan ditanam di sekitar kamp,” ujarnya.
“Kakak senang sekali apabila diajak adik-adik peneliti untuk masuk hutan,” sambung Kak Kar. “Suatu kali ada yang meneliti jenis-jenis ikan yang ada di sungai seputar kamp. Kakak diajak menyusuri sungai, memancing dan menangkap ikan. Senang sekali, apalagi hasil tangkapannya banyak waktu itu.”
Ikan-ikan yang ditangkap untuk kepentingan penelitian, setelah selesai didokumentasikan dan diambil datanya, tidak dibuang. Kak Kar akan dengan sigap mengolahnya menjadi masakan yang lezat.
“Biasanya ikan hasil tangkapan itu dipanggang, atau dimasak gulai asam jing (andaliman/Sichuan pepper, Zantoxylum acanthapodium). Ikannya macam-macam, ada ikan jurung, ikan kerling dan ikan baung. Ikan yang dimasak gulai asam jing itu biasanya ikan baung (Hemibagrus, Sp). Ikan lainnya Kakak lebih senang kalau dibakar saja,” tutur Kak Kar.
Kecintaan Kartini memasak, membuatnya bersedia menempuh jarak cukup jauh untuk mendapatkan bahan pangan tertentu. Untuk mendapatkan bebek misalnya. Gulai bebek adalah keahlian Kak Kar dan merupakan menu favorit anggota tim kamp Soraya.
“Sesekali Kakak masak kuah telu (gulai bebek). Karena bebek jarang dijual di pasar Gelombang, jadi Kakak beli di Kota Subulussalam,” ungkap Kak Kar. Padahal, dari Gelombang ke Subulussalam memakan waktu hingga 1 jam jika ditempuh dengan sepeda motor.
Demikianlah dedikasi Kartini pada pekerjaan yang sudah kadung dicintainya. Semangat dan dedikasi Kartini pada pekerjaannya, yang tak kalah penting dari aktivitas para peneliti dan pengelola kamp, memberikan inspirasi berharga.
Disadari atau tidak, Kak Kar telah menjadi pahlawan bagi dunia ilmiah Aceh. Sehat terus, Kak. Soraya membutuhkan Kakak.[]
Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]