Kategori
Jurnalisme Warga EEJ 2024 Kisah Perempuan Leuser Mitigasi Bencana

Peran Perempuan dalam Pengelolaan dan Pelestarian Hutan di Gayo

Oleh Dea Chikita Eriadi*

Desa Mendale merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Secara georafis desa ini diapit oleh pegunungan dan Danau Laut Tawar. Danau ini menjadi salah satu sumber mata pencarian masyarakat Mendale dan sekitarnya.

Pegunungan di Desa Mendale merupakan kawasan hutan lindung yang secara langsung bersinggungan dengan Kawasan Ekosistem Leuser yang telah ditetapkan oleh The United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco) sebagai salah satu situs warisan dunia.

Tingginya kebutuhan akan lahan perkebunan sebagai salah satu sumber mata pencarian masyarakat mengakibatkan banyak terjadi perambahan dalam kawasan hutan lindung di sekitar itu. Padahal, hutan memiliki fungsi utama sebagai pengatur sumber mata air.

Namun, akibat perambahan liar tersebut banyak mata air menjadi kering. Banyak juga sumber resapan air yang tidak dapat menampung air lagi sehingga ketika hujan deras banyak terjadi longsor.

Sadar terhadap ancaman yang mungkin bisa menimpa masyarakat sekitaran hutan, munculah inisiatif dari desa untuk melakukan komunikasi dengan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH). Selanjutnya, KPH merekomendasikan salah satu NGO yang bergerak di bidang lingkungan untuk memfasilitasi proses pengusulan perhutan sosial. Selanjutnya, sebagai NGO yang bergerak di bidang lingkungan, Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) datang ke Desa Mendale. Mereka melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta aparatur desa sehingga terbentuklah LPHK Peteri Pukes.

Community Officer HAkA, Inike Yulia Putri, menjelaskan, kawasan hutan di sekitar Desa Mendale telah menjadi lahan kritis. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap masyarakat sekitar jika tidak dijaga dan dikelola dengan baik.

“Oleh sebab itu, LPHK Peteri Pukes mengurus perizinan perhutanan sosial agar hutan bisa dijaga dan dikelola langsung oleh masyarakat sekitaran hutan,” katanya, pada hari selasa tanggal 16 April 2024.

Sembari menunggu perizinan perhutanan sosial, HAkA sebagai lembaga yang mendampingi LPHK Peteri Pukes memberi bekal untuk kelompok dengan memfasilitasi pelatihan-pelatihan dan sosialisasi. Harapannya, nantinya kelompok masyarakat bisa mengelola hutan secara mandiri dan bisa menjaga hutan sekitaran desa mereka.

Kelompok LPHK Peteri Pukes sudah merancang rencana kegiatan untuk menjaga hutan serta sudah mulai memberdayakan perempuan dengan membuat produk olahan pangan yang diproduksi dan dipasarkan sendiri oleh kelompok. Menurut Diana, salah satu anggota LPHK Peteri Pukes, saat ini telah dibentuk ranger untuk berkeliling dan mengawasi hutan. Tim ini akan mulai turun ke lapangan setelah sertifikat perhutanan sosial diterbitkan instansi terkait.

Sebagai salah satu anggota ranger perempuan yang telah dibentuk oleh LPHK Peteri Pukes, Diana sangat menantikan untuk memulai kegiatannya sebagai ranger. Diana ingin menerapkan ilmu-ilmu yang sudah didapat dari beberapa pelatihan untuk kelestarian hutan desa mereka. Diana juga bercerita tentang pelatihan-pelatihan apa saja yang sudah mereka dapat dari HAkA.

“Kami sudah mendapat beberapa pelatihan seperti pelatihan GFW, pelatihan penggunaan drone, serta pelatihan pengolahan potensi desa berbasis ekonomi hijau. Kami juga melakukan beberapa kegiatan seperti pemetaan potensi wilayah hutan sekitaran Desa Mendale,” katanya.

Dari beberapa pelatihan dan kegiatan, pelatihan yang paling berkesan bagi anggota adalah pelatihan mengoperasikan drone. Para anggota LPHK dapat langsung mengoperasikan drone dengan dipandu ahli yang disediakan oleh HakA.

Agar tidak ada kekosongan kegiatan, sembari menunggu sertifikat perhutanan sosial terbit, anggota LPHK Peteri Pukes mulai dibimbing untuk menghasilkan produk pangan yang nantinya akan dipasarkan dan akan menjadi salah satu sumber penghasilan untuk anggota kelompok.

Seperti yang dikatakan Lia, salah satu anggota LPHK. Untuk saat ini mereka sedang mencoba membuat produk olahan pangan dengan sumber daya melimpah di sekitar mereka. Mereka mencoba membuat abon ikan mujair, stik labu, serta kerupuk lobster.

“Namun, karena beberapa kendala, sekarang kami mau berfokus dulu di olahan abon ikan mujair. Sekarang produk kami sedang dalam tahap pembuatan desain sekaligus sedang mengurus BPOM dan sertifikasi halal, setelah selesai produk ini akan langsung dipasarkan,” ujarnya.

Dengan adanya kegiatan pemberdayaan perempuan dan anggota pada kelompok LPHK Peteri Pukes, menjadikan LPHK sebagai wadah bagi ibu-ibu kreatif yang ingin mengembangkan diri dan membuat produk untuk dapat dipasarkan. Di balik kegiatan-kegiatan selingan yang dilakukan pada LPHK Peteri Pukes, tujuan utama LPHK Peteri Pukes tetap berfokus dalam pengurusan sertifikat perhutanan sosial agar dapat mengelola dan menjaga hutan sekitaran Desa Mendale. Dengan demikian, hutan tetap terjaga dari kerusakan-kerusan yang mungkin terjadi dan bisa memperbaiki lahan-lahan yang sudah kritis akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan.

Salah seorang aktivis perempuan di Gayo, Sri Wahyuni, mengatakan kawasan hutan di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah merupakan kawasan hutan yang langsung bersinggungan dengan kawasan Leuser. Banyak spesies hewan yang tinggal di hutan, khususnya hutan di Bener Meriah.

Ia bercerita, suatu hari, saat para ranger dari LPHK Damaran Baru (Bener Meriah) memantau hutan sekitaran Damaran Baru, mereka bertemu luwak dewasa dan anak-anak luwak yang tinggal di hutan. Banyak juga kayu-kayu besar yang diperkirakan umurnya sudah ratusan tahun.

“Cuma sekarang karena masyarakat tidak tahu kegunaan kayu, jadi banyak kayu yang ditebang secara liar untuk dijual. Sebenarnya, ada cara agar kita tidak perlu menebang kayu, tapi kayu tersebut tetap bisa menjadi sumber penghasilan untuk kita,” kata advokat, yang akrab disapa Ayu, pada hari sabtu tanggal 20 april 2024.

Caranya, kata Ayu, yakni dengan menanam kayu-kayu berbuah seperti alpukat, aren, dan kayu berbuah lainnya, sehingga kayu tidak perlu ditebang dan kita tetap bisa menikmati hasil dari kayu tersebut.

Ayu bercerita, sekarang sudah banyak pohon-pohon besar yang sudah sulit ditemui, seperti kayu beringin yang akarnya menjulang keluar, kayu grupel, dan kayu-kayu besar lainnya. Bahkan, di kebun Ayu di Bener Meriah pun hanya tersisa satu kayu grupel besar yang sengaja tidak ditebang.

Sekarang ini Ayu aktif melakukan budi daya kayu untuk dibagi-bagikan pada masyarakat untuk ditanam kembali. Ayu juga mempunyai tanah di daerah Wih Kuli, Kabupaten Aceh Tengah. Ia berniat menanam pohon di lahan tersebut.

“Saya tidak berniat mengalihfungsikan tanahnya menjadi kebun karena daerah Wih Kuli merupakan salah satu sumber air untuk desa-desa sekitarnya,” kata Ayu.

Menurut Ayu, setiap individu bisa menjaga hutan dengan menjadikan hutan sebagai lokasi wisata yang dijaga dengan konsep menyuguhkan keasrian alam.

Seperti di Bener Meriah yang memiliki objek wisata Pentagon. Yang menjadi “jualan” utamanya adalah panorama alam yang asri. Pemanfaatan alam dengan cara itu akan membuat masyarakat memahami fungsi dan dampak hutan secara langsung terhadap perekonomian mereka. Dengan begitu, akan timbul kesadaran untuk terus menjaga hutan dan pohon-pohon di hutan.

“Dengan menjaga hutan tetap asri, kita juga akan mendapatkan manfaat dari hutan. Salah satunya sumber air yang melimpah. Sekarang ini di berbagai daerah sudah banyak terjadi bencana kekeringan dan bencana banjir saat hujan melanda, salah satu penyebabnya karena rusaknya ekosistem hutan.”

default

Ketika hutan rusak, tidak ada lagi akar-akar yang bisa menjadi perekat tanah dan menjadi celah atau ruang bagi air untuk masuk ke dalam tanah. Serapan itu mestinya membuat air bisa tetap tersimpan di tanah. Air tanah inilah yang nantinya bisa menjadi salah satu sumber mata air yang bisa menopang kebutuhan air manusia.

“Dengan adanya celah-celah akar tanaman, air tidak akan menggenang dan menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor,” kata Ayu.[]

Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *