Oleh Nayla Putri Thabita*
Hijaunya perbukitan Gayo Lues, Aceh, menjadi perlindungan bagi berbagai hewan, diantaranya rusa. Masyarakat di Gayo Lues menyebut rusa dengan nama tradisionalnya, akang dan/atau giongen. Meski rusa dikenal sebagai hewan langka, namun sebagian warga Gayo Lues masih mengonsumsinya. Daging rusa masih dapat ditemukan di pasar umum mingguan di hampir seluruh wilayah.
Rusa merupakan salah satu satwa liar yang banyak memberikan manfaat bagi manusia, salah satunya yaitu canggah/tanduknya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Meski belum dibuktikan secara ilmiah, namun masyarakat tradisional Gayo Lues sangat mempercayainya. Hal ini menjadi salah satu faktor dari tetap maraknya perburuan rusa di Gayo Lues. Padahal, sebagai bagian dari ekosistem, rusa berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam.
Mengulik Perburuan Rusa di Gayo Lues: Antara Tradisi dan Dilema Konservasi
Salah satunya adalah tradisi berburu, yang secara rutin masih dilakukan masyarakat Pining, Gayo Lues. Tradisi ini disebut mungaro (berburu). Bagi warga Pining, mungaro merupakan tradisi yang telah dilakukan puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.
Menjalankan mungaro tidak bisa sembarangan, melainkan ada tahapan dan aturannya. Pertama, masyarakat akan meminta seorang pawang untuk mengatur jalannya acara mungaro. Pawang adalah seseorang yang ilmunya dianggap telah mumpuni, mengetahui seluk beluk hutan dan penghuninya.
Di Gayo Lues, pawang banyak macamnya, ada pawang rusa, pawang harimau, pawang gajah dan lain-lain. Sebelum memasuki hutan untuk berburu, pawang mengatur strategi berburu, sekaligus mengatur pembagian tugas warga yang termasuk tim perburuan. Anggota tim ini disebut pong nangkok.
Tugas pong nangkok beraneka ragam, bergantung pada keahlian masing-masing. Ada ahli melacak jejak, ahli mengarahkan anjing pemburu, hingga menjaga aliran air. Dalam ilmu berburu Gayo Lues, menjaga aliran air sangat penting, karena hewan buruan yang dikejar anjing pemburu akan selalu lari ke aliran air.
Selesai berburu nanti, daging hewan buruan akan dibagi-bagi antar anggota tim. Secara tradisional, pawang mendapat bagian daging dada hingga kepala. Setelah pawang, giliran pong nangkok yang pertama kali berhasil menombak buruan mendapat bagian daging. Baru kemudian daging dibagi rata di antara anggota tim.
Mungaro dimulai dengan acara “meminta izin” kepada pawang tue. Pawang tue adalah tetua orang halus yang menurut kepercayaan tradisional menghuni hutan-hutan Gayo. Setelah selesai meminta izin barulah rombongan berburu boleh masuk. Secara tradisional, berburu hanya boleh dilakukan pada hari-hari Senin, Selasa dan Kamis.
Salah seorang warga Pining yang masih mencari rezeki dengan berburu rusa adalah Pak Aman Dalam obrolan eksklusif bersama kami, Rabu 10 April 2024, Pak Aman menceritakan pengalaman hidupnya sebagai pemburu.
Berbedanya teknik yang digunakan dalam menangkap rusa dapat disebabkan oleh kondisi lapangan, keahlian pemburu, dan jenis senjata atau peralatan yang tersedia. Pada umumnya, ada dua metode utama yang digunakan untuk menangkap rusa: menembak dan menombak.
Metode menembak, pemburu menggunakan senjata api untuk menembak rusa dari jarak yang relatif jauh. Teknik ini membutuhkan keterampilan membidik, dan menemukan posisi yang tepat untuk memastikan tembakan yang akurat dan efektif. Metode menembak digunakan dalam berburu di daerah terbuka dimana jarak pandang cukup luas.
Dalam teknik tombak, pemburu menggunakan tombak atau panah untuk menyerang rusa dari jarak yang lebih dekat. Teknik ini memerlukan keahlian ketika mengendap mendekati rusa, serta keterampilan dalam melempar tombak atau melepaskan panah. Metode ini digunakan dalam berburu di hutan dengan vegetasi rapat, di mana ruang gerak terbatas dan pemburu harus mengandalkan keterampilan pengejaran yang lebih intensif.
Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan pilihan antara keduanya sering kali tergantung pada preferensi pemburu, kondisi lingkungan, dan hukum atau regulasi yang berlaku dalam kegiatan berburu di suatu wilayah.
Ada dua jenis Cervidae di hutan-hutan Indonesia. Satu, rusa biasa, juga dikenal sebagai rusa Jawa, kijang atau muncak (Muntiacus muntjak). Kijang adalah spesies rusa kecil yang umumnya ditemukan di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Di Indonesia, rusa sambar ada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Perbedaan rusa dan kijang terletak pada bentuk tanduk serta besar tubuhnya. Tanduk rusa sambar berceranggah seperti ranting pohon. Sedangkan kijang memiliki tanduk kecil yang lurus saja. Tubuh rusa sambar juga lebih besar, umumnya tingginya adalah antara 1-1.6 m, dengan panjang rata-rata 1.5 m. Rusa sambar jantan dewasa beratnya dapat mencapai 125 kg, sedangkan betinanya 90 kg.
Menurut Pak Aman, jumlah rusa yang ditangkapnya bervariasi.
“Tidak menentu, kadang banyak tapi kadang juga bisa sedikit,” katanya. “Waktu berburunya kadang lama, terkadang tidak,” tambahnya. Menurutnya, keberuntungan agaknya sangat berpengaruh pada hasil perburuan.
Pak Aman biasa menjual daging buruannya di pasar mingguan. Namun, tidak jarang warga yang menginginkan daging rusa datang langsung ke rumah Pak Aman untuk membeli hasil buruan.
Di negara lain, berburu hewan tertentu diperbolehkan selama sang pemburu memiliki izin, dan berburu hanya dalam musim berburu. Di Aceh, Gayo Lues khususnya, belum ada peraturan atau undang-undang yang mengatur musim berburu, atau penegakan hukum yang ketat terhadap peraturan tersebut. Hal ini membuat pemburu bebas untuk berburu sepanjang tahun. Padahal, praktik perburuan tanpa batas ini sangat mengancam populasi rusa Sambar.
Menurut Pak Aman, di Gayo Lues belum ada restoran khusus yang menjual daging rusa. Saat ditanya mengapa orang suka makan rusa, Pak Aman tersenyum. “Daging rusa itu enak, dagingnya lebih empuk daripada daging sapi. Dan bisa juga dijadikan obat,” ungkapnya.
Pernyataan Pak Aman bahwa daging rusa dapat dijadikan obat memunculkan rasa ingin tahu, zat apa yang dikandung daging rusa. Secara tradisional masyarakat mempercayai bahwa daging rusa dapat membantu dalam pengobatan berbagai masalah kesehatan, seperti meningkatkan stamina, meningkatkan daya tahan tubuh, atau bahkan mengatasi penyakit tertentu.
Namun, klaim semacam itu seringkali lebih bersifat anekdotal atau berdasarkan tradisi turun temurun, bukan didukung oleh penelitian ilmiah yang komprehensif.
Keuntungan yang didapat Pak Aman dari hasil menjual daging rusa, tidak tentu. “Tapi (harga per kilogramnya) selalu di atas Rp. 100.000,” paparnya.
Antara Hobi, Budaya, dan Paksaan Ekonomi
Motif berburu rusa sangat beragam. Tidak semua penduduk lokal menggantungkan mata pencahariannya pada perburuan rusa. Ada pula yang menjadikannya sebagai hobi yang merupakan bagian dari budaya mereka. Namun, ada juga yang terpaksa mengandalkan perburuan rusa sebagai sumber pendapatan utama.
Dalam penelusuran kami, kami menemukan bahwa sebagian warga melakukan perburuan rusa adalah karena suka. Berawal dari mengikuti tradisi mungaro, kemudian menjadi semacam hobi. Namun, mereka mengatakan bahwa kegiatan ini bukan sekedar berburu saja, namun sudah menjadi ritual turun temurun yang sangat dihargai dan harus dilestarikan.
Di sisi lain, ada sebagian warga yang menganggap perburuan rusa sebagai sumber pendapatan utama mereka. Mereka berburu rusa didorong kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi. Tidak bisa diingkari, dewasa ini masalah ekonomi masih menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia, dan di Gayo Lues khususnya.
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, rusa sambar sudah lama dikategorikan sebagai hewan yang dilindungi, sehingga “barang siapa dengan dengan sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakannya dalam keadaan hidup atau mati dan bagian-bagiannya adalah tindakan melanggar hukum sehingga dapat dikenakan sanksi pidana dan denda sesuai ketentuan hukum yang berlaku.”
Inilah dilema konservasi rusa sambar. Disatu sisi ada rusa yang harus dilindungi, di sisi lain ada manusia yang tentu saja memiliki hak asasi yang harus dipenuhi. Harus ada pemecahan yang seimbang, yang menyediakan keadilan baik bagi manusia, mau pun bagi rusa.
Menjaga Keseimbangan Ekosistem: Pandangan Ahli
Menurut Pak Ikhsan Hasbiullah, dosen di Universitas Syiah Kuala (USK), populasi rusa di hutan berkaitan langsung dengan populasi harimau dan konflik antara manusia dan satwa.
“Kita tinjau dengan POV harimau,” katanya. “Harimau berburu untuk makan hanya seminggu sekali.”
Harimau juga hanya memangsa seekor rusa saja. Dengan kata lain, rusa tidak akan punah kalau hanya diburu harimau. Sedangkan manusia, sekali buru dapat menangkap rusa hingga beberapa ekor. Berkurangnya populasi rusa akibat diburu, menyebabkan harimau kekurangan mangsa. Ini kerap kali menjadi sebab, harimau turun gunung memangsa ternak manusia.
Pendekatan ini mencerminkan pemahaman bahwa alternatif perburuan rusa yang menarik dan ekonomis diperlukan untuk mengubah perilaku masyarakat. Pendapat Pak Ikhsan menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam upaya konservasi dengan menciptakan alternatif yang menarik dan berkelanjutan secara ekonomi serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, kami berharap dapat melestarikan kelangsungan hidup rusa Gayo Lues, serta harimau dan spesies lainnya.
Kami menemui seorang pegiat konservasi, namun beliau menolak untuk disebutkan namanya. Maka, dalam tulisan ini beliau akan kami sebut “Pak X” saja.
Senada dengan Pak Ikhsan, Pak X menyebut bahwa populasi rusa berdampak pada populasi harimau.
Sebagai predator utama KEL, harimau sangat bergantung pada ketersediaan rusa sebagai salah satu sumber makanannya. Menurunnya populasi rusa tidak hanya mengganggu keseimbangan ekologi tetapi juga mengancam kelangsungan hidup harimau.
“Itu hal yang sangat positif, namun butuh waktu sangat lama untuk direalisasikan,” kata Pak X. Ditekankannya, bahwa mendirikan dan mengelola penangkaran rusa memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang matang. Hal ini antara lain karena penangkaran membutuhkan lahan khusus untuk pemeliharaan, penggembalaan dan sebagainya.
“Hanya melalui kerjasama yang kuat dan kesadaran akan pentingnya perlindungan ekosistem kita dapat mencapai keberhasilan dalam upaya konservasi,” tegasnya. []
Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]