Kategori
Feature Kisah Perempuan Perempuan Berdaya

Sobotik: Mengubah Limbah Botol Plastik Menjadi Cuan

SEPTEMBER 2020. Ns. Nourica Hastuti, S.Kep. baru saja selesai kontrak dari pekerjaannya di sebuah yayasan di Banda Aceh. Ia memutuskan untuk tidak menerima tawaran perpanjangan kontrak. Alasannya sangat rasional. Perutnya yang sedang mengandung anak pertama semakin membesar. Sebagai calon ibu muda, Nouri ingin fokus pada persiapan kelahiran yang diperkirakan jatuh pada November 2020. Memasuki trimester ketiga masa kehamilan, Nouri ingin menikmati hari-hari selama proses mengandung dengan tenang. Tak direcoki oleh beban dan tanggung jawab kerja.

Namun, keadaan berkata lain. Pandemi Covid-19 yang saat itu sedang menggila mau tak mau mengusik ketenangan Nouri. Pandemi bukan saja membuatnya bagai terkurung oleh situasi. Bahkan sekadar untuk jalan-jalan menghirup udara segar di lingkungan sekitar pun jadi terbatas. Bagi Nouri yang terbiasa bekerja di lapangan dan berinteraksi dengan banyak orang, situasi itu sangat menyiksa. Namun, yang lebih merisaukannya adalah efek dari munculnya wabah tersebut. Banyak usaha gulung tikar. Orang-orang kehilangan pekerjaan. Termasuk suaminya, Zainuddin, yang mengajar di sekolah swasta di Aceh Besar. Zainuddin dirumahkan.

Dengan kondisi dirinya yang sudah menganggur, ditambah Zai yang juga kehilangan pekerjaan, otomatis pasutri muda ini jadi kehilangan sumber penghasilan. Mereka juga tak punya tabungan. Tadinya, satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan untuk biaya persalinan adalah dari penghasilan Zai. Wabah memupuskan harapan tersebut. Sama seperti kebanyakan orang ketika itu, mereka nyaris hopeless.

“Namun, kami masih punya semangat. Dan karena semangat itu pula kami terus mencari-cari peluang, apa yang bisa kami lakukan di tengah situasi sulit itu,” cerita Nouri mengawali kisah rintisan usahanya saat ditemui di kediamannya di Desa Lamlumpu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Sabtu, 20 April 2024.

Peluang itu datang. Menjelang akhir September 2020, Pemerintah Aceh mencari 200 entrepreneur muda melalui Sayembara Aceh Berdikari. Di antara syarat mengikuti sayembara ini adalah bukan aparatur sipil negara dan tidak sedang menerima bantuan dari pihak lain. Nouri dan Zai berdiskusi, mereka memenuhi dua syarat mutlak itu. Selebihnya, hanya persyaratan administrasi: berusia tak lebih dari 35 tahun, ber-KTP Aceh, dan sedang/ingin berwirausaha.

“Saya dan Zai berdiskusi, apa yang kira-kira bisa kami lakukan? Zai lantas mencetuskan ide untuk membuat sofa botol plastik. Kami sepakat. Ide tersebut saya eksekusi menjadi proposal. Alhamdulillah, proposal kami lolos,” kata ibu dua anak ini.

Ide mereka dianggap out of the box di antara ide-ide lain yang banyak berkutat di sektor usaha kuliner dan perkopian. Sebenarnya kata Nouri, ide daur ulang membuat sofa dari botol plastik ini bukanlah invensi atau reka cipta. Produk daur ulang tersebut telah lama diproduksi di luar Aceh. Namun, untuk di Aceh memang mereka yang memulainya. Hingga saat ini pun, belum terlihat ada usaha serupa lainnya. Tak heran, ketika proposal ide sobotik dinyatakan lolos dan mendapat uang pembinaan sebesar Rp5 juta, Nouri riang bukan kepalang. Mereka lega dan merasa bisa “bernapas” kembali. Usahanya membuat proposal seoptimal mungkin tidak sia-sia. Uang tersebut benar-benar mereka manfaatkan untuk menjalankan usaha. Sejak saat itu Sobotik yang merupakan akronim dari sofa botol plastik menjadi jenama untuk usaha mereka. Berselang bulan, Sobotik kembali memenangi kompetisi wirausaha yang dibuat Ikatan Wanita Pengusaha (Iwapi) Aceh.

Sofa berkualitas premium hasil karya Sobotik yang dibanderol Rp500 ribu. Sarung sofa dengan pola simpul dipelajari secara khusus dari seniman asal Jepang. Foto: Ihan Nurdun

Di luar kebutuhan untuk menyambung hidup, ada misi lain yang diemban Nouri dengan mendaur ulang sofa botol plastik atau sobotik. Yakni mengatasi persoalan sampah, khususnya di Kota Banda Aceh, yang trennya cenderung meningkat. Jika melihat data Aliran Sampah Kota Banda Aceh Tahun 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh pada 2021, potensi timbulan sampah pada 2020 mencapai 88.800 ton per hari. Dari angka tersebut, jumlah sampah yang dikelola mencapai 86.021 ton yang terbagi menjadi dua kategori, yakni pengurangan sampah dan penanganan sampah.

Masih berdasarkan data tersebut, pengurangan sampah yang dilakukan berupa pembatasan timbulan sampah (182,96 ton), pemanfaatan kembali sampah (4,75 ton), dan pendaur ulang sampah (12,105 ton) dengan total 12.293 atau 13,84% dari jumlah timbulan sampah. Sedangkan sampah yang ditangani, meski secara angka tampaknya besar yaitu 73.728 ton dengan total persentase 83,03% dari jumlah timbulan sampah, tetapi semuanya masih terpusat pada sampah yang terproses di tempat pemrosesan akhir (TPA). Sedangkan untuk pengolahan menjadi sumber energi atau pengolahan menjadi bahan baku pakan ternak, daur ulang, dan upcycle masih nol. Di luar itu, sampah yang tidak dikelola tercatat 2.778 atau setara 3,13%.

Aliran Sampah di Kota Banda Aceh, 2020. Sumber: bandaacehkota.bps.go.id

Angka ini melonjak lebih dari dua kali lipatnya hanya berselang tahun saja. Perbandingan data yang sama jika merujuk pada Kota Banda Aceh Dalam Angka 2024 yang dirilis BPS Banda Aceh, potensi timbulan sampah pada tahun 2023 mencapai 255,81 ton per hari. Jumlah sampah yang dikelola mencapai 251,93 ton yang terdiri atas pengurangan sampah (41,47 ton) dan penanganan sampah (210,46 ton).

Aliran Sampah di Kota Banda Aceh, 2023. Sumber: BPS Kota Banda Aceh

Nouri yang telah menyadari bahwa adanya keterkaitan antara sampah dan dampaknya terhadap perubahan iklim, merasa perlu berbuat sesuatu. Apalagi, dengan latar belakang akademiknya sebagai seorang ners atau perawat, juga aktivitasnya yang banyak bergelut di masyarakat, ia cemas terhadap berbagai potensi yang dapat ditimbulkan oleh sampah. Karena itulah, kehadiran sobotik harapannya juga menjadi media untuk mengedukasi masyarakat. Dengan kreativitas mereka, botol-botol plastik yang selama ini berakhir di tong sampah mampu disulap menjadi sofa-sofa berkualitas premium.

Untuk urusan produksi, Nouri menyerahkan sepenuhnya kepada Zai. Bermodalkan mesin jahit pinjaman dari mertua, Zai berhasil memproduksi prototipe pertamanya. Bahan bakunya mereka kumpulkan dari hasil “memulung” di Lapangan Blang Padang. Salah satu ruang terbuka hijau di pusat Kota Banda Aceh yang ramai dikunjungi warga, terutama di akhir pekan. Di masa pandemi, yang memaksa orang-orang untuk lebih mengutamakan kesehatan, warga yang berolahraga ke Blang Padang di hari-hari biasa jadi meningkat. Intensitas individu untuk mengonsumsi air mineral juga lebih tinggi karena dianggap lebih sehat. Mirisnya, kata Nouri, botol-botolnya banyak yang ditinggalkan begitu saja di lapangan. Padahal di tempat itu sudah disediakan tong sampah.

“Botol-botol itulah yang kami pulung untuk membuat prototipe sobotik. Waktu itu saya sudah melahirkan, usia anak pertama saya, baru 44 hari. Jadi, aktivitas pertama yang dilakukan anak saya adalah memulung,” ucap Nouri sambil tertawa.

Rupanya kegiatan memulung ini justru menimbulkan reaksi dari orang-orang terdekatnya. Sebagai lulusan perguruan tinggi, berpendidikan, punya akses dan relasi, kok malah mulung? Imej memulung yang negatif dilekatkan pada pasangan yang menikah awal 2020 tersebut. Semiskin-miskinnya mereka, jangan sampailah memulung. Karena bisa menjatuhkan harkat dan martabat diri. Itulah yang mereka pikirkan.

“Bahkan pertanyaan seperti itu muncul dari orang tua sendiri. Mereka mengira kami sudah sangat putus asa sehingga tidak ada yang bisa dilakukan lagi,” kata lulusan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala itu.

Nouri tak ingin berkonfrontasi. Ia punya prinsip lakukan dan buktikan. Orang-orang hanya belum bisa melihat visi sebagaimana yang ia lihat. Tantangannya bukan hanya dari luar saja. Sebagai perempuan, sebagai ibu, sebagai istri, Nouri juga menghadapi tantangan domestik. Ketika mulai merintis Sobotik, ia sedang dalam kondisi hamil besar, kemudian melahirkan, dan mulai mengasuh bayi. Dari satu anak lalu bertambah satu anak lagi. Kadang-kadang ia mengalami mood swing akibat perubahan hormonal. Ia juga harus pandai-pandai menyiasati waktu agar pekerjaan rumah tangga tidak terbengkalai, usaha tetap berjalan lancar, perkembangan medsos Sobotik tetap terkontrol. Apalagi mereka tidak punya pengasuh. Juga belum punya karyawan. Otomatis semua pekerjaan harus ditangani bersama.

Ia berbagi peran dengan suaminya. Nouri fokus ke urusan promosi. Zai fokus ke urusan produksi. Nouri belajar autodidak bagaimana cara mendesain poster dan mengelola media sosial. Zai pun autodidak belajar menjahit dan berinovasi produk. Di samping itu, ketika ada kesempatan mengikuti berbagai pelatihan, Nouri juga ikut. Memasuki usia keempat, Sobotik mulai merangkak, buah hati pun bertambah. Kini Nouri dan Zai memiliki sepasang buah hati. Tantangan akan terus ada, tetapi visi dan misilah yang membuat mereka tetap konsisten.

Untuk membuat satu sofa ukuran standar, membutuhkan hingga 37 botol plastik ukuran 1,5 liter. Botol ini dirakit dan diikat supaya kokoh. Setelah itu baru diberi sarung dengan berbagai pilihan material. Ada yang kulit sintetis. Ada juga yang berbahan kain. Jika Sobotik memproduksi 10 sofa saja, maka ada 370 botol plastik yang berhasil didaur ulang. Menurut trainer Global Ecobriks Alliance, Rahmiana Rahman, salah satu cara mengatasi persoalan sampah plastik ialah dengan memanjangkan usianya. Karena yang membuat efek limbah plastik berbahaya ialah ketika bercampur dengan limbah organik dan menghasilkan senyawa kimia yang memicu terjadinya emisi gas rumah kaca (GRK). Karena itu, pemilahan sampai menjadi sangat penting. GRK inilah yang salah satu efeknya, sebagaimana dikutip dari buletin Gas Rumah Kaca memicu terjadinya pemanasan global dan akan berdampak terhadap krisis pangan di daerah tropis seperti Indonesia. Tanpa terkecuali di Aceh yang wilayahnya dikelilingi Selat Malaka dan Samudra Hindia.  

“Jika dibiarkan di alam, sampah plastik baru benar-benar terurai setelah berusia ratusan tahun. Jadi, mau tidak mau kita harus daur ulang, di antaranya dengan membuat ekobrik, diet plastik, dan membiasakan hidup ramah lingkungan dengan memilah sampah,” kata Rahmiana Rahman, 26 April 2024.

Jika diterjemahkan secara harfiah, ekobrik adalah bata ramah lingkungan yang terbuat dari botol plastik berisi sampah plastik. Standarnya kata Rahmiana, satu botol plastik kapasitas 1,5 liter dapat diisi dengan sampah plastik seberat 0,5 kilogram. Sedangkan yang kapasitas 600 mililiter, minimal bisa menampung 200 gram sampah plastik. Estimasinya, jika satu sofa Sobotik dirakit dari 37 ekobrik 1,5 liter, maka sudah 18,5 kilogram sampah plastik yang tidak berakhir di tempat pemrosesan akhir. Dalam sebulan, setidaknya Sobotik memproduksi satu set produk yang terdiri atas tiga sofa dan satu meja.

“Kehadiran Sobotik merupakan usaha yang perlu diapresiasi karena telah berpartisipasi dalam menyelamatkan Bumi kita. Ini juga menjadi contoh bahwa sektor usaha hijau masih sangat potensial untuk digarap,” kata Direktur Rumah Relawan Remaja yang aktif mengampanyekan gerakan mendaur ulang limbah tersebut.

Aneka produk daur ulang berbahan dasar plastik (atas) dan ekobrik (bawah). Foto: Ihan Nurdin

Sejauh ini Sobotik masih fokus memproduksi sofa-sofa nonekobrik. Sedangkan untuk sofa-sofa berbahan ekobrik masih berdasarkan pesanan pelanggan. Biasanya konsumen membawa sendiri material ekobriknya untuk dirakit oleh Zai dan meng-custom sarungnya sesuai pesanan. Fokus Sobotik memang belum pada tahap memproduksi ekobrik karena membutuhkan proses dan waktu yang lama. Untuk mendapatkan bahan baku botol, Nouri dan Zai sudah tidak “memulung” lagi di taman-taman kota. Mereka membeli langsung dari warga dengan harga yang lebih tinggi di pasaran. Untuk satu botol plastik isi 1,5 liter, dibeli seharga Rp200. Di pengepul, harganya hanya Rp50. Selisih harga yang besar ini dinilai sepadan dengan kualitas produk yang diharapkan.

“Kami tidak menerima bahan baku yang cacat, misalnya peyot atau kotor.”

Sobotik memang sangat mengutamakan kualitas produk. Sejak awal visi mereka memang ingin mengubah sampah menjadi produk berkualitas premium. “Bisa tidak kami mengubah sampah ini harganya menjadi jutaan? Itu motivasi yang menggerakkan kami,” kata Nouri.

Bukan apa, mereka ingin mengubah imej yang selama ini melekat di ingatan banyak orang. Kalau sampah “cuma” bisa berujung di tempat sampah. Tapi, mungkinkah sampah ini “berakhir” di rumah wali kota? Jawabannya bisa. Tentu saja dengan mengubahnya menjadi produk yang setara kualitasnya untuk dipajang di rumah pejabat. Itulah yang telah dilakukan Sobotik. Mantan ketua PKK Banda Aceh merupakan salah satu pelanggan sofa yang diproduksi Sobotik. Suatu hari, Nouri dan Zai surprise saat utusan istri orang nomor satu di Banda Aceh mendatangi tempat workshop-nya. Mereka memesan satu set sofa. Usut punya usut, ternyata infonya didapat dari tayangan televisi. Sobotik juga pernah mendapatkan satu set pesanan sofa dari Dinas Industri kota dan sofa itu kerap dipamerkan di berbagai event kreatif.

Liputan demi liputan di televisi rupanya juga berdampak terhadap perubahan penilaian dari orang-orang yang tadinya usil. Ibunya Nouri misalnya, yang tadinya insecure karena anaknya memulung, kini malah kerap mengumpulkan botol-botol plastik yang ada di kantornya. Sobotik memang bertahan karena dukungan orang-orang di sekitarnya. Promosi dari mulut ke mulut, atau dari medsos ke medsos, memperluas jaringan distribusi produk hingga ke luar Banda Aceh dan ke luar Aceh. Kualitas produknya juga sudah teruji. Tak hanya sofa, banyak juga yang membeli sarung beanbag. Hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh akademisi Universitas Syiah Kuala, sofa nonekobrik made in Sobotik bisa menahan berat nyaris 200 kilogram.

Salah satu pelanggan Sobotik adalah Maria Ulfa Hasballah. Pendiri Sekolah Bintang Kecil ini mengaku rutin menempah sarung sofa kepada Sobotik untuk membungkus alat peraga edukasi bagi murid-muridnya yang berkebutuhan khusus. Persamaan visi misilah yang membuat perempuan yang biasa disapa Bunda Ulfa ini, yang tadinya menempah pada orang lain, mulai beralih ke Sobotik.

“Saya senang karena dengan hadirnya usaha ini bisa sekaligus mengedukasi orang banyak. Ini kan jalur dakwah karena dalam Islam menjaga lingkungan itu bagian dari ibadah,” kata PNS sekaligus dosen khusus di Universitas Muhammadiyah Aceh itu, 24 April 2024.

Alat peraga edukasi dengan material ekobrik yang dibalut dengan sarug sofa tempahan dari Sobotik. Foto: Dok Maria Ulfa

Sejak beberapa tahun terakhir Ulfa memang mulai menggalakkan pembuatan ekobrik bagi anak-anaknya. Sejak dini anak-anaknya diajarkan untuk memilah sampah dan apa bahayanya bagi lingkungan. Apalagi, sampai saat ini belum ada solusi untuk menangani sampah plastik. Satu-satunya yang memungkinkan dilakukan, ya, dengan memanjangkan usianya atau mengurangi ketergantungan terhadap plastik. Ekobrik yang dibuat oleh anak-anaknya itulah yang di-custom oleh Sobotik. Anaknya juga pernah mengikuti program edukasi yang dibuat oleh Sobotik.

Nouri dan Zai tak hanya fokus pada kegiatan produksi. Mereka juga mengadakan kelas-kelas edukasi untuk membuka wawasan publik tentang pengelolaan sampah. Misalnya, pelatihan mengolah plastik menjadi aneka kerajinan, robot plastik, atau cara membuat pembalut berbahan dasar kain yang aman dan ramah lingkungan. Mereka juga tak bosan-bosan mengampanyekan pengurangan sampah plastik. Edukasi yang oleh sebagian individu dianggap bertolak belakang dengan usaha yang dilakoni Nouri yang notabenenya membutuhkan plastik. Namun, lagi-lagi Nouri menegaskan, jumlah plastik yang tersebar di muka bumi tak sebanding dengan yang didaur ulang. Dan orang-orang yang sudah sadar akan bahaya limbah plasti juga masih segelintir. Sadar saja masih belum cukup. “Yang paling penting adalah aksi!”

Buah dari ketekunan itu, Sobotik semakin mendapat tempat di hati konsumen. Berawal dari kompetisi Aceh Berdikari, Sobotik kini semakin dikenal.[]

Tulisan ini merupakan liputan Fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan, dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia, dan Konde.co.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *