Kategori
Jurnalisme Warga Eduwisata EEJ 2024 Mitigasi Bencana

Perubahan Iklim dan Ancaman Eksistensi Mata Ie Aceh Besar

Oleh Zhafiratul Lathifa*

Objek wisata Mata Ie merupakan destinasi wisata alami yang terletak di kaki bukit kapur di Desa Leu Ue, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, tepatnya berlokasi di kawasan markas Resimen Induk Kodam Iskandar Muda (Rindam). Objek wisata Mata Ie dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang rimbun sehingga kawasan objek wisata Mata Ie terasa sejuk dan teduh.

Pohon-pohon ini menjadi tempat naungan berbagai satwa seperti burung dan monyet ekor panjang.

Kolam-kolam pemandian bak warna hijau zamrud yang terdapat di kawasan Mata Ie seakan mengundang para pengunjung untuk merasakan sejuk airnya. Ditambah, bendungan atau pintu air yang terdapat pada kolam Mata Ie membuat aksen air terjun mini yang menambah keindahan.

Fasilitas yang terdapat di kawasan objek wisata Mata Ie pun terbilang lengkap, seperti: musala, toilet, kantin, dan lapangan tenis. Fasilitas-fasilitas ini membuat para pengunjung nyaman dan betah berlama-lama. Adapun biaya masuk per orang sebesar lima ribu rupiah.

Eksistensi Mata Ie memiliki peran yang krusial bagi sebagian masyarakat Aceh Besar. Mata Ie menjadi pemasok sumber air bersih melalui PDAM Tirta Mountala yang menaungi tiga kecamatan di Aceh Besar, yaitu Kecamatan Darul Imarah, Peukan Bada, dan Lhoknga. Keberadaan Mata Ie pun memberikan peluang ekonomi untuk bertahan hidup bagi banyak orang. Ada banyak individu yang menggantungkan mata pencariannya dari objek wisata tersebut seperti petani dan pedagang.

Namun, beberapa tahun terakhir, kolam di kawasan objek wisata Mata Ie mulai dilanda kekeringan. Tidak jarang kolam yang terdapat di Mata Ie menjadi kering total jika musim kemarau berkepanjangan. Kondisi ini berdampak pula pada kehidupan masyarakat di sekitar Mata Ie maupun bagi masyarakat yang menggantungkan hidup lewat eksistensi Mata Ie.

“Ada begitu banyak potensi alam yang dimiliki Mata Ie, salah satunya yaitu ekosistem karst. Karst adalah batuan kapur yang berfungsi untuk menyimpan air. Namun, saat ini kondisinya mengalami kerusakan sehingga berdampak pada berkurangnya debit air Mata Ie,” ujar Risma Sunarty, Dosen Manajemen Kebencanaan Universitas Muhammadiyah Aceh, Rabu, 24 April 2024.

Risma juga menjelaskan bahwa Mata Ie dianggap terancam kering akibat eksploitasi karst dari penambangan batuan untuk infrastruktur.

Akibatnya berdampak pada berkurangnya bentang alam dan tutupan lahan di sekitar kawasan sehingga fungsi ekologis karst terganggu dan memengaruhi biofisik ekosistem sebagai penyimpan air. Jika kawasan karst rusak, debit air pun berkurang, karenanya jika eksploitasi tidak segera dikurangi maka kawasan Mata Ie akan berdampak semakin buruk kedepannya.

Tidak hanya itu, Risma juga mengatakan, ancaman kawasan Mata Ie seperti eksploitasi batuan juga dapat berpengaruh pada berkurangnya vegetasi tutupan lahan yang dikhawatirkan akan berdampak pada area resapan air. Saat hujan turun, air tidak terserap ke tanah dan jadi terbuang begitu saja.

Kekeringan yang terjadi di Mata Ie menjadi kekhawatiran bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar, khususnya yang berdomisili di Kecamatan Darul Imarah dan sekitarnya. Sebagian besar masyarakat menggantungkan hidup pada eksistensi Mata Ie. Salah satunya Halimatus Sa’diah yang sudah berjualan di sekitar kolam Mata Ie selama 17 tahun.

Ia mengaku, beberapa tahun terakhir ini harus mengerahkan usaha ekstra untuk menggenjot perekonomian keluarga karena pendapatan dari hasil berjualan di Mata Ie berkurang akibat sedikitnya pengunjung ketika kolam kering.

“Pokoknya, selama kolam Mata Ie kering, selama itu juga kami enggak bisa jualan,” keluh Halimatus Sa’diah, penjual gorengan, Senin, 22 April 2024.

Kolam Mata Ie juga digunakan sebagai tempat mencuci pakaian bagi para warga. Pemandangan ini sudah menjadi pemandangan umum bagi para pengunjung kolam Mata Ie. Pemandangan itulah yang penulis lihat saat berkunjung ke sana pada 22 April lalu. Dari atas jembatan tampak ibu-ibu berjejer mencuci pakaian dari pinggiran kolam membentuk barisan sejajar dengan arus air. Warga yang mencuci di kolam Mata Ie tidak hanya berasal dari kawasan setempat seperti Keutapang dan Gue Gajah saja, tetapi juga dari kawasan lainnya.

Leli, salah seorang warga Pekan Biluy, Kecamatan Darul Kamal, mengaku sudah sekitar lima tahunan ia mencuci ke Mata Ie. Ia mengeluhkan air di rumahnya yang tidak bersih sehingga lebih memilih untuk mencuci pakaian di Mata Ie. Namun, kondisi kekeringan Mata Ie kerap membuat Leli tidak jadi mencuci dan terpaksa mencuci pakaiannya di rumah meskipun kondisi air yang tidak terlalu bersih.

“Saya pernah datang, tetapi tidak jadi mencuci karena kondisi Mata Ie ternyata kering,” katanya.

Kondisi kekeringan Mata Ie menjadi sumber kekhawatiran bagi warga.

Pasalnya, kondisi kolam yang kering kerontang membuat warga harus menghadapi klasik permasalahan seperti macetnya distribusi air PDAM ke rumah mereka. Tentu saja, permasalahan ini menghambat kegiatan-kegiatan domestik rumah tangga seperti mandi ataupun mencuci.

Rahmiana Rahman, salah satu warga Desa Lamlumpu, Kecamatan Pekan Bada mengaku per Mei 2024 memasuki bulan kelima ia tidak mendapatkan cukup distribusi air PDAM selama tahun 2024. Berdasarkan penuturannya kepada penulis pada Jumat, 5 Mei 2024, distribusi air PDAM yang tidak sampai ke tempat tinggalnya, membuatnya mau tidak mau harus membeli air bersih. Untuk satu tangki isi 5.000 liter, ia harus merogoh kocek sebesar Rp200 ribu.

Macetnya distribusi air ini sudah terjadi bertahun-tahun sejak kolam Mata Ie dilanda kekeringan pada tahun 2017. Rahmiana juga mengeluh, karena kejadian ini, ia terkadang harus menumpang mandi di masjid atau mencuci pakaian di rumah kenalannya di kampung sebelah.

Aktivis muda, Satrio Adi Wicaksono, menjelaskan tentang mengapa kekeringan bisa terjadi. Menurutnya ini bukan kondisi yang “extra ordinary”.

“Kekeringan bukan sesuatu yang tidak lazim. Jika dilihat dari catatan sejarah, sejak dulu sudah ada kekeringan. Kekeringan umum terjadi apalagi jika melihat area yang cenderung kering karena curah hujannya sedikit, kekeringan juga disebabkan oleh cuaca yang menjadi lebih panas,” ujar alumni Program Doktoral Brown University dengan fokus studi Geologi dan Paleoklimatologi yang bekerja sebagai program officer International Union for Conservation Nature and Nature Resource(IUCN) regional Asiatersebut, Jumat, 26 April 2024.

IUCN merupakan organisasi perlindungan lingkungan terbesar di dunia yang didirikan pada tahun 1948. Organisasi ini berfokus pada bisnis dan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, pengelolaan ekosistem, hukum lingkungan, kehutanan, kebijakan global, kawasan lindung, solusi berbasis alam, sains dan ekonomi, tata kelola dan hak, kelautan dan kutub bumi, gender dan warisan dunia.

Para anggota IUCN yang saat ini beranggotakan 78 negara yang ada di dunia akan berdiskusi tentang berbagai masalah lingkungan yang terjadi di dunia, kemudian merumuskan kemungkinan solusi dengan menyertakan berbagai pihak terkait.

Adapun paleoklimatologi yang menjadi konsentrasi Satrio merupakan cabang ilmu geologi yang mempelajari kondisi iklim bumi di masa lampau. Tujuannya adalah untuk memahami perubahan iklim yang telah terjadi sepanjang sejarah bumi dan faktor apa saja yang memengaruhinya sehingga membantu untuk memahami pola iklim masa depan dan dampak perubahan iklim global saat ini.

Perubahan iklim katanya dapat terjadi karena kandungan emisi CO2 di atmosfer menjadi sangat banyak dan berakibat pada perubahan temperatur bumi yang meningkat.

Fenomena perubahan iklim yang terjadi saat ini berpengaruh pada perubahan ketersediaan air, sehingga air menjadi lebih langka di banyak wilayah. Banyak negara sekarang menghadapi ancaman tidak memiliki air yang cukup dan menyebabkan kekeringan. Satrio juga menjelaskan, kekeringan bisa terjadi berkepanjangan secara intens karena cuaca yang menjadi lebih panas, kemarau yang menjadi lebih panjang, atau musim hujan yang menjadi lebih pendek.

“Namun, harus dipelajari lebih lanjut penyebab pasti kekeringan di suatu wilayah, apakah karena kekeringan meteorologis (curah hujan yang kurang), kekeringan hidrologis (kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah), ataupun kekeringan ekologis (kekurangan air di dalam tanah untuk kebutuhan pertanian),” urainya.

Satrio juga menambahkan, dampak perubahan iklim dapat memengaruhi kehidupan masyarakat. Kekeringan yang terjadi mengakibatkan produktivitas masyarakat terhambat. Kurangnya pemasok air bersih akibat kekeringan dapat berdampak pada ekonomi dan kesehatan masyarakat.  

Karenanya, keberadaan Mata Ie menjadi penyeimbang hidup banyak orang dan ekosistem. Penting untuk kita bersama-sama menjaga kesejahteraan lingkungan demi menjaga eksistensi Mata Ie sehingga Mata Ie dapat berfungsi seperti sedia kala.[]

Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *