Kategori
Edukasi

Leuser, Separuh Asa Masih Tertinggal di Sana

Hutan, sukarelawan, masyarakat dan orang luar, itulah empat kata yang muncul di benak saya kala membaca poster bertuliskan kata “Leuser”.  Sepintas kenangan akan dataran indah Gayo tahun 2011 silam kembali menari-nari. Sebut saja keberuntungan, di kala itu kebanyakan relawan perempuan E-Mate (E-Learning Medan, Aceh, Taiwan) menolak untuk di tempatkan di daerah indah ini. Tanpa pikir panjang, saya dengan enteng menggangguk menyanggupi.

Tidak ada bayaran rupiah atau pun fasilitas mewah, mereka mengingatkan kembali—khawatir akan lisan yang tidak sinkron dengan pemikiran—dan saya kembali mengangguk untuk mengklarifikasi. Maklum saja, berbeda dengan para pria yang memiliki banyak kesempatan mengeksplorasi alam dan rasa penasaran secara mandiri. Bagi kami perempuan kesempatan sakral seperti ini hanya bisa disiasati melalui kegiatan tertentu.

Belum lagi ditambah perjuangan perizinan orang tua melalui wawancara panjang bak lamaran kerja. Sehingga tak heran jika banyak relawan perempuan yang mundur cantik sedari awal penempatan. Padahal kepedulian terhadap lingkungan bisa jadi lebih mudah disosialisasikan kepada masyarakat sekitar melalui perempuan, sebab mereka mudah merasa dan senang bercerita. 

Perjalanan saya ke Gayo Lues tahun 2011 dilakukan dalam rangka memberikan pelatihan untuk para pemuda, guru dan siswa terkait proteksi hutan yang dikemas dalam berbagai bentuk penataran. Beberapa di antaranya berupa program pengenalan manajemen daur ulang sampah, edukasi pengurangan sampah digital, pelatihan kepenulisan dan pembuatan desain campaign proteksi hutan hujan—yang lebih dikenal dengan sebutan Leuser. 

Ada hal unik yang saya pelajari selama menjadi sukarelawan, salah satunya adalah fakta lapangan yang saya dapati akan besarnya antusiasme orang-orang luar negeri terhadap alam dan hutan Aceh. Dari menjadi pemateri, peneliti, bahkan sukarelawan pun mereka lakoni demi memperoleh kesempatan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan proteksi Leuser, sang paru-paru dunia.

Sedangkan kita, masyarakat Indonesia,  masih ramai yang bergeming—antara bingung dan tak peduli—menganggap segala hal baik-baik saja. Lebih disayangkan lagi, ternyata masih banyak pula masyarakat Aceh yang tak mengenal Leuser sama sekali. Bahkan ada yang mengira Leuser itu merupakan nama gunung di luar negeri. 

Dari 10 hari target perjalanan, 6 hari kami gunakan untuk pelatihan dan sisanya untuk bersilaturrahmi ke masyarakat dan mengeksplorasi hutan. Tentu tak lupa diselingi dengan kegiatan ngopi di sana sini—dari cafetaria hingga rumah warga—yang pada akhirnya membuat saraf mulai tak karuan dan jantung terus berdebar, sepertinya ketagihan. 

Kenangan yang paling menyenangkan adalah kala kami ikut terlibat langsung dalam proses memanen kopi dan coklat di perkebunan warga dan melihat langsung proses pengolahannya.  Saat itulah mata saya terbuka, ternyata alam kita sangatlah kaya. 

Namun manusia kerap egois, kenangan indah itu berakhir miris. Saat saya dan kawan-kawan relawan melanjutkan perjalanan menuju Leuser, tiba-tiba kami dihentikan warga di tengah perjalanan. “Kebakaran hutan, ada harimau yang mati, sebaiknya perjalanan dicukupkan sampai di sini,” nasehat warga kepada kami. Kecewa dan sedih saat tak bisa menapaki Leuser padahal sudah tak jauh lagi.

Namun yang paling mengiris hati adalah kala melihat kepulan asap dan perpohonan gosong yang menghitam dari kejauhan. Dari sudut lainnya juga terlihat beberapa bagian hutan yang gundul karena pembabatan liar. Padahal tanpa merusak apapun, alam telah memberikan lebih dari sekedar cukup namun mengapa manusia ini tak puas juga?

Bayangkan saja andai kita semua mencoba untuk sedikit lebih peduli dalam menjaga Leuser sejak dini, mungkin akan ada kisah indah yang dapat kita tuturkan untuk anak cucu kelak. Bayangkan pula bagaimana bahagianya hati kala para cucu dari masa depan berselfie ria, mengupload foto mereka ke sosial media dan men-tag kita dengan caption sedemikian rupa.

“Terima kasih Nek untuk cerita indah Leuser selama ini. Kini kami masih bisa menikmatinya secara nyata. Kami akan terus menjaganya juga seperti yang kalian lakukan sebelumnya.”  #ILoveLeuser #NenekKece #PerempuanPeduliLeuser 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *