Oleh Amrina Habibi*
Bisa berhaji adalah mimpi saya sejak lama. Keinginan dan motivasi berhaji selalu muncul dan tumbuh dalam diri saya sejak kecil. Almarhumah nenek yang saya panggil Chik, dengan konsisten membangun semangat itu sejak saya bocah.
Setiap malam menjelang tidur, Chik selalu bercerita banyak hal, terutama soal sejarah, silsilah antarkeluarga, dan tema khusus tentang haji. Chik menceritakan pengalamannya berhaji ke Mekkah dengan kapal laut melalui Collen Station di Sabang. Butuh waktu yang sangat lama. Beliau berhaji dan berada di Arab selama tiga tahun untuk mendampingi seorang pocut (istri ulee balang) dari Samalanga. Chik yang pernah merasakan hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang, berpulang ketika saya kelas 2 SMA di tahun 90-an. Cerita-cerita Chik tentang haji melekat di benak saya. Alhamdulillah, saya bisa menunaikannya pada musim haji tahun ini.
Satu kalimat yang selalu Chik ucapkan adalah “la’ matis tahi“. Jangan enggak ada malu ya, terutama kalau mau menegur sebuah tindakan buruk saya. Setelah menikah baru saya menyadari, wah, ternyata itu pengasuhan yang positif karena Chik selalu berusaha lembut. Menegur, tapi tidak dengan cara yang kasar.
Satu hal yang menjadi perhatian serius saya saat berhaji adalah soal kebersihan. Di tanah haram, terutama pada fasilitas publik seperti masjid dan jalan sangat bersih. Tidak pernah sekali pun saya melihat tumpukan sampah atau mencium aroma tak sedap yang berasal dari sampah. Ke mana mereka membawa sampah-sampah yang cukup banyak itu? Untuk menjawab rasa penasaran itu, akhirnya saya mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada seorang abang kelas yang sudah sangat lama menetap di Arab Saudi. Jawabannya sungguh membuat saya kagum. Pemerintahah Saudi sangat ketat dalam mengontrol sampah dan limbah, terutama untuk menjaga kebersihan di Kota Mekkah dan Kota Madinah.
Setiap tahunnya negara Saudi menghasilkan sampah sekitar 106 juta ton. Bagi Saudi, sampah tersebut bukannya menjadi beban, malah menjadi uang masuk. Salah satu sumber produktif yang menghasilkan lembar-lembar rial. Berdasarkan penjelasan abang kelas saya, ada sekitar Rp457 triliun pemasukan yang diperoleh Pemerintah Saudi dari sampah dan limbah. Sambil bercanda ia mengatakan dengan jumlah itu bisa membangun IKN. Dana yang besar itu bersumber dari beberapa klaster, seperti dari penangangan sampah yang dihasilkan dari retribusi sampah, hasil pengolahan sampah daur ulang, dan sampah padat. Pengelolaan sampah dan limbah di Saudi ternyata bisa membuka lahan pekerjaan baru yang bisa menyerap hingga 77 ribu tenaga kerja.
Alangkah kerennya kalau pemerintah kita juga bisa berinovasi seperti itu. Karena semakin hari, semakin bertambah jumlah pengangguran di daerah kita. Tak terkecuali para pengangguran akademik yang bisa menimbulkan banyak masalah. Kerentanan ekonomi pada individu atau kelompok masyarakat dapat memicu meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga, bahkan pemerkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh ayah kandung atau orang terdekat. Ironisnya lagi, anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi ekonomi keluarga yang buruk terpaksa harus bekerja di usia dini. Hal ini memicu mereka untuk mengemis atau melakukan pekerjaan berat. Beban hidup telah merampas hak-hak dasar anak untuk bersekolah, bermain, atau beristirahat.
Saudi punya 1.300 lebih pusat pengolahan sampah dan limbah yang di antaranya tersebar di Riyadh, Jubail, dan Yanbu. Mereka punya divisi pengolahan sampah rumah tangga, sampah padat, sampah elektronik, hingga sampai limbah cair. Alat-alat dan pengolahan sampah modern banyak yang menggunakan sistem pembakaran (incenerator). Uniknya, pembakaran tersebut tidak menghasilkan debu karena cerobong asap akan disemprot dengan air untuk menghindari polusi udara.
Piring-piring plastik dan aluminium yang tiap hari kami gunakan sebagai wadah makanan dan minuman ternyata didaur ulang kembali oleh bagian yang bernama Al Qaryan. Jadi, jangan heran jika di restoran atau rumah tangga tak ada “sesi” cuci piring yang melelahkan. Kalaupun ada yang harus dicuci hanya wadah untuk memasak. Di restoran mana pun kita makan, besar atau kecil, tak terkecuali di Zam Zam Tower, tetap saja menggunakan wadah plastik.
Tentunya setiap selesai makan ada juga potensi makanan yang mubazir termasuk dari sisa makanan catering pengelola haji yang kurang diterima oleh lidah jemaah. Ternyata juga ada unit khusus yang menangani sampah makanan untuk didaur ulang menjadi pupuk dan yang menanganinya adalah Tadweer.
Apakah perempuan terlibat dalam pengelolaan sampah ini? Saudi masih sangat ketat dalam gerakan pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming. Pelibatan dan keterwakilan perempuan telah dibuka di mana-mana, tetapi masih terbatas pada orang lokal. Perempuan juga tidak bekerja pada sektor-sektor yang “kasar”, tetapi lebih pada urusan administrasi. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan di Saudi umumnya tidak mengandalkan otot, tetapi mengandalkan kompetensi intelektual.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah jemaah haji cukup bisa merespons kebijakan pengelolaan sampah ini dengan baik? Dalam pandangan pribadi saya terhadap hal ini, rasa-rasanya dibutuhkan kapasitas yang lebih teknis untuk mendorong perubahan perilaku dan penyesuaian jemaah dengan kondisi setempat. Keadaan di Saudi tentunya berbeda jauh dengan kondisi di kampung halaman kita. Kesimpulan sederhana saya, hal tersebut harus dimaknai “halus” seperti hati perempuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor dan kondisi. Misalnya, bisa dilihat pada beberapa perilaku seperti tidak menyiram closet usai buang hajat karena ketidakcakapan penggunaan teknologi dan model closet yang sangat berbeda seperti di kampung halaman. Selain itu, juga tidak terbiasa meludah ke tong sampah yang telah disediakan khusus karena kebiasaan meludah di tanah. Hampir semua lantai sudah permanen, apalagi di kawasan masjid. Jalan-jalan yang tadinya kita lewati dan mungkin sempat kita ludahi, bukan tidak mungkin akan berubah menjadi tempat kita bersujud di lain waktu. Belum lagi masih ada tisu, pembalut, atau pampers bekas pakai yang tidak dibungkus dan tidak dibuang ke tempatnya.
Di lain sisi, yang menjadi perhatian adalah soal ketersediaan tong sampah yang terlalu kecil di kamar hotel. Antara jumlah penghuni kamar dengan kapasitas tempat sampah tidak sesuai. Terkait ini perlu dilihat dari dua sisi. Pertama, tong sampah hanya digunakan untuk menampung sampah kering yang tidak berbau. Untuk kotak nasi atau wadah makanan dan makanan sisa tidak dimasukan ke dalam tong sampah, tetapi ke dalam plastik besar atau langsung disetor ke tong besar di luar kamar. Selama di Mekkah, pada setiap lantai hotel terdapat tong besar yang dalam sehari akan diambil dan diganti sebanyak dua hingga tiga kali. Kalau ada laporan kepada manajer hotel mungkin bisa bertambah.
Jadi, intinya, menurut penjelasan abang kelas saya, jika ada kemauan dan manajemen yang bagus, persoalan sampah ini pasti mampu diatasi. Begitu juga dengan pengelolaan limbah di tempat kita yang masih karut-marut. Bahkan, saya dan rekan-rekan sebagai verifikator Kota Layak Anak (KLA), sering merasa miris ketika melakukan verifikasi ke lapangan. Predikat KLA mestinya beriringan dengan kebijakan kota hijau, kota inklusi, atau kebijakan lain yang berpihak pada pemenuhan hak-hak anak. Namun, yang sering kami temui di lapangan justru tumpukan sampah di mana-mana. Berbeda dengan apa yang tertulis di lembar-lembar dokumen.
Harapannya, siapa pun yang menjadi pemimpin, haruslah memenuhi kriteria sebagai pemimpin yang baik, jujur, amanah, dan cerdas. Sehingga bisa membangun Aceh di segala aspek, termasuk menuntaskan persoalan sampah.[]
Penulis adalah Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh
8 tanggapan untuk “Kreatifnya Saudi, Mengubah Sampah Menjadi Rial Bernilai Triliunan”
Pengalaman Serta Motivasi yang Luar biasa BANYAK PEMBELAJARAN BISA DI KUTIP, SALUUUT bundaaaa
Senangnya berhaji sambil mengamati dan belajar banyak hal dari kehidupan di Mekkah dan Madinah. Semoga bisa sampai kesana juga. Bisa mengamati dan belajar hal baik di sana. Aamiin.
Huaaaaa 😫😫
Bundaa kereeen kaliii , banyak banget kesan dan pesan yang dapat dijadikan pembelajaran 💗💗
Keren Buk Am.
Tulisan yang ringan, dengan isinya yang renyah.
Semangat pemenuhan hak anak sejalan dengan semangat membangun daerah Adipura. Lingkungan yang sehat dan nyaman tentu membentuk karakter anak-anak.
Kesadaran akan segala hal memudahkan mencari solusi yg ada dari setiap permasalahan, ini yg belum muncul pada diri sebagain besar kita di Indonesia khususnya di Aceh…
Semoga dapat menjadi inspirasi kita dalam penanganan dan pengelolaan sampah dan semoga kita tidak termasuk bagian dari sampah tersebut 😆
tapi… secara umum masy Saudi blm banyak yg sadar akan pengelolaan sampah. Semua dibebankan sama petugas kebersihan. kalo belanja, plastiknya banyak banget, 1 plastik per 1 aitem. Gelas zam zam juga masih plastik. Konsumsi plastik sekali pakai di saudi besar banget. Masalah mubazir? itu bab lain lagi. Tidak semua hal dr negara lain itu lebih baik. Mereka bisa keliatan bersih krn banyak resource utk bikin bersih tanpa harus merubah kesadaran warganya. Cheers
Tulisan yang sangat kritis dan membangun, Ibu.
Bagus sekali untuk komunitas dan gerakan yg senang dengan isu lingkungan.
kerennn🔥