Kategori
Edukasi Feature Kisah Perempuan

Perempuan Kreatif; Mengubah Metode Pendidikan Konvensional Menjadi Pendidikan Berdasarkan Fitrah

“Hari ini kita masak mi ayam. Jadi, Koki Ummi Syifa akan membagi ke dalam empat kelompok ya! Masing-masing kelompok, ada satu orang tua dan dua orang anak.” Ujar Syifa yang bertugas sebagai guru dalam program Orang Tua Mengajar pada hari itu (8/05/2024). Hampir tiga jam, para orang tua dan anak-anak berkutat dengan aktivitas yang dinamai fun cooking tersebut.

Ada yang bertugas merebus mi, menumis ayam, merajang sayuran, dan mempersiapkan kuah, hingga akhirnya tersajilah mi ayam kuah. Mereka menikmati bersama sambil diselangi canda tawa, dan anak-anak ikut bahagia beraktivitas dengan orang tua mereka.  Begitulah sekelumit aktivitas di komunitas belajar yang digagas oleh Rahmiana Rahman.

Lembaga pendidikan non formal yang dinamai Bumoe Leraning Community ini, hadir sebagai alternatif dalam menyikapi pendidikan konvensional yang lebih menekan pada kecakapan dan sebuah nilai. Di komunitas ini, orang tua berkumpul, belajar bersama dalam pengasuhan, berproses, dan saling sharing membersamai anak.

“Metode yang digunakan fokus pada tahapan perkembangan anak, jadi tidak mengegas anak dalam belajar seperti pendidikan sekolah formal pada umumnya. Di sini lebih melihat potensi anak dan apa yang ia sukai.” Ungkap Rahmi yang merupakan Katua Yayasan Rumah Relawan Remaja, tempat bernaungnya Bumoe Learning Community (10/05/2024).

Sebab, menurut sepengetahuan Rahmi sebagai santri tallents mapping bahwa untuk mencapai sebuh kompetensi fitrah, ada yang namanya Tallents, Attitude, Skill, Knowladge (TASK). Pengembangan inilah yang membawa anak memaksimalkan potensi fitrahnya agar bermanfaat di masyarakat atau di kehidupan nyata. Hal seperti ini jarang didapati di pendidikan konvensional, khususnya di persekolahan.

Berdasarkan pengalamannya yang pernah menjadi guru di sekolah selama 7 tahun, pendidikan konvensional yang terdapat di sekolah-sekolah saat ini banyak yang menyimpang dari pendidikan yang sebenarnya. Misalnya saja dalam memberikan sebuah penilaian. Kadang guru terpaksa memberikan nilai bagus kepada muridnya demi mempertahankan nama baik sekolah. Tuntutan institusi sekolah terhadap civitasnya membuat pendidik mencederai makna pendidikan itu sendiri. Terlebih anak-anak dipaksa demi yang namanya kurikulum dan sebagainya, sehingga membuat anak terbebani bahkan tidak segan berbuat curang.

Kecurangan ini pernah Rahmi alami semasa ia menjadi murid dan bersekolah di sekolah umum. Di mana saat ujian kelulusan sekolah, guru memberikan kunci jawaban kepada murid-muridnya agar sekolah tersebut terlihat bagus karena muridnya lulus 100%. Belum lagi ketimpangan antara guru honorer dan guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), masih jadi polemik internal di dalam dunia pendidikan konvensional.

“Saya pernah merasa “ditindas” guru-guru senior saat jadi guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) saat itu. Dipaksa masuk jam pelajaran lebih banyak, mendapat bayaran lebih sedikit, kegiatan ekstra kurikuler di sekolah saya yang pegang. Padahal sudah jelas yang berpenghasilan dari negara siapa, tapi tugas tersebut dilimpahkan kepada kami yang honorer,” keluh Rahmi. Meskipun ia menikmati pekerjaan tersebut, tapi dalam hakikat pendidikan sebenarnya bukanlah seperti itu.

Pengalaman lainnya yang ia temui saat menjadi guru dan kepala asrama di Sekolah Internasional, banyak guru mengeluh dan komplain terhadap kebijakan sekolah yang sepihak. Namun, mereka tidak punya pilihan dan hanya bisa bertahan dalam ketidaknyamanan. Persaingan antar guru pun kerap terjadi demi mendapat perhatian dari atasan. Lain lagi perkara orang tua yang meyalahkan guru atau pihak sekolah ketika anaknya bermasalah. Seolah pendidikan hanya dilimpahkan kepada pihak sekolah tanpa campur tangan orang tua. Kenyataan-kenyatan seperti itu jelas menodai yang namanya pendidikan.

Berangkat dari pengalaman tersebutlah Rahmi tidak ingin anaknya masuk ke dalam dunia pendidikan konvensional, sehingga dibuatlah pendidikan alternatif berdasarkan fitrah anak yang dinamai Bumoe Learning Community. Selain anaknya sendiri, komuintas ini juga menerima anak dan orang tua yang mau belajar bersama dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Harapannya akan banyak anak dan orang tua yang mendapatkan pendidikan sesuai kebutuhan fitrahnya.

Rahmi sedang membacakan buku cerita untuk anak-anak.

Flashback Pendidikan Konvensional

Selain Rahmi, Ada Zamira Bibi yang sepakat bahwa perlu ada pengganti atau alternatif dari pendidikan konvensional yang dipraktikkan secara turun temurun selama ini. Menurut Zamira pendidikan konvensional saat ini sudah kurang relevan untuk anak-anak zaman sekarang.

Sebab berdasarkan pengalaman sekolahnya di pendidikan formal, mulai tingkat kanan-kanak hingga bangku perkuliahan tidaklah memberi dampak signifikan terhadap kehidupannya. Karena mungkin dipengaruhi beberapa faktor, misalnya pilihan jalan hidup dan sebagainya. Hanya satu hal yang bisa dilihat bahwa pendidikan konvensional  mendapat output berupa gelar dan ijazah.

“Standar pengukuran pendidikan konvensional cenderung menyamaratakan potensi anak, lebih menitikberatkan pada angka, dinilai dengan capaian numerik, dan scoring. Padahal tidak demikian ketika kita sudah melihat keunikan anak-anak, tentu setiap anak punya score terbaiknya masing-masing.” Jelas Zamira yang merupakan praktisi tallents mapping.

Zamira meyakini bahwa Allah SWT menciptakan kita dan anak-anak dengan kekuatan dan kelemahannya sekaligus. Hanya saja pendidikan konvensional cenderung melihat anak-anak dari sisi kekuatannya saja. Sedangkan sisi kelemahannya dibuat seragam melalui standar-standar yang sudah diterapkan.

Contohya saja anak yang mempunyai kecerdasan matematika dan analisa terhadap angka dinilai sebagai anak yang pintar dan cerdas, sehingga dijadikan juara kelas. Padahal ada kecerdasan lain yang tidak diakomodir oleh sekolah sehingga menutupi kecerdasan anak-anak di bidang lainnya. Sebab di masyarakat tidak hanya membutuhkan orang-orang yang pintar secara akademik saja, tapi ada keterampilan lain yang membuatnya hidup lebih baik dan berdampak dalam masyarakat.

Sebenarnya tidak masalah anak-anak itu bersekolah di manapun dengan sekolah model apapun, hanya saja orang tua ikut berperan dalam memberikan pendidikan tersebut. Namun, selama ini kita kurang tepat memahami makna sejati pendidikan karena menganggap bahwa pendidikan itu sama dengan sekolah. Padahal pendidikan itu sangat berbeda dengan persekolahan.

“Pendidikan tidak mesti harus di sekolah, karena di rumah pun bisa menjalani pendidikan. Begitu pula di sekolah, belum tentu semuanya terdidik. Kalau sekolah-sekolah saja, tapi barang kali tidak ada fungsi pendidikan di rumah yang dilakukan orang tua, sama saja.” Ujar Zamira

Maka dari itu, Zamira sepakat dan mendorong anak-anaknya untuk punya mindset pendidikan yang tepat dan berikhtiar dengan menjali metode pendidikan berdasarkan fitrah.

Anak-anak bisa belajar di mana pun, termasuk di kafe.

Pendidikan Berdasarkan Fitrah

Pendidikan berdasarkan fitrah adalah sebuah konsep pendidikan yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada anak untuk tumbuh selaras fitrahnya, agar kelak hidupnya bermanfaat untuk diri, keluarga, dan banyak manusia. Ada delapan aspek fitrah yang harus dikembangkan pada anak agar pendidikan fitrahnya tercapai.

Delapan aspek ini meliputi fitrah keimanan, belajar dan bernalar, perkembangan, bakat, estetika, seksualitas, individualitas, dan jasmani. Semua fitrah ini perlu dirawat bersama-sama karena setiap fitrah punya fase “golden age-nya” masing-masing. Dan dalam pendidikan fitrah yang paling unik saat orang tua merawat fitrah anak, maka fitrah dirinya akan ikut bercahaya kembali.

Hal tersebutlah yang dirasakan Zamira ketika memilih pendidikan fitrah untuk anaknya. Awalnya anak pertama Zamira bersekolah di Sekolah Alam pada tingkat dasar. Selesai dari itu, anaknya memilih unschooling karena Zamira memberikan kesempatan kepada anaknya untuk belajar apa yang diinginkan dan diminati sesuai fitrahnya.

Pilihan tersebut tentunya membuat Zamira punya hak penuh dalam mendidik anaknya. Meskipun di rumah, tapi setiap aktivitasnya dipenuhi dengan pembelajaran karena orang tualah yang paling paham anak-anaknya. Beginilah seharusnya pendidikan sejati yang berasal dari rumah.

Sadar akan pentingya kebutuhan pendidikan berdasarkan fitrah, Zamira pun mendirikan sebuah Program Pendidikan dan Pembelajaran Enterpreneurship untuk anak dan pemuda yang diberi nama Hubbika House Creative. Konsep fitrah yang dipakai di sini, sebagai salah satu pendekatan dalam membersamai orang tua untuk menghidupkan kembali fitrah anak, memaluai proses pembelajaran yang berbeda dengan pendidikan konvensional.

Baik Rahmi maupun Zamira, mereka adalah perempuan kreatif yang paham akan kondisi pendidikan saat ini. Tidak mau anak-anak mereka mengalami pengalaman yang sama dengan jalan pendidikan konvensional yang mereka tempuh, maka mereka mendirikan lembaga pendidikan yang sesuai dengan fitrahnya anak.

Sebab ketika kita memberikan anak-anak ruang yang lebih luas untuk menjadi diri sendiri, mereka akan lebih mudah menemukan jati diri. Tidak perlu menjadi hebat seperti orang lain, cukup menjadi diri sendiri yang bermanfaat itu lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *