AKHIR tahun lalu bisa dikatakan menjadi “nightmare” bagi Amana—bukan nama asli. Gara-gara satu postingan yang viral di media sosial berbasis audio visual, dirinya pun menjadi “bulan-bulanan” di jagat maya. Semula Amana tak peduli, tetapi risakan demi risakan yang ditujukan kepada dirinya di media sosial semakin brutal. Komentar-komentar yang dilontarkan bernada kasar, penuh kebencian, misoginis, hingga body shaming. Tidak hanya mengganggu, komentar-komentar tersebut membuat Amana merasa terancam.
Saat ditelusuri ulang oleh perempuanleuser.com pada Minggu, 9 Juni 2024, video yang diunggah menjelang akhir November 2023 tersebut sudah mencapai 2,3 juta view; 58,6 ribu like; 4.111 komentar; dan 1.416 reshare.
Setelah video tersebut viral, kotak pesan di media sosial Amana dibanjiri permintaan pesan dari akun-akun yang tak dikenal. Anehnya, meski peristiwa yang memicu kejadian tersebut terjadi di Aceh, tetapi orang-orang (akun) yang menghujatnya juga berasal dari wilayah lain di Indonesia. Sebagiannya terdeteksi sebagai akun robot. Komentarnya cenderung seragam. Dan, tentu saja sangat provokatif. Misalnya, ‘Ibu-ibu ***** *** penjilat’, ‘Siapa perempuan itu? Sok-sok membela pengungsi’, atau ‘Gua tandain lu ya bu’. Ada juga komentar dalam bahasa Aceh yang artinya ‘injak saja lehernya’. Atau komentar ‘Cari aja info akun mbaknya’, bahkan ada yang menyebut ‘ibu ******anak’.
Namun, yang lebih membuat Amana miris, komentar-komentar lancang tersebut tampaknya memang disengaja karena dia seorang perempuan. Dalam komentar-komentar tersebut, misalnya, terdapat kata inong (bahasa Aceh) yang berarti perempuan. Komentator yang merasa superior tampaknya lupa, meskipun berinteraksi di dunia maya tetap saja perlu etika.
“Kalau sasarannya laki-laki, saya yakin komentar-komentarnya tidak akan seperti itu,” kata Amana saat diwawancarai perempuanleuser.com pada Kamis malam, 6 Juni 2024.
Bahkan, buntut dari postingan di media sosial itu, efeknya terasa hingga di dunia nyata. Ada orang yang dengan sengaja menandai (tag) akun pribadinya di postingan yang sedang viral.
“Beberapa hari setelah kejadian itu, saya dan rekan-rekan makan di sebuah kafe di Banda Aceh, tak lama setelah itu muncul postingan di sebuah akun yang menyatakan keberadaan saya di kafe tersebut,” cerita Amana.
Tentu saja Amana merasa ngeri. Wajahnya kadung “ditandai” oleh warganet. Sampai-sampai ketika ia sedang makan di sebuah kafe pun, ada orang yang diam-diam merekam keberadaannya dan memostingnya di media sosial. “Bagaimana kalau saya masih di sana? Lalu orang-orang datang dan meluapkan kemarahannya kepada saya?”
Yang Amana tak habis pikir, ada pula akun yang membeberkan alamat tempat tinggal pribadinya. Amana cemas. Terutama setelah ada akun yang mengomentari postingan Amana bersama anaknya di sebuah platform media sosial. Ketika sudah melibatkan keluarganya, tentu saja Amana tak bisa menganggap itu sepele. Amana pun menjadi paranoid.
“Kami sudah warning dengan halus. Kalau kamu masih bersikeras, jangan salahkan kami kalau kami main kasar. Ngeri saya. Benar nggak nih?” kata Amana menirukan salah satu komentar di unggahan foto ia dengan anaknya.
“Sampai sekarang saya masih parnoan,” ujar ibu satu anak tersebut.
***
Amana adalah salah satu staf yang bekerja di lembaga yang berkonsentrasi pada penangangan pengungsi di seluruh dunia. Sejak bergabung di lembaga itu, Amana kerap bertugas ke lokasi-lokasi tempat para pengungsi Rohingya terdampar di Aceh. Pada 23 November 2023 lalu, subuh-subuh buta Amana bersama tiga petugas keamanan telah bertolak dari Pidie menuju Banda Aceh. Ia mengejar waktu agar tak ketinggalan kapal cepat yang bertolak pada pukul delapan pagi dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, menuju Pelabuhan Balohan, Sabang.
Pada pukul 22.30 WIB sebelumnya, sekitar 200-an pengungsi Rohingya terdampar di perairan Sabang. Itulah yang membuat Amana berpikir untuk tiba di Sabang secepat mungkin. Para pengungsi harus mendapat penanganan secepatnya. Terutama yang berkaitan dengan kebutuhan logistik. Di antara mereka juga ada yang memerlukan penanganan medis segera.
Sementara itu, warga setempat menolak keberadaan Rohingya dan meminta mereka segera dipindahkan dari Sabang. Amana menjelaskan bahwa urusan pindah-memindahkan pengungsi bukanlah kewenangan lembaganya. Melainkan kewenangan pemerintah daerah.
Ketika salah seorang warga menyampaikan “uneg-unegnya” perihal penolakan pengungsi Rohingya, ada orang yang merekam “orasi” tersebut. Video tersebut kemudian diunggah ke media sosial. Lalu viral. Netizen latah berkomentar tanpa tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Amana yang menjadi satu-satunya staf perwakilan dari organisasi tersebut pun menjadi sasaran empuk. Ia dicerca habis-habisan di jagat maya. Amana merasa dirinya diawasi dan dipantau di jagat nyata sehingga tak berani pergi ke kafe yang sama berulang-ulang.
“Ke mana-mana saya pakai masker. Nggak berani lagi pakai atribut organisasi kalau pergi-pergi,” kata perampuan asli Aceh tersebut.
Meski belum begitu familer di kalangan masyarakat umum, tetapi sebagai orang yang bekerja di lembaga internasional, Amana mengetahui kalau dirinya sedang mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO). Hal ini membuatnya agak lebih mudah menangani tekanan-tekanan psikologis yang terjadi akibat perisakan di media sosial. Namun, meskipun kekerasan itu terjadi di dunia maya, efek psikologisnya tak bisa dianggap sepele.
“Kalau menghadapi orang marah-marah secara langsung sebenarnya sudah biasa bagi saya, orang pukul-pukul meja, tapi ini yang paling mengerikan adalah ada orang-orang yang nge–tag akun pribadi, menyerang pribadi saya, DM ke akun pribadi,” katanya.
***
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet)—sebuah organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, di antaranya, hak atas rasa aman di ranah digital—dalam buku panduan Memahami dan Menyikapi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) mendefinisikan KBGO sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender dan difasilitasi oleh teknologi.
Versi Komnas Perempuan menyebutnya dengan istilah kekerasan siber berbasis gender (KSBG). Ada juga istilah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Merujuk pada buku panduan terbitan SAFENet, sebagaimana dikutip dari ykp.or.id, terdapat enam aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai KBGO. Meliputi pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi, online harassment, ancaman dan kekerasan, dan community targeting.
Efek KBGO, tak hanya menyebabkan gangguan atau kerugian psikologis, keterasingan sosial, atau kerugian ekonomi saja, tetapi juga dapat menyebabkan terbatasnya mobilitas dan sensor diri.
Beberapa dampak di atas dirasakan oleh Amna. Selain menjadi paranoid, ia tak lagi leluasa mengunggah momen-momen berharga dirinya dengan keluarga di media sosial. Bahkan untuk sementara waktu ia sempat “diungsikan” ke provinsi lain.
“Ini yang membuat saya nyaman karena lingkungan dan rekan-rekan kerja saya sangat peduli dengan keselamatan dan keamanan kami di lapangan,” kata Amana.
Kasus KBGO Semakin Tinggi
Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kasus KBGO di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Ditilik dari model kasusnya pun, sebagaimana disebutkan komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, semakin berkembang. Dikutip dari Tempo, Yentri merincikan, pada 2017 kasus KBGO yang dilaporkan ke Komnas Perempuan ada 16 kasus. Naik menjadi 97 pada 2018, lalu menjadi 281 kasus pada 2019. Angkatnya melonjak drastis pada 2020 menjadi 940 kasus yang dilaporkan. Naik lagi menjadi 1.721 pada 2021. Sedikit menurun pada 2022 menjadi 1.697 dan menjadi 1.272 pada 2023.
“Namun, ini bukan berarti jumlah KBGO berkurang, melainkan sekarang semakin banyak kanal pengaduan KBGO selain ke Komnas Perempuan,” katanya sebagaimana diberitakan Tempo, 5 Juni 2024.
Pegiat literasi digital di Aceh, Hendra Syahputra, yang juga dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, menilai, rendahnya literasi masyarakat Indonesia tercermin dari interaksi maupun komentar-komentar yang ditinggalkan di internet. Literasi yang rendah menurutnya akan berdampak pada rendahnya kemampuan individu dalam menganalisis maupun untuk mencari sumber informasi yang benar sehingga gampang terprovokasi, mudah tersulut emosi, dan “anarkis”.
“Mereka ini kalau membaca berita atau informasi cuma fokus di judul saja dan suka latah dalam berkomentar, fear off missing out atau FOMO, alhasil tak peduli meskipun komentar-komentarnya melukai orang lain, senangnya ‘merujak’ orang,” kata Hendra, Minggu, 9 Juni 2024.
Jika melihat Status Literasi Digital di Indonesia 2023 hasil survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengukur skor indeks literasi digital antara laki-laki dan perempuan, skor perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki untuk pilar etika digital, yakni berada pada angka 4,01 dari skor 1—5. Sedangkan laki-laki berada pada angka 3,98. Ini artinya, perempuan lebih berkemampuan dalam menyadari, menyesuaikan diri, dan menerapkan etika digital atau netiquet ketika berada di jagat maya.
Sementara untuk pilar budaya digital, selisih antara skor laki-laki dengan skor perempuan hanya satu poin. Skor laki-laki 3,82 poin dan perempuan 3,81 poin. Untuk pilar keahlian digital, skor laki-laki berada pada angka 3,53 poin dan perempuan 3,47 poin. Terakhir, pilar keamanan digital, skor laki-laki 3,32 poin dan perempuan 3,25 poin.
Realitas ini berbanding lurus dengan banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan di ranah internet. Perempuan yang notabenenya lebih sopan dan berbudaya, justru sering menjadi korban karena secara keahlian dan keamanan digital skornya masih di bawah netizen laki-laki.
Hendra berharap, pemerintah bisa terus menyosialisasikan literasi digital kepada masyarakat. Dengan demikian, tidak ada Amana-Amana lain yang menjadi korban kebrutalan di ranah digital yang berbasis gender.[]