Kategori
Jurnalisme Warga

Hasilkan Tabungan Dari Limbah Rumah Tangga

Oleh Zakiyah Drazat*

Awal mula saya tertarik mengolah limbah rumah tangga, saat saya menonton YouTube, seorang yang merekam kisah penyakit kanker yang dialaminya. Ia bercerita tentang pola hidup sehat yang harus dia jalani untuk proses penyembuhan. Kemudian orang tersebut menanam sayuran organik di pekarangan rumahnya untuk konsumsi sehari-hari karena saat itu sulit mendapatkan sayur organik di tempat ia tinggal.

Dari pengalaman YouTuber tersebut, saya mulai mempelajari tentang pertanian organik, pupuk organik, khususnya dari limbah rumah tangga. Akhirnya saya mulai memilah sampah organik dan anorganik. Awalnya saya buat lubang di samping rumah untuk menampung sampah organik dari sisa dapur, yang saya campur dengan daun kering untuk dijadikan kompos.

Saya menemukan sedikit masalah dengan metode lubang sampah tersebut, aroma kepala udang yang saya buang ke lubang tersebut menimbulkan aroma tidak sedap di pekarangan, ada lalat juga yang beterbangan. Di musim penghujan semakin tidak nyaman aroma sampah, saya khawatir mengganggu tetangga.

Akhirnya saya belajar lagi cara mengolah sampah yang lebih mudah dan tidak menimbulkan bau busuk. Akhirnya saya menemukan seorang penyuluh pertanian yang sudah mendapatkan penghargaan penyuluh berprestasi tingkat nasional, yang membuat konten YouTube tentang edukasi sampah organik dari limbah rumah tangga menjadi pupuk cair organik (PCO).

Alhamdulilah saya berucap syukur karena dipertemukan dengan konten yang saya butuhkan ilmunya. Kemudian saya pelajari lebih detail dan saya coba praktikkan ilmunya. Saya membeli ember besar yang ada tutupnya, kemudian racikan bahan fermentasi saya buat sesuai yang diajarkan, lalu semua sampah organik dari dapur saya masukkan ke dalam ember tersebut. Setelah saya menunggu beberapa minggu, akhirnya saya bisa panen PCO.

Pengolahan limbah menjadi pupuk cair organik.

Lubang tanam yang saya buat, akhirnya saya jadikan untuk menampung sampah organik kering dari pekarangan rumah, seperti daun mangga, daun kelengkeng, daun nangka, dan semua sampah daun yang ada di pekarangan. Untuk menghasilkan pupuk kompos, saya juga campur dengan sisa sampah organik cair dan rumput basah jika ada, serta tidak lupa menambahkan sedikit kotoran hewan (kohe) sapi untuk membantu proses penguraian sampah organik tersebut.

Awalnya kompos organik tersebut saya jadikan campuran media tanam (metan) untuk bunga. Namun, pada tahun 2019 saya menemukan bakat dan minat anak saya yang kami panggil Dek Nadha dalam hal bercocok tanam (ada bakat naturalistik), karena saya khawatir getah bunga yang saya pelihara dari jenis talas dan aglonema membahayakan bagi Nadha, akhirnya saya mulai berpikir untuk mencoba tanam sayur dalam pot di atap rumah (rooftop).

Sejak saat itu kami mulai mencoba menanam sayuran. Metan kami campur dengan pupuk kompos dari hasil pekarangan, untuk kotoran hewan (sapi atau kambing) kami ambil dari milik tetangga yang punya ternak sapi ataupun kambing. Sekam mentah kala itu masih kami beli di nursery tempat langganan kami membeli bunga dan tanaman hias lainnya.

Alhamdulillah dalam waktu 45 hari kami sudah menikmati hasilnya, saat itu yang pertama kami panen dari kebun rooftop adalah bayam, kangkung, dan sawi. Karena usia tanaman ini tergolong singkat dan cepat bisa dipanen. Kemudian tanaman lainnya mulai menunjukkan hasil yang baik juga dari segi pertumbuhan terlihat sehat dan subur.

Karena ilmu POC sudah kami pelajari dan kami praktikkan, alhamdulillah sudah bisa dipanen hasilnya, cairan POC tersebut kami campur dengan air biasa, lalu kami siram pada tanaman secara berkala, setiap dua sampai tiga hari sekali kami siram pada tanaman secara rutin. Akhirnya kami tidak lagi membeli sayur di pasar karena semua kebutuhan sayur sudah tercukupi dari kebun rooftop dengan ukuran 4×8 m persegi tersebut.

Waktu itu masih belum terpikirkan untuk menjual sayuran, karena Dek Nadha masih kecil. Dia hanya menikmati sensasi panen dengan sangat bahagia, sebelumnya dia juga menikmati sensasi takjub melihat proses tumbuh kembang biji tanaman mulai berkecambah hingga tumbuh besar dan bisa di panen. Setiap momennya begitu dinikmati oleh Dek Nadha.

Saat Covid-19 melanda dunia dan masuk juga ke Aceh, sehingga diberlakukan lockdown pada akhir Februari 2020 di Banda Aceh, kami sangat terbantu dengan hasil kebun mini yang ada di rofftop, kami tidak bisa ke pasar, tetapi kebutuhan untuk konsumsi sayur kami terpenuhi, apalagi kami bisa panen sayur segar setiap harinya dari pekarangan kami, meskipun dengan lahan terbatas.

Tepat bulan Mei 2020, setelah lebaran Idulfitri, kami ditawari untuk menggarap lahan sawah milik tetangga lain desa, kebetulan tetangga depan rumah sepupu saya, dengan sistem bagi hasil. Karena ibu tersebut yang biasa kami panggil Makpo mau berangkat ke tanah suci, yang direncanakan masa itu berangkat Juni, belum ada pengumuman menunda berangkat haji karena Covid-19.

Akhirnya setelah panen padi yang perdana kami tanam di bulan September 2020, kami semakin semangat berkebun karena sudah banyak sekam gratis dan berlimpah dari sawah. Fungsi sekam untuk membantu media tanam menjadi porous, sehingga akar tanaman leluasa bernapas dan mencari makanan dalam pot. Tanaman kami pun semakin subur-subur tumbuhnya.

Karena sudah mahir menanam tanaman yang gampang tumbuh dari jenis tanaman lokal, kami pun mulai mencoba tanaman impor yang kualitas super food seperti kale, kailan, swiss chard, sawi pakcoy, selada romaine dan lainnya, yang sistem panennya tidak harus dicabut, tetapi bisa dipetik daunnya saja sampai berkali-kali. Kale, kailan, swiss chard, dan pakcoy bisa bertahan hingga usia satu tahun dengan sistem petik daunnya saja. Nanti akan tumbuh daun yang baru, begitu seterusnya. Hal ini menghemat waktu dan tenaga dalam menanam, lebih efisien juga. Akhirnya setiap tahun kami terus menghasilkan tanaman dari pekarangan yang bisa menghemat uang belanja.

Suatu hari muncul pertanyaan Dek Nadha, “Kalau orang dewasa bekerja menghasilkan uang, bagaimana cara anak-anak bisa menghasilkan karena belum bisa bekerja, Mi?”

Saya jawab, bisa dengan yang disukai, seperti membuat dan menjual hasil kerajinan tangan, bercocok tanam, dan lain-lain. Akhirnya Nadha memilih untuk berkebun. Kemudian kami juga memelihara ayam agar bisa panen kotoran ayam untuk kohe campuran metan. Pakannya juga kami fermentasi agar kandang ayam tidak bau menyengat dari aroma kotoran ayam tersebut.

Karena saya sibuk dengan pekerjaan, akhirnya kebun mini di rooftop di ambil alih oleh Nadha (5,5 tahun). Nadha menawarkan ide menjual sayur kepada umi dan abinya sebagai pelanggan awal. Agar Nadha mendapatkan pemasukan tambahan di luar jatah yang kami berikan sebagai orang tuanya.  Alhamdulillah, setelah lima bulan (sejak Mei 2023) dia mengelola kebun sambil bermain dan kami bantu-bantu juga. Akhirnya, tanggal 24 Oktober 2023, saat celengan dibuka, Nadha mendapat tabungan sebesar Rp1.250.000 dari hasil kebun mini rooftop.[]

Penulis adalah jurnalis warga Banda Aceh dan mahasiswa S-2 Magister Ilmu Kebencanan USK Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *