Oleh Aini*
Ekspedisi menuju tempat wisata Pucok Krueng tidak banyak mengalami perubahan sejak 2021. Jalannya masih berstruktur kasar dipenuhi batu. Ragam rerumputan dan ranting pohon di sisi kiri dan kanan memeriahkan perjalanan. Sekelompok monyet pun bermunculan di tepi jalanan sepi. Ketika tiba di lokasi, hanya ada sebuah papan petunjuk. Menariknya, walau dengan segala keterbatasan akses tersebut, nyatanya kendaraan sekelas Pajero tetap tembus memasuki lokasi wisata ini.
Pucok Krueng bukan sekadar lokasi wisata alam yang sempat masyhur sebagai tempat pemandian para raja di masa lampau. Akan tetapi, Pucok Krueng juga dikenal sebagai Kawasan Karst yang menarik untuk dipelajari. Hal tersebut menjadikan tempat ini menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan lokal bahkan mancanegara. Pucok Krueng popular sebagai lokasi liburan dan juga penelitian. Gua yang terdapat di Pucok Krueng diinfokan tembus hingga ke Aceh Jaya jika ditelusuri menggunakan perahu.
“Dulunya memang bisa dimasuki perahu. Kini sudah jadi tanggul untuk cadangan air baku sebuah perusahaan,” jelas Hasbullah, selaku pengelola tempat wisata, dengan logat Aceh Besar yang kental pada 13 April 2024.
Penjelasannya tersebut terbukti ketika kita melihat ke arah mulut gua. Dari jalan masuk gua tersebut tampak bongkahan batu gunung yang terletak di tengah-tengah. Gua ini menjadi salah satu daya tarik, mengingat ekosistemnya yang kompleks. Bahkan sarang walet liar yang terkenal akan manfaatnya dan harganya yang tinggi juga dapat ditemui di tempat ini.
Karst mempunyai struktur unik dengan ruas rongga dan aliran air sungai di dalamnya. Walau informasi terkait karst di Kawasan Pucok Krueng cukup penting, sayangnya masih jarang media arus utama yang memberitakannya. Sejauh ini, hanya ada segelintir media yang memperkenalkan Pucok Krueng sebagai Kawasan Karst, semisal Mongabay dan Natgeo.
Karst di Pucok Krueng mempunyai peranan penting terhadap ekosistem di sekitarnya. Tidak masifnya pemberitaan tersebut berbanding lurus dengan ketidaktahuan masyarakat umum tentang wilayah karst di Pucok Krueng.
“Kurang tahu. Cuma lihat tempatnya kan cantik di Instagram. Jadi ke sinilah,” respons salah seorang pengunjung hadir. Padahal wilayah Karst Pucok Krueng menjadi salah satu bagian penting untuk diedukasikan kepada masyarakat sekitar dan juga para pelancong.
Eksekutif daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai Karst Pucok Krueng hari ini terlihat tidak baik-baik saja. Artinya, kerusakan karst di suatu wilayah memberi dampak negatif di kemudian hari, semisal masalah kekeringan. Dari perspektif lingkungan dan ekologi, kerusakan karst berdampak pada keringnya mata air di sebuah wilayah.
“Ada beberapa faktor yang membuat Karst Pucok Krueng dalam kondisi tidak baik yaitu perambahan hutan di hulunya dan juga eksploitasi tambang seperti yang dilakukan pabrik semen,” papar M. Nasir, Deputi Direktur WALHI Aceh.
Dia menjelaskan bahwa proses pengambilan bahan baku semen selama ini dilakukan dengan menggunakan pengeboman dinamit. Adapun material semen hanya didapatkan di Gunung Karst, dengan bahan pokok berupa pasir kuarsa (quartz), tanah liat (clay), dan batu kapur. Sehingga tidak heran jika posisi setiap pabrik semen berada dalam jangkauan yang sama dengan Kawasan Karst.
Sembari meraih gawai, saat berada di Kantor Walhi Aceh, Nasir menunjukkan foto-foto penampakan karst dan menjelaskan kondisi terkini secara detail. Semisal kehadiran berita terkait keresahan Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Gua 7 Pidie yang merupakan Kawasan Karst. Desakan perlindungan tersebut tidak hanya berlaku untuk Kawasan Karst terencana saja tetapi juga bagi bentangan alam karst yang berpotensi menjadi target pembangunan pabrik semen serupa seperti di Aceh Jaya atau di Aceh Tamiang, yang diketahui atau tidak merupakan Kawasan Hutan Lindung.
Persoalan terkait Karst Pucok Krueng ini ternyata lebih kompleks jika ditelusuri lebih jauh. Bukan hanya karena posisinya yang berpengaruh terhadap eksistensi keindahan lokasi wisata, tetapi juga disebabkan peran krusialnya yang berpengaruh besar terhadap kesejahteraan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Sebagai contoh, masyarakat Desa Naga Umbang yang terpaksa bergantung hidup pada air PDAM. Hal tersebut disebabkan air sumur warga mengalami pencemaran. Air sumur tersebut menjadi berminyak, sehingga tidak dapat digunakan untuk mandi dan memasak. Dampak buruk terhadap kualitas air pun mendulang protes dari masyarakat setempat.
“Yang mereka desak itu bukan perlindungan karstnya, melainkan krisis airnya. Jadi kalau dicari berita masyarakat demo terhadap kerusakan Gunung Karst itu tidak ada, tapi dampak dari kerusakannya, yaitu krisis air,” jelas Nasir.
Dia memaparkan bahwa sejatinya pihak pemerintah mulai dari Camat hingga Anggota DPRI sempat meninjau langsung masalah ini, tetapi sebatas konteks krisis air. Selain itu, dampak buruk lainnya dari penggunaan mesin dinamit pada Gunung Karst telah menimpa beberapa rumah warga setempat. Sehingga tempat kediaman masyarakat pun menjadi retak.
Hasbullah, selaku pengelola tempat wisata Pucok Krueng, menyatakan bahwa dia pernah ditawari uang dengan jumlah yang fantastis untuk “melepaskan” kebunnya yang terletak di puncak gunung wilayah tersebut. Raut wajahnya tampak jengkel saat menceritakan kondisi itu.
“Sudah kena kebun saya itu. Mereka minta bagaimana cara (agar dilepaskan untuk perusahaan). Saya bilang, ‘Enggak ada cara kalau hanya memikirkan perut kalian!’”, jelasnya. Dia pun meneruskan kisahnya. “Kau jangan main-main dengan kebun aku,” Hasbullah memperagakan diri sembari menunjuk-nunjuk tanah dengan intonasi suara yang meninggi. Ekspresi wajahnya mewakili kekesalannya terhadap kerugian yang menimpa masyarakat. Dia tampak hanyut dalam perihnya kenangan masa lalu yang hingga kini tak kunjung membuahkan solusi. Sikap Hasballah yang lantang dalam memprotes kondisi tersebut membuatnya kerap dicari untuk proses lobi atau bahkan ditawari sebagai komite.
Tak berhenti di tercemarnya air dan rusaknya rumah warga, aksi perusahaan semen tersebut nyatanya juga membawa efek buruk lainnya seperti pencemaran udara melalui debu aktif yang tersebar kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Sayangnya, pemberitaan penting dan meresahkan ini hanya menjadi info musiman yang timbul-tenggelam walau dampak buruk yang ditimbulkan untuk masyarakat sekitar terjadi secara berkelanjutan hingga kini.
Tahun 2017, Walhi Aceh mendesak diberlakukannya perlindungan Kawasan Bentang Alam Karst di Aceh dengan tujuan menjaga kelestarian karst dari eksploitasi industri yang berlebihan. Namun tampaknya hingga kini belum ada tindakan nyata dari pemerintah setempat.
Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]