Kategori
Jurnalisme Warga

Menemukan “Oase” Hijau di Tengah Panasnya Cuaca Ekstrem

Oleh Nurul Muhdiyah*

Akhir-akhir ini wilayah Indonesia dilanda cuaca yang sangat panas. Suhunya bahkan mencapai 35—30  derajat celcius. Akibatnya sebagian wilayah terasa lebih panas dari hari biasanya. Banyak warga mengeluhkan kenaikan suhu yang ekstrem tersebut. Beraktivitas pun menjadi tidak nyaman karena gerah.

Biasanya udara panas disebabkan oleh uap air yang berganti dari musim hujan ke musim kemarau. Namun, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) peningkatan suhu terjadi karena minimnya pertumbuhan awan dan perubahan kondisi dinamika atmosfer.

Saya sendiri juga merasakan hal yang sama. Paparan  matahari sejak pagi hingga menjelang sore membuat rumah kami terasa lebih panas dari biasanya. Apalagi rumah saya di Banda Aceh berada tak jauh dari pantai. Jika malam tiba, maka akan menghasilkan uap yang membuat ruangan terasa lebih hangat dan pengap. Badan pun terasa dehidrasi. Belum lagi keringat yang terus bercucuran. 

Selain itu, saya juga tinggal di perumahan yang berdempetan antara satu rumah dengan rumah lainnya. Ventilasi udara hanya mengandalkan satu-satunya pintu dan jendela depan sebagai akses hilir mudik angin. Dari samping kiri maupun kanan sama sekali tidak ada pergantian udara karena rumah saya berada di tengah-tengah. Minimnya pepohonan membuat lokasinya terasa gersang.

Di tengah hangatnya pemberitaan maupun pembicaraan netizen di ruang maya mengenai ekstremnya suhu di Indonesia, saya pun mencari alternatif untuk menjaga daya tahan tubuh. Alhasil saya mendatangi ruang terbuka hijau yang diberi nama Taman Trembesi yang berada di sudut Kota Banda Aceh. Lokasi taman ini tanpa sengaja saya “temukan” saat jalan-jalan sore beberapa waktu sebelumnya.

Taman Trembesi ini berada sekitar dua kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Tepatnya di Jalan Teuku Raja Kemala, persis di belakang Rusunawa Gampong Keudah, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Ini adalah satu-satunya taman yang paling dekat dengan tempat saya tinggal.  Keberadaan taman ini memang tidak banyak diketahui oleh masyarakat karena letaknya tepat di belakang rumah susun. Meski begitu, taman ini tetap ada pengunjungnya. Di hari-hari weekend biasanya agak ramai. Di tengah cuaca ekstrem yang serasa melepuhkan kulit kepala, rasanya tak berlebihan jika saya mengatakan taman ini sebagai “oase” hijau.

Bunga kumis kucing, salah satu koleksi tanaman yang ada di Taman Trembesi.

Tempatnya yang asri dan sejuk membuat siapa pun yang datang ke sana terasa betah. Taman Trembesi ini dilengkapi dengan lintasan khusus (jogging track) untuk orang yang ingin berolahraga dan juga tempat bermain bagi anak-anak. Fasilitas lainnya seperti musala dan toilet.

Kurang lebih sudah satu bulan saya mengunjungi taman ini untuk berolahraga. Biasanya saya pergi pada pukul 16.30 dan pulang pada pukul 18.00. Di taman ini juga terdapat banyak pohon dan di setiap pohon dituliskan nama-nama dari jenis pohon tersebut. Selain itu juga banyak terdapat tanaman hias. Selain sebagai ajang rekreasi, pengetahuan kita tentang tumbuh-tumbuhan pun jadi bertambah dengan datang ke sini. Saya sering pergi ke taman itu bersama kakak atau ibu. Terkadang, saya datang ke sana bukan untuk berolahraga, tetapi untuk menulis. Tempat favorit saya adalah batu gajah besar di bawah pohon-pohon angsana yang menjulang tinggi.

Suasananya yang sejuk membuat ibu saya merasa nyaman, apalagi di taman tersebut terdapat banyak sekali bunga sehingga dia sangat menyukainya.

“Dapat menghilangkan beban pikiran,” kata Ibu.

Bahkan beberapa kali Ibu menagih untuk dibawa ke Taman Trembesi. Ibu biasanya hanya jalan-jalan saja memutari jogging track. Sebagai penderita diabetes, Ibu sangat merasakan efek dari suhu panas. Tubuhnya sering terasa seperti terbakar. Ketika berada di taman dan angin bertiup sepoi-sepoi, ia merasa lebih rileks dan lebih nyaman.

Bukan hanya untuk sekadar cuci mata dan berolahraga saja, taman ini juga biasanya digunakan untuk tempat berekreasi bersama keluarga atau kegiatan  edukasi yang diadakan oleh sekolah dasar untuk murid-muridnya.  Karena memang taman ini memiliki lapangan yang luas sehingga cocok bagi anak-anak yang sedang aktif dan tempat  yang asik bagi anak-anak untuk mengenal alam. 

Baniah.

Di taman ini ada tiga orang yang bertugas sebagai penjaga sekaligus merawat taman. Dua di antaranya adalah perempuan dan salah satunya bernama Baniah. Mereka bekerja dari pukul delapan pagi hingga pukul enam sore. Setelah rutin berkunjung, kami mulai berkenalan dan terkadang sempat mengobrol di sela-sela ia bertugas.

Baniah adalah perempuan paruh baya yang sudah menghabiskan dua puluh tahun lebih waktunya untuk mengurus taman-taman kota di Banda Aceh. Sejak sepuluh tahun terakhir ia ditempatkan di Taman Trembesi ini oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Banda Aceh–taman ini di bawah pengelolaan Pemko Banda Aceh. Sebelumnya, sejak 2002 Baniah bekerja di bagian pembibitan di lokasi yang lain.

Setiap harinya perempuan yang akrab dipanggil Kak Bani itu berangkat bekerja dengan sepeda mini miliknya. Dari rumahnya ke taman membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Tugasnya membersihkan dedaunan yang berserakan di taman. Ia juga bertugas mengurus tanaman yang ada di taman. Semua pekerjaan itu ia lakukan bersama satu rekannya yang perempuan. Kak Bani adalah sosok yang ramah dan murah senyum sehingga ketika berbicara terasa lebih akrab.


Ia berasal dari Bireuen. Pendidikan dasar hingga menengah atas ia tamatkan di kampung kelahirannya. Lulus SMA barulah ia memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Abulyatama, Aceh Besar. Ia kuliah di Jurusan Pertanian. Ia menjalani masa kuliahnya sama seperti mahasiswa pada umumnya. Yang membedakan barangkali status ekonomi mereka. Karena kesulitan ekonomi, terkadang Kak Bani harus mengambil cuti kuliah agar bisa bekerja.

Ia bukan tipikal orang yang pilih-pilih pekerjaan. Apa pun dilakoninya asal halal. Ia pernah bekerja di tempat pengolahan ikan asin di Aceh Besar. Pernah juga bekerja di toko roti. Setelah punya uang, ia pun kembali melanjutkan kuliahnya. Hingga di pertengahan tahun 90-an ia dinyatakan lulus dan berhasil meraih gelar sarjana pertanian. Meski sudah punya ijazah sarjana, Baniah tetap betah bekerja sebagai pengurus taman. Setelah berbincang-bincang dengannya pada Selasa, 24 Oktober 2023, barulah saya “ngeh” dengan ketelatenannya mengurus tamanan. Ternyata ia memang punya basic tentang tanaman.

Baniah juga korban tsunami Aceh yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004. Ketika itu ia tinggal di Gampong Jawa, sebuah desa di Banda Aceh yang berbatasan dengan sungai Krueng Aceh dan berjarak sekitar dua kilometer dari pantai. Tetangga kampung tempat Taman Trembesi berada. Saat tsunami terjadi, dia sedang bekerja di taman yang berada di bantaran Krueng Aceh di kawasan jalan protokol.

Ketika terjadi gempa dan gelombang tsunami mulai naik ke daratan, ia memanjati halte yang berada di dekatnya.

“Pas saya naik ke halte, air tsunami itu bisa saya sentuh,” ucap Baniah. Bahkan ia sempat menyelamatkan seorang siswa SMA, tetapi karena gelombangnya terlampau besar, siswa itu terlepas kembali. Keluarganya sendiri, termasuk adik kandung perempuannya ikut menjadi korban bencana besar itu. Hingga awal-awal setelah tsunami, ia masih mengalami trauma. Pelan-pelan, seiring berjalannya waktu trauma itu pulih dengan sendirinya.

Baniah barangkali tidak menyadari kalau profesinya itu sangat berjasa untuk keberlanjutan usia Bumi. Di tengah perubahan iklim yang menuju “pelelehan global” ini, ketelatenan dan kecekatannya mengurus taman sudah menjadikan oase hijau di tengah padatnya pemukiman Banda Aceh. Dan karena Baniah pula, kunjungan demi kunjungan ke Taman Trembesi terasa mengasyikkan.[]

Penulis adalah mahasiswa UIN Ar-Raniry dan berdomisili di Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *