PEMILIHAN UMUM yang akan dihelat pada 14 Februari 2024 tinggal 20 hari lagi per 23 Januari 2024 lalu. Di tengah kondisi semakin dekatnya dengan hari-H pemilu, publik justru dikejutkan dengan beredarnya audio rekaman suara Irmawan yang berisikan “ancaman” kepada para pendamping desa di Kabupaten Aceh Tenggara.
Irmawan merupakan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan saat ini berstatus sebagai anggota DPR RI alias caleg petahana. Pada Pemilu 2024 ini, Irmawan kembali maju untuk melenggang ke Senayan dari Dapil Aceh I yang meliputi Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara.
Di Kabupaten Aceh Tenggara inilah Irmawan lahir pada 21 Desember 1967. Jenjang pendidikannya hingga SMA ia selesaikan di Tanah Alas. Dan karena itu pula, dalam rekaman audio yang beredar itu Irmawan menyebut Aceh Tenggara sebagai “basis saya”. Sebagai daerah basis, Irmawan memiliki target suara khusus di Aceh Tenggara. Dalam rekaman audio Irmawan mengatakan: “Target saya di sini minimal harus dapat suara paling tidak 35 ribu”. Jika merujuk pada hasil perolehan suara Irmawan pada Pemilu 2019 yang berada pada angka 57.289, lebih dari separuhnya ditargetkan dari Aceh Tenggara.
Durasi rekaman audio yang beredar cukup panjang, 8:04 menit. Jika menyimak keseluruhan rekaman tersebut, tak ada basa-basi dari Irmawan selain mengawali pertemuan itu dengan ucapan terima kasih kepada para hadirin yang meluangkan waktu untuk “berdiskusi” terkait “perjuangan” yang semakin mepet. Ia to the point ke pokok persoalan karena pemilu sudah dekat. Transkrip lengkap rekaman suara tersebut dapat dibaca di sini.
Dalam rekaman itu, orang yang pertama ditanyai Irmawan adalah mereka yang ia sebut Pak Korcam. Kepada Pak Korcam tersebut Irmawan mengatakan, target 100 suara per anggota tim pendamping profesional (TPP) sebagaimana instruksi sebelumnya tidaklah cukup. Karena, dengan keberadaan 156 TPP di Aceh Tenggara, jika dikalikan dengan 100 target suara hanya menghasilkan 15 ribu suara. Angka ini hanya separuh dari yang ia targetkan.
“Target saya di sini minimal harus dapat suara paling tidak 35 ribu. Jadi, kalau kita harapkan yang diinstruksikan secara struktur hanya 100 per TPP kali berapa orang, 156, berarti hanya 15 ribu. Jadi, tidak cukup,” kata Irmawan.
Irmawan juga mempertanyakan apakah TPP Aceh Tenggara turut memposting profil dirinya di media sosial mereka. “Ada ndak? Ada? Kalau ada, alhamdulillah,” katanya lagi.
Tak hanya bicara soal target suara, dalam rekaman tersebut, Irmawan juga turut menyinggung perihal SK TPP. Menurutnya ada beberapa TPP yang sampai tersebut belum diperpanjang SK-nya. Ia meminta orang tersebut untuk menghadap dirinya setelah pertemuan usai. Sementara bagi TPP yang sudah diperpanjang, ia meminta untuk jangan senang dulu.
“Jangan senang dulu, itu batasnya sampai tanggal 14 Februari. Kalau tanggal 14 Februari kerja kita tidak signifikan, saya pastikan Anda pun tidak akan diperpanjang lagi SK itu. Tidak diperpanjang lagi,” kata Irmawan.
Rentan Konflik Kepentingan
Kurnia Ramadhana @Rianza Alfandi/habaaceh.id
Pernyataan Irmawan tersebut membuat para pendamping desa, terutama yang berasal dari Dapil Aceh 1 menjadi cemas. Secara psikologis mereka merasa terbebani oleh tuntutan sang politisi. Ketakutan itu bukan tanpa dasar, mengingat Irmawan merupakan politisi PKB, sementara Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi di Kabinet Indonesia Maju, yakni Abdul Halim Iskandar, juga politisi PKB.
Irisan inilah yang dianggap memiliki konflik kepentingan dan bukan kebetulan semata sehingga tanpa sungkan Irmawan mengatakan, “Jangan senang dulu, itu batasnya sampai tanggal 14 Februari.”
Salah seorang pendamping desa dari Dapil Aceh 1, KH, mengatakan mereka yang haus akan kekuasaan sama sekali tidak memikirkan rakyat. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana caranya melanggengkan kekuasaan.
“Sudah jadi budaya. Tidak tahu malu lagi,” kata KH, Senin (12/2/2024).
Sebagai pendamping desa, KH juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang dipertanyakan Irmawan, yakni diminta untuk memposting aktivitas sang Menteri Desa di media sosial mereka.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, salah satu fenomena yang muncul dalam proses pemilu adalah adanya konflik kepentingan. Entah itu karena relasi antarpeserta pemilu, ataupun karena struktural organisasi. Dalam konteks yang dilakukan Irmawan misalnya, konflik kepentingannya berdasarkan struktural organisasi karena antara dirinya dengan Menteri Desa saat ini sama-sama kader PKB. Karena inilah menurutnya pengawas pemilu harus benar-benar menegakkan aturan.
“Dan ini menjadi perhatian bersama karena beritanya sudah masif, masyarakat sudah mengetahui, tentu harus ditindaklanjuti,” katanya di Banda Aceh, Rabu (7/2/2023).
Hal lainnya yang sering luput ketika bicara integritas dalam pemilu kata Kurnia ialah tidak hanya fokus pada Bawaslu/Panwaslih, tetapi partai politik selaku “pabrik” politisi juga harus memperhatikan kader-kadernya saat berkampanye. Jika disinyalir melanggar aturan pemilu, kader tersebut harus ditegur.
“Partai politik harus mendorong tegaknya aturan yang sedang dilakukan oleh panitia pengawas pemilu,” kata Kurnia.
Pengakuan Irmawan
Caleg DPR RI Irmawan. @Iskandar/ajnn.net
Terkait rekaman suara yang beredar itu, Irmawan sendiri tidak membantah. Ia hanya mengatakan bahwa isi rekaman itu tidak utuh, sepotong-sepotong, sehingga kesannya seperti mengancam.
“Padahal kalau kita melihat secara utuh, rekamannya tidak seperti itu. Tidak ada ancam-ancaman di situ,” katanya saat dikonfirmasi pada Sabtu (27/1/2024).
Tak berhenti di situ, rekaman audio ini sampai juga ke tangan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh Tenggara setelah ada yang melaporkan. Menurut Ketua Panwaslih Aceh Tenggara, Eka Prasetio, ada tiga laporan yang masuk ke pihaknya terkait dugaan pelanggaran pemilu tersebut. Dua laporan yang ditujukan langsung ke Panwaslih Aceh Tenggara, satu laporan lagi ditujukan ke Bawaslu RI. Namun, Bawaslu RI melimpahkan penanganannya ke Panwaslih Aceh Tenggara. Dua laporan yang ditujukan ke Panwaslih Aceh Tenggara dinilai tidak memenuhi syarat formil sehingga dianggap kedaluwarsa.
“Karena kasusnya sama, yang kita proses itu dari pelapor yang di Jakarta, dan sudah kita putuskan juga hasil pembahasan dengan Sentra Gakkumdu,” kata Eka, Jumat (9/2/2024).
Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Sentra Gakkumdu merupakan pusat aktivitas penegakan hukum pidana pemilu yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 31 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu. Sentra Gakkumdu terdiri atas unsur Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan.
Menurut Eka, karena audio rekaman suara Irmawan tersebut telah menjadi atensi publik sehingga menjadi pembahasan bersama di Sentra Gakkumdu Aceh Tenggara. Hasil pembahasan menyatakan tidak ada unsur tindak pidana pemilu karena yang disangkakan merupakan tindak pidana pelanggaran pemilu.
“Karena tidak memenuhi unsur, akhirnya tidak dilanjutkan. Namun, Bawaslu Aceh pun ikut supervisi di sini,” katanya lagi.
Eka meyakini kalau semuanya sudah diperiksa dan berjalan sesuai prosedur penanganan pelanggaran. “Urusan politik ini kan kalau kita ikut perasaan tidak bisa karena memang fakta hukum, jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa.”
Menguatkan pernyataan Eka Prasetio, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Panwaslih Aceh Tenggara, Lusiana, mengatakan kalau kajian dan pembahasan terhadap unsur pasal dugaan pelanggaran yang dilakukan Irmawan sudah dilakukan bersama Sentra Gakkumdu. Kesimpulannya kata Lusiana, tidak memenuhi unsur pelanggaran pemilu. Dengan demikian, kasus ini pun dihentikan.
“Iya, kita hentikan,” kata Lusiana.
Pernyataan senada juga disampaikan Kordiv Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu Aceh, Safwani. Ia menyatakan, Sentra Gakkumdu Aceh Tenggara sudah melakukan penelusuran dan memintai keterangan dari pihak-pihak bersangkutan untuk mengklarifikasi.
“Namun dalam hal ini,” kata Safwani, Minggu (11/2/2024), “kita tetap bersama-sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang lebih memahami bagaimana unsur-unsur hukumnya. Penegak hukum mengatakan bahwa ini tidak bisa ditindaklanjuti karena memang unsur materilnya belum terpenuhi,” katanya.
Kordiv Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu Aceh, Safwani, bersama Ketua Bawaslu Aceh, Agus Syahputra. @Iskandar/ajnn.net
Adapun unsur materil yang dimaksud Safwani merujuk pada huruf j Pasal 280 UU Pemilu yang mengatur tentang larangan dalam berkampanye bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu. Huruf j dalam pasal tersebut berbunyi “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.
Meskipun dalam rekaman audio yang beredar tersebut Irmawan begitu terangnya mengatakan “Kalau tanggal 14 Februari kerja kita tidak signifikan, saya pastikan Anda pun tidak akan diperpanjang lagi SK itu. Tidak diperpanjang lagi” tetapi pernyataan itu dianggap tidak memenuhi unsur-unsur materil sebagaimana bunyi huruf j Pasal 280.
“Dalam rekaman itu dia bicara mengancam, pengancamannya tidak sesuai unsur Pasal 280 itu sehingga kepolisian memberi pendapat unsur pidananya tidak terpenuhi,” kata Safwani.
Saat dikonfirmasi kembali pada Senin (12/2/2023), Safwani menerangkan yang dimaksud dengan unsur materil tidak terpenuhi berdasarkan huruf j Pasal 280 itu ialah meskipun Irmawan menyingung soal “ancaman” perpanjangan dan pemutusan kontrak, tetapi itu bukanlah wewenang mutlak Irmawan ketika ia terpilih atau kalah dalam pemilu legislatif.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Aceh Tenggara, Iptu Bagus Pribadi, mewakili pihak kepolisian dalam Sentra Gakkumdu Aceh Tenggara, justru tak tahu-menahu soal dugaan pelanggaran yang dilakukan Irmawan. Bagus malah mengarahkan untuk menanyakan langsung ke Panwaslih.
“Itu di Panwaslih masih, bukan di Gakkumdu. Belum (belum sampai ke Gakkumdu). Coba tanya kepada Panwaslih,” katanya, Senin (2024).
Mempertanyakan Integritas Pengawas Pemilu
Perbedaan pernyataan antara Panwaslih dengan kepolisian menimbulkan tanda tanya.
Dosen Ilmu Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Zainal Abidin, yang juga mantan komisioner KIP Aceh mengatakan, laporan dari masyarakat bisa menjadi bahan awal sebagai perkara atau kasus temuan. Gakkumdu punya kewenangan untuk menelusuri lebih lanjut. “Jadi, tidak bisa berhenti saja seperti itu, tetapi harus melakukan investigasi lapangan sehingga ditemukan alat-alat bukti lainnya,” kata Zainal.
Mestinya kata Zainal, Panwaslih bisa bersikap aktif dan menjadikan alat bukti yang ada sebagai sinyal untuk menindaklanjuti. Panwas tidak hanya bersikap pasif, cenderung menunggu laporan masyarakat.
“Jadi, laporan-laporan yang kekurangan alat bukti itu bisa ditindaklanjuti untuk diinvestigasi sendiri. Enggak menunggu. Kalau menunggu bertambah sulit, karena masyarakat kan kadang-kadang yang tidak punya kepentingan agak bosan juga untuk melaporkan,” katanya.
Zainal berpandangan, jika memang perkaranya ada dan intimidasnya ada, tetapi si pelapor kekurangan alat bukti atau tidak memenuhi syarat formil, bukan kasus dugaan pelanggarannya yang dihentikan, melainkan Panwas dengan segala kewenangan yang telah diamanahkan undang-undang bisa menjalankan kewenangannya.
“Karena laporan adalah sinyal awal,” kata Zainal menegaskan.
Penjelasan Zainal terkait keaktifan pemilu barangkali dapat dilihat dari jumlah aduan yang diterima oleh Bawaslu Aceh. Berdasarkan data yang diperoleh, sejak 2022 hingga 2024, ada 80 aduan yang diterima Bawaslu Aceh. Dari jumlah tersebut, hanya 25 aduan atau 31,25 persen yang merupakan temuan Bawaslu. Sedangkan 55 aduan atau 68,75 persen merupakan laporan masyarakat.
Dari 80 aduan, sebanyak 59 aduan atau 73,75 persen yang teregistrasi. Aduan paling banyak berkaitan dengan pelanggaran kode etik sebanyak 26 kasus; 6 kasus terkait dengan undang-undang lainnya; 4 kasus administrasi; dan 2 kasus pidana. Sisanya, 18 kasus bukan pelanggaran dan 3 lainnya dalam proses penanganan.
Kegelisahan mengenai pasifnya pengawas pemilu juga disampaikan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian. Seharusnya kata Alfian, analisis dan verifikasi yang dilakukan Panwaslih Aceh Tenggara terhadap laporan ini perlu diselesaikan secara menyeluruh. Tak bisa hanya dengan menganalisis dan memverifikasi dari berkas laporan yang masuk saja.
“Secara psikologi kita pahami bahwa pendamping desa tidak sembarangan membuka informasi ini, karena mereka orang yang sedang diancam, apalagi ini menyangkut pekerjaan,” kata Alfian, seraya menambahkan, selain kasus ini ada satu kasus lagi yang dihentikan begitu saja oleh Panwaslih Aceh Tenggara yakni kasus caleg terlibat pelipatan keras surat suara.
Hal ini menurut Alfian menjadi catatan kinerja buruk bagi Panwaslih sehingga dapat menyebabkan krisis kepercayaan publik.
“Karena kita tahu publik menaruh harapan kepada Panwaslih dalam kerja proses tahapan pemilu sehingga tidak terjadi kecurangan,” kata Alfian.
Fakta bahwa kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan Irmawan dilaporkan oleh tiga pelapor saja menurut Alfian sudah mengindikasikan adanya dugaan krisis kepercayaan kepada Panwaslih Aceh Tenggara. Tindak lanjut oleh Gakkumdu sangat bergantung pada rekomendasi dari hasil pleno pengawas pemilu.
“Kuncinya itu di Panwaslih. Menyangkut soal pelanggaran pemilu, sebenarnya ini soal integritas, dalam mendalami sebuah kasus kan aneh kalau Panwaslih yang sudah difasilitasi oleh negara cuma menerima laporan saja. Mereka tidak menemukan temuan sendiri, saya pikir ini perlu dipertanyakan soal integritasnya.”
Lebih lanjut Alfian menguraikan, penyelesaian kasus dugaan pelanggaran pemilu erat kaitannya dengan kapasitas dan integritas, juga kemauan Panwaslih. Jadi, tidak sekadar fokus pada kekurangan syarat-syarat formil maupun materil saja.
“Agak aneh kalau mereka buka kantor hanya menunggu laporan warga, mereka juga punya kewenangan melakukan investigasi terhadap informasi kecurangan yang beredar di masyarakat.”[]
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Ihan Nurdin (perempuanleuser.com); Iskandar (ajnn.net); dan Rianza Alfandi (habaaceh.id) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh.