Oleh Yelli Sustarina*
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi. Namun, orang-orang masih mengenakan jaket dan penutup kepala. Di antaranya terlihat beberapa laki-laki menyandang kain sarung di bahu. Lalu lalang kendaraan belum begitu ramai. Kami yang baru saja tiba dari Banda Aceh langsung mencari rumah makan setelah check-in di Hotel Mulia, Blangkejeren, Gayo Lues.
Udara pagi itu benar-benar sejuk, sampai-sampai dari mulut kami keluar asap saat berbicara. Tidak hanya di waktu itu, hari-hari berikutnya selama mengikuti Serial Pelatihan Perempuan Peduli Leuser, jaket selalu membalut tubuh. Sering kali, saya harus menggosok-gosok tangan dan menempelkannya ke leher untuk mencipta kehangatan. Padahal, kami berada di dalam ruangan tertutup, tapi udara dingin seolah tidak punya batas untuk membersamai kami.
Itulah kondisi tujuh tahun lalu, saat pertama kali saya menginjakkan kaki ke daerah yang dijuluki Negeri Seribu Bukit ini. Di Oktober 2017, saya bersama 20-an perempuan lainnya mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh USAID Lestari. Para perempuan ini berasal dari berbagai kabupaten, yaitu Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Banda Aceh. Pengalaman ini membuat kami berasumsi bahwa Gayo Lues daerah yang dingin.
Tujuh tahun berlalu. Pada 3-5 Februari 2024, saya datang lagi ke daerah ini dengan kegiatan yang serupa, tapi berbeda tema. Kali ini saya mengikuti Training and Field Trip to Leuser “Ecofeminism and Environmental Journalism (EEJ)” yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) bersama The Leader dan Biji-biji.
Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tentu saya mempersiapkan perbekalan untuk menahan tubuh dari udara dingin ketika hendak ke tempat ini. Jadinya, saya membawa pakaian bewarna gelap dan tebal, disertai dengan dua jaket dan satu sarung. Bahkan, saya sempat menambah persediaan kaus kaki dengan membelinya dua pasang lagi sebelum berangkat ke Gayo Lues.
Salah satu panitia, Dian Guci, yang tujuh tahun lalu juga mengikuti kegiatan Serial Pelatihan PPL membawa baju yang kebanyakan bewarna hitam. Tak lupa pula ia membawa jaket untuk menutupi tubuh dari dinginnya udara daerah penghasil serai wangi itu.
Tidak Sedingin Dulu
Pagi Minggu, 3 Maret 2024, tepat pukul 06.30 WIB, saya bersegera turun dari lantai 3, kamar hotel tempat saya menginap. Hotel ini juga tempat kami menginap tujuh tahun lalu saat saya mengikuti Serial Pelatihan PPL. Saya ingin mengulang kenangan masa lalu, berjalan-jalan di sekitar hotel yang diselimuti kabut, sambil menikmati udara dingin sekitarnya.
Saya sengaja mengembuskan napas dari mulut dan berharap ada asap yang keluar, tapi nihil. Meskipun pepohonan di sekitarnya masih diselimuti kabut, saya bisa berjalan sekitar 200-an meter tanpa menggunakan jaket dan kaus kaki. Justru saya merasa gerah karena berjalan jauh, padahal maksud saya turun ke bawah pada jam segitu ingin menikmati udara dingin, tapi justru sebaliknya.
Ketika menuju tempat pelatihan yang dibuat di Aroma Leuser Coffee, Gayo Lues, saya menanyakan perihal perubahan udara ini ke sopir yang mengantar kami. “Iya, sekarang Gayo nggak sedingin dulu lagi. Apalagi sekarang musim panas, ya makin panaslah,” ujar Mader Hasugian.
Lucunya di tengah jalannya pelatihan, para peserta mulai meninggalkan jaket mereka dan mengipas-ngipasi tubuh dengan kertas. “Kirain Gayo dingin, eh, ternyata panas,” ujar Risty Nabila, salah satu peserta EEJ yang mengenakan ‘sweater’ berbulu.
Paham dengan keresahan peserta, panitia pun mencari solusi dengan menghadirkan kipas angin. Sayangnya, satu buah kipas angin yang berukuran 16 inci itu, tidak mampu menghadirkan hawa dingin ke ruangan yang berukuran sekitar 3×8 meter itu. Terlebih ruangan itu berdinding kaca tembus pandang, dengan atap seng, tentu suasana gerah semakin terasa ketika matahari makin meninggi.
Di hari ketiga pelatihan EEJ, panitia menghadirkan tiga buah kipas angin dan didirikan di tengah-tengah peserta. Apresiasi untuk panitia yang gerak cepat mencari kipas angin demi keberlangsungan kegiatan yang nyaman.
“Di sini emang nggak ada kipas angin, jadi saya pinjam ke saudara, satunya lagi dari rumah yang punya kafe,” ujar Susi, salah satu personel panitia.
Menurut Susi yang juga anggota PPL, dulu rumah-rumah di Gayo Lues jarang menggunakan kipas angin atau AC. Namun, sekarang sudah ramai menggunakan alat pendingin itu karena cuaca panas. Sebab, beberapa tahun terakhir di Gayo semakin panas, terlebih saat musim kemarau tiba.
Perubahan Iklim itu Nyata
Bila ditilik pengalaman saya tujuh tahun silam, terlihat bahwa perubahan iklim itu nyata adanya. Bukan sekadar pernyataan pakar yang menakut-nakuti, tapi kita sudah merasakan dampaknya sendiri. Hanya saja kita seolah menutup mata dan abai akan itu semua. Bahkan, kita masih sering tidak peduli tentang penggunaan energi yang sia-sia, seperti tidak melepaskan charger handphone setelah digunakan di stop kontak, membuang sampah seenaknya, dan boros penggunaan air.
Saya begitu syok mendengar pernyataan Mahawan Karuniasa, Dosen Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. “Bagi anak-anak, saat ini adalah cuaca tersejuk menuju masa depannya.” Kalimat itu langsung saya dengar dari beliau saat mengikuti Pelatihan “Green Growth Journalism” yang diadakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 16 Oktober 2023 di Medan.
Dampak perubahan iklim bisa dilihat dari kualitas air sungai yang sebelumnya jernih, kemudian menjadi keruh karena berkurangnya hutan. Suhu permukaan Bumi makin lama makin panas dan produksi pangan mulai berkurang. Tidak hanya itu, tingkat keasinan air laut dan debit air sumur juga semakin berkurang, sehingga kemungkinan besar terjadi kekeringan di masa depan,” ungkap Mahawan yang juga Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI Network).
Kalau saat ini merupakan cuaca tersejuk bagi generasi mendatang, bisa dibayangkan bagaimana panasnya di masa depan? Sontak saya teringat akan sebuah video yang pernah diputar dulu saat mengikuti Serial Pelatihan PPL. Judulnya, “Surat dari Teman di Tahun 2070”. Dalam video yang berdurasi tujuh menit itu menggambarkan kehidupan manusia yang kesusahan mendapatkan air. Cairan ini menjadi langka dan merupakan benda paling berharga dibandingkan emas dan permata. Sungguh menyedihkan!
Hal yang bisa kita lakukan ialah sadari bahwa krisis iklim sedang terjadi dan semakin parah bila tidak diimbangi dengan perilaku hijau. Kita bisa menerapkan perilaku hijau seperti tidak menyisakan makanan, tidak tergiur mengikuti tren (fast fashion), mengganti penggunaan plastik sekali pakai dengan totebag, menggunakan listrik, air, dan kendaraan seperlunya. Terakhir, gunakan media massa dan sosial untuk memengaruhi orang lain agar ikut bereaksi melakukan hal yang sama. Seperti yang saya lakukan saat ini. []
Penulis adalah peserta program pelatihan EEJ (Ecofeminism and Environmental Journalism): Workshop and Field Trip to Leuser Project [A Decade of YSEALI Small Grant]
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di media Serambi Indonesia 25 Maret 2024.