Setelah melewati jalan menanjak di sepanjang Desa Penosan Sepakat, Gayo Lues, bus sekolah yang dikemudikan Pak Utak dari Dinas Perhubungan Gayo Lues berbelok ke kanan. Mengikuti arah tanda panah bertuliskan Rainforest Lodges Kedah Bungalow.
Selanjutnya bus berhenti di sebuah area yang agak lapang di tengah-tengah kebun kopi. Kedah Lestari namanya. Itulah pemberhentian terakhir untuk kendaraan roda empat. Untuk melanjutkan ke Kedah Bungalow, pengunjung harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak permanen sejauh 2 kilometer. Kalau mau cepat, bisa juga naik sepeda motor.
Para penumpang bus turun. Jumlahnya 20-an orang, semuanya perempuan. Mereka adalah peserta dan panitia Training and Field Trip to Leuser “Ecofeminism and Environmental Journalism (EEJ)” yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) bersama The Leader dan biji-biji. Kegiatan ini mendapat dukungan melalui program Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) yang dimenangi oleh Koordinator PPL, Ayu ‘Ulya.
Para peserta segera berbaur dengan beberapa perempuan petani yang sedang istirahat di sebuah pondok di pinggir bukit.
Sekitar 30—45 menit dari ibu kota Gayo Lues di Blangkejeren. Beberapa pondok dibangun di Kedah Lestari sebagai tempat pengunjung mengaso sambil menikmati pemandangan berupa gugusan perbukitan pinus dan kebun serai wangi. Di sana juga terdapat warung yang menjual minuman dan makanan ringan.
Selanjutnya, secara bergantian para peserta mulai dilangsir dengan tiga sepmor menuju Kedah Bungalow. Jalanannya terjal. Namun, pengemudi yang merupakan warga setempat sangat piawai. Mereka sudah terbiasa mengangkut wisatawan, peneliti, ataupun pendaki yang bertandang ke Kedah Bungalow. Tempat ini menjadi salah satu gerbang bagi para pendaki yang ingin mendaki Gunung Leuser, sang Primadona di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang ketinggiannya mencapai 3.304 mdpl.
Untuk menaklukkan puncak Leuser, perlu nyali yang kuat karena memerlukan waktu setidaknya hingga dua pekan. Selain Leuser, di kawasan ini terdapat beberapa puncak lain yang menjadi tujuan pendakian.
TNGL luasnya lebih dari 1 juta hektare. Inti dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,8 juta hektare yang terletak di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara. KEL merupakan kawasan konservasi penting di dunia yang memiliki fungsi, di antaranya, untuk menjaga ketersediaan sumber air dan menjadi paru-paru dunia.
Di Gayo Lues saja, terdapat lima daerah aliran sungai (DAS) yang menyuplai air untuk 13 kabupaten di Aceh. DAS tersebut, yaitu DAS Alas, Tamiang, Peureulak, Jambo Aye, dan Kuala Tripa yang berhilir ke Samudra Hindia di selatan dan Selat Malaka di utara dan timur Aceh.
Alasan-alasan itulah yang membuat panitia memilih Gayo Lues sebagai lokasi pelatihan EEJ pada 2—6 Maret 2024. Maka, ke-10 peserta yang berasal dari berbagai kabupaten/kota di Aceh, seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Jaya, Aceh Besar, Sabang, dan Banda Aceh dapat melihat dari dekat fungsi hutan Leuser untuk dunia. Di samping, mereka juga dapat merasakan langsung efek nyata perubahan iklim.
Salah satu peserta, Yelli Sustarina, yang pernah ke Gayo Lues pada 2017 merasakan kalau hawa di daerah penghasil serai wangi itu sekarang lebih panas. Pernyataan Yelli diamini dua anggota PPL yang berdomisili di Gayo Lues, Susi dan Lia, bahwa suhu di daerah mereka memang lebih panas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kalau dulu, saya selalu tidur dengan memegang botol berisi air panas untuk menetralisir rasa dingin. Sekarang, tidak perlu lagi,” kata Lia.
Selama sesi pelatihan, peserta mendapatkan materi-materi dari para mentor, seperti Dian Guci, Khalida Zia, Keumala, Rachmi, Cut Meviantira, Ayu ‘Ulya, termasuk saya.
Topik yang diangkat sangat beragam, mulai dari kesetaraan gender, teknik wawancara, teknik fotografi dan videografi, teknik menulis karya jurnalistik, hingga teknik menulis ‘story telling’. Harapannya, para peserta dapat memperdalam keterampilan menulis dan keterampilan menggunakan gawai sehingga dapat menghasilkan karya-karya kreatif dan bergenre jurnalistik.
Kegiatan ini juga menghadirkan Laila Sabiha dari Malaysia selaku narasumber. Melalui paparan Laila, peserta dapat mengetahui apa saja tantangan yang dihadapi anak-anak muda dari negara jiran tersebut dalam menyuarakan isu-isu penyelamatan lingkungan dan perubahan iklim.
Bertemu Mr. Jali
Agenda ‘field trip’ dilaksanakan pada hari kedua pelatihan, Senin (4/3). Kegiatan ini diawali dengan mengunjungi Razali atau yang populer dengan sebutan Mr. Jali, di rumahnya di Desa Penosan Sepakat.
Sejak tahun ‘80-an Mr. Jali sudah keluar masuk Leuser sebagai pemandu. Ia mengenal habitat Leuser dengan baik. Setahunan terakhir aktivitas itu tidak dapat ia lakoni lagi karena stroke. Bicaranya patah-patah. Saat ia bicara dalam bahasa lokal, yang dapat dipahami oleh peserta hanya frasa ‘Allahu Akbar’ saja.
Lia dan Susi membantu menerjemahkan. Sehingga, tahulah kami kalau Mr. Jali menguasai beberapa bahasa asing, terutama Inggris. Buah dari interaksinya dengan para turis mancanegara yang selama ini mengunjungi Leuser.
Pertemuan dengan Mr. Jali sangat penting bagi peserta, meski tidak dapat berinteraksi banyak karena kondisinya, peserta memahami bahwa untuk peduli pada lingkungan tidak membutuhkan “embel-embel” gelar apa pun. Bahkan, Mr. Jali tidak lulus sekolah dasar. Namun, ia dapat mengenal dan mempelajari aneka flora dan fauna di Leuser. Instingnya yang kuat membuat Mr. Jali tidak membutuhkan GPS ketika sedang memandu pendaki.
Kepada Lia dan teman-temannya yang anak mapala, Mr. Jali pernah berjanji untuk memandu langsung mereka ke Leuser. Banyak yang ingin ia wariskan kepada anak-anak muda Gayo Lues. “Namun, beliau keburu sakit,” kata Lia.
Dari Mr. Jali pula peserta belajar tentang pentingnya semangat hidup. Meski untuk berjalan pun kini mesti dipapah, hari itu, ia menyusul juga ke bungalow. Sebuah tempat yang ia bangun khusus agar para pendaki bisa beristirahat sebelum dan sesudah mendaki Gunung Leuser.
Menanam pohon menjadi agenda utama selama berada di kawasan bungalow. Ini akan menjadi “kenang-kenangan” berharga bagi peserta. Peserta juga mempraktikkan langsung materi yang didapat sebelumnya. Mereka memotret, mereportase, dan mewawancarai narasumber.
Pohon-pohon besar berusia ratusan tahun dengan tajuk rindang memberikan kesempatan bagi paru-paru mendapat asupan oksigen yang benar-benar bersih. Kesempatan untuk meneguk langsung air dari sumber mata air tanpa cemas akan sakit perut. Memanjakan telinga dengan gemercik air sungai yang mengalir di antara batu-batu besar. Bahkan, suara tonggeret yang saling bersahutan terdengar sangat merdu dan akan menjadi “kebisingan” yang dirindukan dari EEJ 2024. []
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di media Serambi Indonesia 14 Maret 2024.