Kampung Tangah Rawa, Aceh Barat Daya, adalah pemukiman tua di batas Kecamatan Susoh dengan Blangpidie. Disebut ‘tangah rawa’ atau ‘di tengah rawa’ karena pada akhir abad ke-19 kampung ini memang berdiri di tanah rawa, yang banyak mengepung Susoh masa itu. Namun, versi lain mengatakan bahwa “rawa” di sini, dibaca sesuai pengucapan bahasa Jamu (rao), sebenarnya menunjukkan asal muasal penduduk kampung ini. Yaitu dari Rao, sebuah kecamatan yang kini termasuk Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Di kampung yang penduduknya ramah ini, sebuah rumah di Dusun Kulam Tuha tampaknya seperti magnet bagi anak-anak. Setiap Ahad sore, rumah itu ramai oleh anak-anak yang duduk-duduk membaca. Di hari lain, mereka tampak asyik mendengarkan dongeng yang dituturkan seorang dewasa. Hari lain lagi, eksperimen sederhana seperti membuat kompos dan mendaur ulang sampah, hadir di situ.
Itulah selintas kegiatan yang ada di Sigupai Mambaco (Sigupai Membaca) besutan Nita Juniarti.
“Sebetulnya saya ini lulus sebagai ‘tukang asah batu nisan’,” canda Nita. Candaan ini biasa dilemparkan orang saat tahu jurusan yang digeluti Nita di kampusnya dulu. Namun, gadis penduduk asli Susoh kelahiran 1993 ini tidak sakit hati bila ada yang berguyon begitu.
“Yang penting sikap pribadi kita. Setiap pilihan ada konsekuensinya,” katanya saat dihubungi via telepon, Kamis, 17 Juni 2021. Pembawaan Nita yang riang dan positif, seolah cermin sederet pengalaman hidupnya yang menarik.
Selepas lulus dari Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar Raniry Banda Aceh, Nita sempat menjadi pengajar dan staf di PAUD UIN Ar Raniry. Menjadi ‘kakak asrama’ di Fatih Bilingual School Banda Aceh juga sempat dilakoninya.
“Saya memang sangat tertarik pada dunia pendidikan, budaya dan literasi,” ujar Nita. Tahun 2015 saat mulai menjadi jurnalis sebuah media siber, Nita dipilih Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sebagai salah satu kuli flashdisk meliput kegiatan Explore Pulo Aceh.
Selain piawai menulis, yang ditabalkannya dengan menjuarai beberapa lomba menulis, Nita mengaku tak betah diam menetap di suatu tempat. Rekam jejaknya sejak 2015 menunjukkan kedinamisan yang mendukung pengakuannya ini.
“Saya suka anak-anak, dan gemar sekali jalan-jalan alias merantau,” katanya. Hobinya ini mendorongnya menjadi pegiat program Pustaka Ransel besutan komunitas Aceh Let’s Do It. Sekelompok perempuan muda yang ingin ‘menularkan virus gemar baca’ pada anak usia sekolah, membawa buku dalam ransel dan merambah daerah-daerah terpencil untuk memperkenalkan asyiknya membaca. Dalam tugasnya ini, Nita merambah Kecamatan Pulo Aceh di Kabupaten Aceh Besar, juga Kabupaten Aceh Tamiang.
Namun, Nita tak puas hanya menularkan virus literasi dan pendidikan di kampungnya, Aceh. Ia ingin dapat berguna bagi bangsa Indonesia.
“Karena itu saya mendaftar ke program Indonesia Mengajar. Kali pertama melamar saya belum berjodoh dengan program gagasan Pak Anies Baswedan ini. Tapi kali kedua, saya lulus tes dan ditempatkan di Banggai, Sulawesi Tengah.”
Setahun di Banggai, mata Nita semakin melek akan kenyataan bahwa manusia Indonesia yang melek literasi masih sangat langka. Selama setahun menjadi Pengajar Muda, sebuah komunitas anak muda di Banggai memberinya gagasan dan semangat.
“Penyala Banggai, sebuah komunitas relawan, menggelar Minggu Membaca setiap Ahad. Dan peminatnya banyak. Mereka juga membuat berbagai kegiatan lain seperti pengajian untuk anak-anak dan sebagainya. Saat itu sebuah ilham menyala di kepala saya. Saya yakin, anak-anak kampung saya dapat memperoleh banyak manfaat dari kegiatan yang serupa,” tutur Nita. Ia menengarai bahwa minat baca anak-anak dan kaum muda di desanya sebenarnya sangat baik.
“Mereka hanya belum punya sarana memadai untuk menyalurkan minat baca itu,” katanya bersemangat.
Pulang dari Banggai, gadis murah senyum putri sulung Bapak Azmi dan Ibu Nurbaiti ini lantas memutuskan untuk segera mewujudkan proyek idealis yang inspirasinya diperolehnya di rantau. Tujuh Januari 2018, berbekal buku-buku bacaan dalam ransel, keranjang milik ibunya dan sehelai ‘terpal’ (alas plastik tebal), Nita memulai apa yang kemudian menjadi embrio dari komunitas literasi Sigupai Mambaco.
Nita mulai mangkal di Lapangan Persada, Blangpidie, Aceh Barat Daya. Pertimbangannya, karena lapangan olah raga itu terletak di pusat Kota Blangpidie, di pinggir jalan utama pusat perdagangan yang ramai. Namun, setelah beberapa kali mangkal di sana, ternyata tak seorang pun mampir ke lapak bukunya.
“Jadi saya pindahkan. Awalnya ke kawasan Kompleks Perkantoran Bukit Hijau, lalu ke Dermaga Ujong Serangga, Susoh.”
Nita membuka lapaknya setiap sore hari Ahad. Di sinilah Sigupai Mambaco mulai berkembang. Sore hari, pantai dan TPI Ujong Serangga selalu ramai dikunjungi orang. Bukan hanya para tauke ikan, tetapi juga warga masyarakat yang JJS alias jalan-jalan sore.
“Banyak anak-anak juga. Awalnya mereka yang datang menengok lapak kami, selalu menanyakan apakah buku-buku itu dijual,” Nita tersenyum mengingat-ingat. “Ketika tahu bahwa buku-buku itu boleh dibaca di tempat, gratis tis tis, banyak anak yang wajahnya langsung ‘menyala’ kegirangan.”
Langkah Nita tidak langsung mulus. Dengan koleksi buku sekitar 400 judul, saat buka lapak Nita hanya bisa membawa100 judul karena terbatasnya tempat di sepeda motornya. Di masa awal ia membuka lapak baca, tak sedikit orang ragu bahwa ia akan berhasil.
“Yang mengejek juga banyak. Menurut mereka, masyarakat kita tak terbiasa ‘butuh membaca’. Jadi membuat taman bacaan akan sia-sia saja,” cerita Nita.
Memang benar, selama tiga bulan perdana ia menggelar perpustakaan sederhananya, lapaknya tak pernah mendapat pengunjung. Tapi, Nita tidak putus asa.
Keluarga adalah pendukung utamanya. Saat Nita sedang berjuang memperkenalkan lapak bacanya, kadang-kadang ayah atau adiknya sengaja datang ke lapaknya untuk mengantarkan buku. Dari hanya sendirian membawa dan menunggui lapak bacanya, Nita kemudian mendapat asisten setia. Adiknya, Randa Zahrial.
“Awalnya Randa ragu bergabung dengan Sigupai Mambaco. Namun, kemudian, di tahun 2018 Sigupai Mambaco mendapat dukungan berupa cator (becak-motor) dan rak buku dari Asuransi Astra. Nah, saya tidak pandai mengendarai becak motor yang berat itu. Di sinilah peran Randa dituntut.”
Dengan becak motor yang dikendarai Randa, Sigupai Mambaco dapat meluaskan jangkauannya. Buku yang dapat dibawa pun bertambah jumlahnya. April 2018, Nita merantau ke Muara Enim, Sumatera Selatan, untuk menjadi Community Development Facilitator dalam program Muara Enim Cerdas. Saat itulah Randa mulai sepenuhnya menjadi penanggung jawab program Bukling (Buku Keliling) Sigupai Mambaco.
“Awalnya saya sempat khawatir Sigupai Mambaco akan buyar. Apalagi karena sepanjang tahun 2019 saya rutin bolak-balik ke Jakarta, bahkan kemudian menetap di Malang sebagai Community Development Facilitator dalam proyek Sekolah Sehat JAPFA sampai pertengahan tahun 2020. Namun, dukungan keluarga di rumah membuat kegiatan Sigupai Mambaco tetap berjalan, walau pun saya sedang tidak ada di Abdya (Aceh Barat Daya),” kata Nita.
Memang, keluarga Nita adalah pilar-pilar utama pendukung kegiatan Sigupai Mambaco. Ibunda Nita bahkan bertindak sebagai manajer yang menangani kegiatan yang akan diadakan Sigupai Mambaco. Mulai dari menghubungi narasumber hingga pendaftaran anggota, semua dilakukan sang bunda. Bahkan, selain di Dermaga Susoh, kegiatan Sigupai Mambaco kini diadakan di rumah orang tua Nita di Jalan Rawa Sakti.
“Mamak adalah suporter utama saya,” aku Nita. “Bila saya tengah menyusun program, beliau bahkan membebaskan saya dari tugas rutin di rumah. Saya diperbolehkan nongkrong terus di depan laptop,” lanjut Nita seraya tertawa kecil. “Seringkali, ibu-ayah saya, bahkan juga nenek dan kakek, membantu membuka perpustakaan. Menata buku-buku dan menyimpannya kembali, mengawasi jalannya pinjam-meminjam buku, dan sebagainya.”
Mengelola komunitas Sigupai Mambaco memberikan kepuasan batin yang penuh. Terutama ketika apa yang dilakukan dalam komunitas ini berhasil menginspirasi orang lain untuk turut “menularkan virus literasi”.
Seperti baru-baru ini, ketika dua anggota muda Sigupai Mambaco, Shifa (12) dan Tasya (11), menggagas kegiatan “Keta Buku”. Dalam bahasa Aneuk Jamee, bahasa ibu mereka, keta berarti sepeda. Shifa dan Tasya mulai berkeliling dengan sepeda seraya membawa buku untuk dipinjamkan.
“Kami sempat mengadakan aksi galang dana untuk membeli sepeda bagi mereka. Sebab sepeda yang mereka gunakan sudah tidak layak. Alhamdulillah, kini keempat sepeda yang kami perlukan sudah ada.”
Keempat sepeda itu merupakan sumbangan dari Wakil Ketua DPRA asal Partai Gerindra, Safaruddin, seorang putra asli Kampung Rawa, Susoh. Warna-warni ungu dan merah sepeda-sepeda itu agaknya akan membantu menjaga semangat Shifa dan Tasya tetap menyala.
Kini, dari hanya sehelai alas plastik dan seratusan buku, hanya digawangi Nita seorang, Sigupai Mambaco telah berkembang menjadi perpustakaan dengan koleksi 1000-an buku, 11 pengurus tetap, 39 relawan, ditambah cator dan sepeda Bukling. Pandangan masyarakat juga perlahan telah bergeser. Dari heran, skeptis bahkan sinis, kini Sigupai Mambaco sudah dikenal luas di Aceh Barat Daya. Sepak terjang Nita bahkan telah diapresiasi Pemerintah dengan penunjukannya sebagai Perempuan Inspiratif (Peringkat 3) Tingkat Provinsi Aceh.
“Ke depannya, kami akan lebih memusatkan kegiatan Sigupai Mambaco pada isu literasi baca tulis dan lingkungan hidup. Kami ingin Sigupai Mambaco menjadi sebuah tempat bekerja, belajar, dan bertumbuh bagi anak-anak Aceh Barat Daya, serta bisa menjadi salah satu think-tank pendidikan dan penelitian di Aceh,” harap Nita.[]
Satu tanggapan untuk “Sigupai Mambaco: Bakti Literasi Sang Dara Bohemian”
Kisah inspiratif yang ditulis dengan bahasa yang simpel. Semoga sukses untuk semuanya.