Kategori
Perempuan Berdaya

Saprina Siregar Sukses Terapkan Kasih Sayang sebagai Dasar Pendidikan Inklusif

SAPRINA SIREGAR mengawali kariernya di dunia pendidikan sebagai guru di salah satu pesantren di Kabupaten Aceh Besar. Pernah juga mengajar di salah satu madrasah ibtidaiah di Kota Banda Aceh, sempat pula bekerja di lembaga swadaya masyarakat, sampai akhirnya “kecemplung” dan menenggelamkan dirinya dalam dunia pendidikan anak usia dini (PAUD) inklusif sejak 2009 silam.

Lebih dari satu dekade menjadi praktisi PAUD inklusif, perempuan yang akrab disapa Bu Ina ini sangat kenyang dengan asam garam dalam mengelola PAUD inklusif. Berbagai formulasi dan praktik baik hasil uji coba yang selama ini ia terapkan di sekolah, lama kelamaan menjadi sebuah strategi yang bisa diterapkan secara permanen.

Bahkan, banyak praktisi PAUD yang mulai mengadopsi strategi yang oleh Bu Ina disebut sebagai “strategi kasih sayang” atau “strategi kayang”. Mengadopsinya pun mudah karena ia sudah mengemasnya menjadi sebuah buku berjudul Strategi Kayang di Sekolah Inklusi. Pada 2018 lalu, buku tersebut diikutkan dalam lomba yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan di luar sangkaannya buku itu berhasil meraih juara tiga.

Sejak itu, istilah “strategi kayang” semakin bergema di kalangan pendidik anak usia dini, khususnya di Aceh. Ina pun mendapat amanah yang lebih besar, Kementerian Pendidikan menunjuknya sebagai Pendamping PAUD untuk tiga kabupaten di Aceh; Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Pidie dalam rentang waktu tiga tahun pada 2020—2022. Tugasnya mendampingi penjagaan mutu PAUD bidang manajerial, entrepreneur, supervisi, dan kolaborasi pembelajaran.

Saprina Siregar dengan buku Strategi Kayang di PAUD Inklusi hasil karyanya

“Kasih sayang adalah esensi dari sebuah pendidikan, karena setiap manusia ini pada dasarnya ingin dikasihi, saya ingin anak-anak bahagia, ceria, bisa bertumbuh sesuai kondisi mereka,” kata Ina saat berbincang dengan penulis, Jumat, 18 Juni 2021.

Konsep dasar ini merujuk pada sifat pengasih dan penyayang Sang Maha Pencipta, yaitu Arrahman dan Arrahim yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai salah satu sifat terpuji Allah Swt.

Pentingnya Sekolah Inklusif

Di telinga masyarakat awam, istilah sekolah inklusif atau PAUD inklusif mungkin masih terdengar asing. Sebenarnya, ini merupakan istilah untuk menunjukkan kondisi atau sistem sebuah sekolah yang menggabungan murid yang berkebutuhan khusus (ABK) dengan murid kebanyakan atau non-ABK. Sekolah inklusif memang belum familier, bahkan keberadaannya masih sangat langka. Sehingga para orang tua dengan ABK sering dibikin pusing saat mencari sekolah yang kondusif bagi buah hatinya.

Selama ini, anak-anak berkebutuhan khusus kerap disekolahkan di sekolah luar biasa, sedangkan anak-anak kebanyakan disekolahkan di sekolah-sekolah umum seperti yang kita kenal selama ini. Kalaupun ada ABK yang disekolahkan di sekolah umum, tak sedikit yang malah menjadi korban risakan. Kondisi ini tak ayal menimbulkan “gap” antara ABK dengan anak-anak kebanyakan. Dampaknya, membuat ABK malah kehilangan kepercayaan diri saat bergaul di masyarakat, sementara anak-anak kebanyakan sulit mengasah empatinya.

“Nah, inilah yang ingin kita ubah dengan adanya sekolah inklusif,” kata Ina, “interaksi antara ABK dan anak-anak kebanyakan pelan-pelan akan menumbuhkan rasa percaya diri ABK. Sedangkan pada anak-anak kebanyakan, empati mereka akan semakin bertumbuh. Anak kebanyakan kita beri kepercayaan untuk membantu atau menolong temannya yang ABK, mereka kita ajarkan untuk menghargai perbedaan dan ketidaksempurnaan sebagai anugerah Tuhan. Mereka akan merasa bangga saat bisa menolong orang lain,” kata Ina.

Masuknya Ina ke dalam dunia pendidikan inklusif bisa dibilang semacam kebetulan. Di tahun 2009, Ina sedang berada di rumah adiknya yang saat itu sedang melahirkan. Sebagai seorang kakak yang sudah lama menjadi ibu, Ina pun mengurus keponakannya dengan telaten. Seorang teman adiknya yang sedang bertamu rupanya diam-diam mengamati cara Ina mengurus keponakannya. Tak lama berselang, sang adik mengabari Ina kalau temannya itu meminta sang kakak untuk bekerja di sekolah PAUD-nya.

“Tamu tersebut adalah Bu Shadia Marhaban, pemilik yayasan sekolah PAUD Kasya Inklusif, sekolah yang kemudian menjadi tempat saya mengabdi selama dua belas tahun,” kata Ina.

Kasya ibarat laboratorium bagi Ina. PAUD ini bisa dibilang yang pertama di Banda Aceh menerapkan sistem inklusif. Saat pertama kali memutuskan bergabung dengan Kasya, Ina tak punya bekal apa pun tentang sekolah PAUD, alih-alih berpengalaman di dunia pendidikan inklusif. Di belakang namanya memang tersemat gelar sarjana pendidikan Islam, tetapi basic-nya adalah guru Pendidikan Agama Islam.

“Modal dasar saya awalnya karena saya memang sangat menyukai anak-anak,” ujar perempuan murah senyum kelahiran Takengon, 7 April 1975 ini, “saya juga belajar dari pengalaman diri sendiri, apa saja pengalaman di masa kecil yang saya rasa tidak menyenangkan atau tidak saya sukai, tidak akan saya terapkan pada anak-anak saya, begitu juga pada murid-murid saya,” katanya.

Kedekatan Saprina Siregar dengan sejumlah murid-muridnya

Setahun pertama di Kasya, Ina diberikan kepercayaan sebagai wakil kepala sekolah. Setahun kemudian, tanggung jawabnya lebih besar menjadi kepala sekolah. Kepercayaan dari pemilik yayasan membuat Ina jadi lebih leluasa dalam mengembangkan sekolah. Tak heran jika Kasya kemudian menjadi tempatnya bereksperimen hingga dua tahun kemudian lahirlah Strategi Kayang. Sebuah strategi yang menjadikan kasih sayang sebagai dasar dalam melayani peserta didik. Ina juga menatar para guru agar bisa mengelola sekolah sesuai dengan visi kasih sayang.

Semua pelayanan di sekolah harus berstandar kasih sayang yang diaplikasikan dalam gerak-gerik dan perilaku kepala sekolah, pendidik, peserta didik, orang tua, dan lingkungan sekitar. Itu sebabnya, pelibatan orang tua secara intens sangat penting dalam memantau perkembangan anak. Ina sendiri secara pribadi selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan para orang tua murid. Lama-lama, kebiasaan ini memunculkan program Parenting Day sebagai ruang konsultasi bagi orang tua murid. Dari sinilah, berbagai persoalan yang dialami orang tua dengan ABK biasanya perlahan-lahan ikut terkuak.

Ina juga senang mengamati. Obrolan-obrolan dengan orang tua murid tak luput begitu saja darinya. Misalnya, ketika ada orang tua yang bercerita tentang kondisi sekolah lain yang kepala sekolahnya sulit ditemui, atau guru yang tidak tahu program-program yang dijalankan sekolah, atau kecemasan mereka karena guru abai pada murid-muridnya karena sibuk bermain ponsel, diam-diam Ina mencatat semua itu di memorinya.

“Jangan sampai itu terjadi di sekolah saya! Sekecil apa pun ilmu yang didapat langsung dipraktikkan di sekolah, kami juga memaksimalkan pelayanan, dalam artian hubungan kami dengan orang tua harus terjalin dengan baik karena kami akan rutin membicarakan perkembangan anak dengan para orang tua,” katanya.

Pelayanan itu misalnya, diawali dengan menjalin hubungan baik dengan orang tua murid. Bahkan, tak hanya ayah atau ibu murid saja, tetapi juga nenek, atau siapa pun yang terlibat langsung dalam pengasuhan di rumah. Ini penting, khususnya bagi orang tua yang memiliki ABK, untuk menyamakan persepsi dalam memberikan terapi kepada anak.

Itu sebabnya, murid-murid yang sekolah di Kasya selalu diawali dengan screening dasar untuk mengobservasi anak yang meliputi enam aspek, yaitu instruksi/kepatuhan, bahasa, kognitif, fisik/motorik, sosial/emosional, dan kemandirian. Dari hasil observasi ini akan diketahui apakah anak-anak tersebut merupakan anak kebanyakan, atau ABK yang notabenenya mengalami kondisi seperti keterlembatan berbicara (speech delay), gangguan konsentrasi, gangguan pendengaran, sindrom martan, autis, down sindrom, atau celebral palsy. Dalam hal ini pihak sekolah juga menggandeng psikolog untuk kepentingan dalam mendiagnosa dan memberikan terapi pada anak.

Screening ini sangat penting karena tidak semua orang tua mampu mengenali ciri-ciri ABK. Tanpa pengetahuan yang memadai, akan berdampak pada cara menangani ABK, salah-salah penanganan yang tadinya ringan bisa menjadi sedang atau parah, begitu juga sebaliknya, kalau penanganannya benar, yang sedang bisa menjadi ringan,” ujar peraih juara III Lomba Apresiasi GTK PAUD Dikmas Tingkat Nasional 2018 ini.

Menjadi seorang guru PAUD kata Ina, juga harus memiliki sensitivitas yang tinggi. Seorang guru harus tahu kapan muridnya sedang merasa tidak nyaman. Orang-orang yang sedang merasa tidak nyaman, karena marah misalnya, cenderung ingin menyendiri. Kondisi ini membuat pihak sekolah akhirnya menyediakan “kursi ekspresi berbagi rasa”. Anak-anak yang sedang merasa tidak nyaman biasanya dengan sendirinya akan langsung duduk di kursi itu. Guru yang mendapati muridnya di kursi berbagi rasa ini tidak akan bertanya lagi ada apa dengan mereka.

Para guru juga begitu, jika mereka mengalami kendala saat menangani murid tertentu, mereka akan memberi kode pada guru—yang disebut dengan kode dan pembagian peran—lain sehingga ketidaknyamanan itu tidak akan diketahui oleh murid. Wajar saja, menjadi guru di sekolah inklusif lumrah berhadapan dengan murid-murid yang superaktif atau tantrum. “Kalau gurunya tidak memiliki rasa kasih sayang, mereka pasti nggak sanggup menghadapi situasi ini. Karena berlandaskan kasih sayang ini juga, kita tidak paksa guru yang sedang sedih misalnya, untuk menghadapi murid yang sedang tantrum atau tidak nyaman.”

Cerminan dari sikap, perilaku, cara berkomunikasi, berpakaian, bahasa tubuh, dan gestur yang berbasis kasih sayang ini pada akhirnya memberikan dampak yang besar. Perubahan positif mulai dirasakan oleh seluruh insan sekolah. Guru juga dibiasakan untuk selalu mengatakan “maaf” jika tanpa sengaja melakukan kesalahan. Permintaan maaf itu tidak hanya disampaikan kepada anak, tetapi juga pada orang tua jika misalnya mereka melakukan keteledoran yang berdampak pada anak. Artinya, kata Ina, sekolah selalu breusaha untuk bersikap kooperatif.

“Di sekolah inklusif ini setiap anak mendapatkan perlakuan yang sama, yang berbeda hanya program pendidikannya karena disesuaikan dengan kondisi anak,” ujar dosen luar biasa STKIP AN-Nur Prodi PG PAUD ini.

Perlakuan itu misalnya, semua anak mendapat kesempatan yang sama dalam setiap event yang diselenggarakan sekolah. Tak terkecuali bagi ABK. Bahkan, dalam sebuah pertunjukan seni tari, seorang murid dengan kondisi duduk di kursi roda juga pernah terlibat. “Murid itu kita dudukkan di kursi roda, bagi anak-anak seperti ini, bisa berpartisipasi saja sudah sangat luar biasa, mereka sangat senang dan bahagia karena tidak dibeda-bedakan,” ujarnya lagi.

Mendirikan PAUD Inklusif Harsya

Saprina Siregar memberi arahan bagi para guru dalam Raker I PAUD Inklusi Harsya

Riak-riak kecil juga kerap dirasakan Ina, misalnya, masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang sekolah inklusif membuat segelintir orang tua resah dengan kebijakan sekolah yang mencampurkan ABK dengan anak kebanyakan. Padahal, pendidikan inklusif tidak hanya memberikan keadilan pendidikan pada semua anak, tetapi juga sedini mungkin memperkenalkan pada anak tentang perbedaan fisik, mental, sosial, serta bagaimana mereka belajar menerima dan menyukai orang lain, menghargai perbedaan, dan melakukan kegiatan bersama. Itu sebabnya, ketika murid kebanyakan atau orang tua bisa menerima “kekhususan” yang ada di Kasya, baginya itu sebuah berkah yang besar. Karena diakui atau tidak, tidaklah mudah mengubah mindset orang lain dalam menghadapi kondisi yang tidak ideal di sekitarnya.

Berbagai kesempatan dimanfaatkan Ina untuk mengampanyekan sekolah inklusif. Memang tak semua orang bisa menerima, tetapi setidaknya ia sudah mencobanya. Tantangan lain juga terletak pada fasilitas pendukung seperti prasarana dan sarana belajar, serta program dan kurikulum yang lebih kompleks. Setiap anak membutuhkan penanganan yang berbeda, makanya komposisi antara ABK dan anak kebanyakan di sekolah inklusi tak boleh lebih dari 30:70.

Berkat kepiawaiannya menulis, Ina juga membagikan pengetahuannya menjadi buku. Setidaknya, beberapa buku sudah ia tulis berdasarkan pengalamannya di Kasya; Terapi Kasih Sayang di Rumah Kasya, Kasih Sayang di Rumah Kasya Catata dari Meja Bu Ina, Strategi KAYANG di Sekolah Inklusi, dan Karya Nyata: Strategi KAYANG di PAUD Kasya. Di luar itu, ia juga telah menelurkan beberapa buku lain baik solo maupun antologi. Bagi Ina, menulis bukan saja jalan untuk menyalurkan hobi, tetapi sarana untuk berbagi pengetahuan dan membangun kekuatan dalam komunitas. Itu pula yang membuatnya menahbiskan kayang sebagai nama komunitas untuk menghimpun ibu-ibu yang suka menulis; Komunitas Literasi Kayang.

Terlepas dari berbagai tantangan yang ada, Ina selalu bersyukur. Ia memiliki orang-orang yang senantiasa mendukungnya. Suami, anak-anak, keluarga, dan teman-temannya sangat mendukung aktivitasnya. Dukungan itu yang membuat Ina akhirnya berani mengepakkan sayap lebih lebar. Setelah dua belas tahun di PAUD Inklusif Kasya, Ina memutuskan untuk mendirikan sekolahnya sendiri yakni PAUD Inklusif Harsya. Tahun ajaran baru ini, PAUD ini resmi hadir untuk menambah daftar keberadaan PAUD inklusif di Banda Aceh.

Bagi Ina, di mana pun dia berada, kuncinya menjalani aktivitas tetaplah harus bertumpu pada Tuhan. Di samping, mengabdi dengan sepenuh hati dan kasih sayang. Sebab, sesuai moto hidupnya, hanya dengan kasih sayang perbedaan bisa dirangkul.[]

15 tanggapan untuk “Saprina Siregar Sukses Terapkan Kasih Sayang sebagai Dasar Pendidikan Inklusif”

Keren bu ina (mami), aku bangga sama mami,, mami yang selalu mengayomi “kami”
Semua guru mami,, mami selalu melindungi kami, dan menjadi inspirasi kami.. lov u mi

Alhamdulillah, terima kasih ihan. Semoga akan banyak hadir sekolah inklusi di sekitar kita, agar banyak anak yang mendapatkan layanan pendidikan yang sama dengan anak kebanyakan.

Terima kasih guruku dan guru anak-anakku, dari mu kami belajar bahwa pentingnya kasih sayang dan saling menghargai dan tidak membeda-bedakan anak Krn setiap anak adalah unik dan spesial. ABK dan non ABK adalah tanggung jawab kita bersama, Tetap berbuat dan bermanfaat

Mami orang yang energik, punya semangat pantang menyerah persis kayak kata2 sebuah iklan “ku mau ku dapat” mami sudah melewati proses metamorfosis, dari kepompong menjadi kupu-kupu, dari bukan siapa-siapa menjadi siapa
Mami tipe orang yang gak mau sukses sendiri,jadi jiwa mendorong orang lain supaya ikut sukses , semoga semakin sukses ya mi, sosok wanita yang sudah mampu menjalan kan perannya, sebagai seorang Anak, istri ,ibu, dan perempuan. Sudah terbukti mampu bekerja diranah domestik dan publik
Sehat-sehat tetap semangat karena dunia masih butuh sosok kayak mami
❤️❤️❤️

Terima kasih Bu Ina, bersamamu serta diizinkan bergabung dalam tim paud kasya bisa mengenal seni pengasuhan.
Sukses untuk Bu Ina dan paud inklusi. Semoga strategi kasih sayang dalam pengasuhan dapat diimplementasikan di semua sekolah regular dn inklusi.

Teruslah melangkah bu Ina, berjuang bersama sama tim terbaik untuk keseteraan pendidikan dimana setiap anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yg maksimal tanpa ada perbedaan meskipun kita diciptakan berbeda-beda satu dengan lainnya

Semua anak berhak mendapatkan layananpendidikan yg maksimal, sebagaimana amanat konstitusi. meski kita berbeda-beda tapi tidak utk dibeda bedakan, top bu Ina, lanjutkan perjuanganmu bersama para guru guru terbaik

KAYANG telah mendarah dan mendaging dalam diri bunda Ina. Ia menyebarkan kasih sayang tanpa membeda-bedakan. Banyak hal telah beliau perjuangkan baik di dunia nyata maupun dunia Maya. Semoga kami generasi penerusnya bisa membawa semangat beliau dan terus menyebarkan kasih sayang dimanapun kami berada.
Semoga Bunda Ina selalu diberi kesehatan dan semangat pantang menyerah meski ada 1000 tantangan di depan mata. Percayalah bunda tidak akan berjuang sendiri, akan ada orang-orang baik yang siap mengelilingimu.

Salam kasih sayang.

Bunda Ina adalah Bunda yang baik bagi semua orang. Kasih sayangnya bisa dirasakan semua orang. Sukses terus Bunda. Love you.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *