Petikan bijak itu muncul di sela derai tawa saat saya menonton kisah kocak dari film komedi romansa 30+ Soht On Sale. Siapa sangka, kalimat singkat yang dituturkan oleh sang pemeran utama di akhir sesi film tersebut mampu membangkitkan kembali memori lama. Sebuah ingatan yang cukup manis. Kenangan takdir yang mempertemukan saya untuk pertama kalinya dengan produk-produk legendaris Faber-Castell.
Tahun 2004, saat itu saya sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebagai remaja tanggung, saya dan teman-teman sedang senang-senangnya belajar dan bergaul. Hayalan, bualan, dan mimpi kami masih tinggi. Rasa takut dan malu masih minim. Entah karena sistem kinerja otak yang belum sempurna terbentuk atau disebabkan efek samping gejolak darah muda yang berapi-api. Intinya, di masa keemasan itu, saya merasa begitu percaya diri untuk menyongsong masa depan.
Nyatanya, bagi saya, momen-momen penuh warna dan tawa itu hanya berlangsung singkat. Saat tsunami melanda Aceh, tanpa sadar, impian-impian yang sebelumnya saya dekap erat-erat, pelan-pelan meredup, nyaris padam. Setelah kerusakan alam dan lingkungan yang begitu dahsyat, kehilangan tempat tinggal, hidup di kamp pengungsian berbulan-bulan, berhenti sekolah beberapa caturwulan, hingga kehilangan begitu banyak teman sepermainan, cita-cita gempita saya sebelumnya menjadi terseok-seok. Pascabencana, saya pun hanya mampu melewati hari-hari dengan bingung sekaligus murung. Semesta seakan menyedot saya ke dalam mimpi buruk yang begitu panjang. Sehingga, mimpi-mimpi indah yang rencananya diwujudkan sebulan demi sebulan berubah menjadi perjuangan untuk sekadar bertahan hidup senapas demi senapas.
Setelah berbulan-bulan mengungsi, saya sekeluarga pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Sebab kondisi kamp pengungsian tidak lagi kondusif. Pada kenyataannya, setelah diterpa bencana gempa dan tsunami, rumah kami pun tidak bisa dikatakan cukup layak untuk ditempati. Namun, minimal masih ada satu-dua ruang yang bisa dibersihkan dan terasa cukup aman untuk menampung seluruh anggota keluarga.
Kemudian, bulan berlalu, tahun pun berganti. Beberapa aktivitas di Provinsi Aceh, terutama Banda Aceh, mulai hidup kembali. Sejak pertengahan tahun 2005, sekolah dan kantor pun mulai aktif, walau dalam kondisi seadanya. Saya dan adik-adik pun kembali bersekolah walau tanpa seragam, buku bacaan, maupun peralatan sekolah.
Hingga suatu hari, sepulang kantor, ibu saya tiba di rumah dengan menjinjing sebuah tas pakaian hitam berukuran sedang berbahan kulit sintetis. “Ini hadiah peralatan belajar dari Faber-Castell,” tutur ibu sembari meletakkan tas tersebut di hadapan saya dan adik-adik.
Sontak, kami pun berebutan membongkar muatan isi tas misterius itu. Kami temukan berkotak-kota peralatan mewarnai berwarna-warni. Ada yang berjenis pensil kayu, krayon, cat air, hingga cat minyak. Mata kami berbinar-binar. Tak hanya itu, terdapat juga peralatan sekolah seperti kertas origami, buku gambar, buku tulis, pensil, rautan pensil, setip, dan penggaris. Menariknya, tas hadiah tersebut tidak hanya berisi peralatan menggambar dan menulis, tetapi juga berisi alat-alat musik seperti tamborin, suling recorder, dan pianika. Puas membongkar seluruh isi tas, wajah saya pun merona.
Sejujurnya, momen tersebut menjadi salah satu momen pascabencana yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Euforia semacam ini tentu tak mampu dipahami oleh semua orang. Sebab bagi mereka yang diliputi benderang mentari, sekelebat cahaya menjadi tak ada arti. Namun bagi orang-orang yang terjerebab dalam lorong gulita, seberkas sinar mampu membangkitkan asa. Dan pendar mungil di hati itulah yang saya rasakan kembali saat pertama kali berjumpa Faber-Castell.
Déjà vu
Sebuah nomor tak dikenal meninggalkan keterangan dua missed call di layar android. Bingung, saya menerka-nerka siapa kiranya dan apa gerangan pemilik nomor tersebut menghubungi. Sepersekian detik kemudian, gawai saya kembali bergetar. Masih dari nomor yang sama.
“Halo kak, ada di rumah? Saya mau mengantar pesanan,” sapa suara di seberang.
“Pesanan?” Saya tergagap. “Lho, seingat saya, dalam seminggu ini enggak pesan apa-apa tuh,” jawab saya linglung.
“Ada, Kak. Dari Faber-Castell nih,” jelas suara di ujung telepon.
“Oh, ya, ya. Datang aja. Saya di rumah,” klik, percakapan pun berakhir dalam geming.
Sabtu, 29 Mei 2021, paket itu pun tiba di genggaman. Saya merasa senang sekaligus bingung. Andai saja paket tersebut tidak disertai “surat cinta” kepada para rekan media dan blogger dari PR Manager Faber-Castell Indonesia, Pak Andri Kurniawan, maka sungguh saya akan berada dalam momen kebagongan yang nyata. Bayangkan, hati siapa yang tidak akan cukuwak kalau pada akhirnya hadiah yang diterima ternyata salah alamat ataupun salah orang.
Drama akhir pekan pun usai. Lalu terbitlah hari senin. Pada tanggal 31 Mei 2021, sebuah email pengumuman terkait jadwal dan link webinar “Refleksi Pendidikan Indonesia, di antara PJJ dan PTM” pun mendarat dengan mulus. Saat itu saya merasa begitu lega. Baru kali ini saya mengalami momen menerima paket lebih awal daripada pengumuman pesertanya. Seakan mengalami Déjà vu, lagi-lagi Faber-Castell hadir menemui saya dengan surprise-nya.
Rasa Peduli
Pandemi rasa tsunami. Itulah istilah yang saya sematkan untuk kondisi rakyat Indonesia, bahkan dunia, semenjak kehadiran Covid-19 sejak tahun 2020 silam. Bagi saya pribadi, tahun pandemi dan tahun tsunami nyaris begitu serupa. Kehadiran pandemi maupun bencana tsunami sama-sama membuat masyarakat gusar dan kesulitan, ekonomi runtuh, dan aktivitas di sekolah maupun kampus pun ditiadakan.
Adapun segelintir perbedaan antara keduanya terletak pada opsi pendidikan. Saat bencana tsunami terjadi, pendidikan formal di sekolah-sekolah provinsi Aceh digantikan pembelajaran seadanya di kamp pengungsian dengan bantuan para relawan. Adapun kini, di masa pandemi, kegiatan belajar formal yang dulunya full dilakukan di sekolah digantikan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dari rumah atau Pembelajaran Tatap Muka (PTM) secara terbatas jika memungkinkan.
Diakui atau tidak, sejatinya selalu ada berkah dan tantangan di setiap perubahan. Berkah dan tantangan itu juga hadir semenjak munculnya kebijakan PJJ dan PTM terbatas bagi keberlangsungan pendidikan anak-anak bangsa.
Keterkejutan perubahan sistem pendidikan tersebut tidak hanya menimpa para murid, tetapi juga guru sekaligus orang tua, terutama para ibu. Peningkatan stres dan beban kerja yang berganda membuat kebanyakan perempuan rentan. Berempati akan permasalah tersebut, saya pun menerbitkan sebuah tulisan di media massa berjudul “Andai Perempuan Tahu”. Karya kecil itu merupakan sebentuk dukungan moril yang saya curahkan demi menguatkan para pendidik dan orang tua, terutama kaum perempuan, yang kerap menjadi garda keluarga, terlebih selama masa pandemi.
Oleh karenanya, saat terpilih sebagai salah satu peserta webinar PJJ dan PTM , sungguh hati saya berbunga-bunga. Namun, awalnya saya sempat agak skeptis juga. Sebab kebanyakan seminar daring yang berlangsung cenderung monoton dan membosankan. Saya sempat gamang, “Akankah webinar ini berakhir menggenaskan?”
Lantas, pucuk di cinta ulam pun tiba. Sepertinya semesta sedang berbaik hati. Entah bagaimana, webinar pendidikan yang diadakan oleh Faber-Castell Indonesia ini justru tampil simpel dan menarik.
Menghadirkan Ibu Saufi Sauniawati dan Bapak Christian sebagai narasumber, webinar yang digelar nyaris 3 jam itu sama sekali tidak menyurutkan minat para peserta. Bahkan di detik-detik akhir kegiatan pun diskusi justru kian membara. Sehingga, Pak Andri Kurniawan, selaku moderator pun tampak ekstra hati-hati mengefisienkan waktu diskusi webinar di tengah gempuran “semangat 45” para peserta.
Akhirnya, kekhawatiran saya pun terbantahkan dan itu merupakan hal yang menyenangkan. Kebahagiaan semakin bertambah mana kala soalan yang saya ajukan menjadi salah satu pertanyaan terpilih untuk direspons oleh para narasumber. Semakin lega hati ini. Mengingat pertanyaan itu sejatinya merupakan keluh kesah para sejawat yang belum mampu saya rumuskan formula jawabannya. Beruntung sekali, sebab pertanyaan tersebut direspons sang pemateri, Bu Saufi.
Isi pertanyaan yang saya ajukan dalam webinar tersebut kira-kira begini, “Dari slide penjelasan yang diberikan, saya menangkap bahwa terdapat transisi yang besar pada peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka di rumah selama era PJJ. Tapi kenapa ya Bu, penambahan beban tersebut justru rerata dirasakan oleh kaum ibu? Lantas sejauh mana peran ayah selama pandemi? Adakah solusi yang bisa diajukan untuk para suami dalam membantu mengurangi double/tripel burdens para istri sehingga sebagai ibu mereka tidak mengalami stres akut saat mendidik anak?”
Sungguh, saat menekan tombol enter setelah menuliskan pertanyaan itu, entah mengapa timbul sedikit sesal. Sebab, saya merasa bahwa problem tersebut seakan sudah menjadi “rahasia umum” dan ujung-ujungnya berakhir dalam pengabaian tanpa solusi. Semacam kondisi yang sudah dianggap lumrah dari sononyo. Namun, hati kecil saya masih berharap bahwa akan ada tawaran opsi yang diberikan oleh Bu Saufi selaku pakar pendidikan.
Beruntung, ternyata Bu Saufi menanggapi dengan serius pertanyaan tersebut. Dengan senyum merekah, sebagai seorang ibu dari tiga orang anak, Bu Saufi menghadirkan jawaban faktual dan solutif dari permasalahan itu.
“Secara psikologis, pemberi kecerdasan itu ada di ayah sebenarnya. Makanya ayah harus ada kontributif ya. Adapun kontribusi paling kecil yang bisa saya sarankan kepada para ayah yang pulangnya sore, tolong ditanyakan begini pada anak, ‘Hari ini sudah belajar apa? Sudah gimana sama mama?’ Dua hal itu saja. Hal seperti itu sudah membuat para istri, ‘Alhamdulillah, akhirnya ada yang nanya,’ gitu.”
Bayangkan, itu baru satu contoh jawaban mencerahkan dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan selama sesi diskusi. Maka tak heran atmosfir diskusi webinar pendidikan yang digelar oleh pihak Faber-Castell dalam rangka syukuran HUT Faber-Castell ke-260 tahun itu terasa berkah dan hidup. So, untuk para pembaca yang ingin informasi lebih lanjut terkait PJJ dan PTM dapat mengakses materi-materi tersebut di SINI.
Niatan Baik
“Paket Belajar Online Faber-Castell ini ide awalnya muncul saat kami menyadari bahwa pemberlakuan PJJ ini ternyata tidak bisa diakses secara maksimal oleh seluruh anak Indonesia,” papar Pak Christian di akhir sesi webinar. Dug… jantung saya seakan ingin loncat mendengarkan pernyataan tersebut. Sebab, butuh empati dan kerendahan hati untuk menyadari problematika mendasar semacam itu.
Menurut keterangan Pak Christian, tidak semua orang tua di Indonesia memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, misalnya untuk membeli laptop, demi mendukung anak-anak mereka memperoleh akses pembelajaran selama PJJ. Jadi paket belajar online dengan harga terjangkau tersebut dimunculkan oleh pihak Faber-Castell sebagai bagian dari dukungan akses PJJ yang merata bagi seluruh siswa di nusantara.
“Jadi, walaupun hanya punya gawai, dengan menggunakan Stylus Faber-Castell, anak-anak bisa tetap fokus mengerjakan soal-soal dengan mudah. Para orang tua pun tidak harus pusing dengan kegiatan ngeprint materi dan soal berulang-ulang. Esensi dari PJJ itu kan paperless,” jelas Pak Christian.
Selain itu, hal menarik lainnya dari paket belajar online ini adalah kesadaran pihak Faber-Castell untuk tidak “mendewa-dewakan” pembelajaran daring semata. Hal itu terbukti dengan tetap dihadirkannya peralatan belajar manual, seperti pensil, pulpen, setip, dan rautan dalam paket belajar tersebut. Ini menjadi poin penting, sebab PJJ maupun PTM terbatas, tetap ada saatnya para siswa memakai peralatan belajar manual tersebut selama pembelajaran.
Kemudian, dalam praktik penjagaan alam dan lingkungan, selain mengurangi penggunaan kertas (paperless), praktik baik lainnya adalah dengan menggunakan produk-produk berkualitas. Walaupun pensil masih harus menggunakan potongan-potongan kayu untuk melapisi inti grafit, pemilihan produk pensil yang tepat tentu membuat penggunaannya lebih awet. Semisal memilih menggunakan pensil Faber-Castell dengan desain yang cukup ramah lingkungan—tanpa penambahan cincin logam, penghapus, dan gagang—serta kekokohan kayu dan kelegaman inti pensilnya menjadikan produk Faber-Castell ini punya kemampuan all in one untuk digunakan dalam segala situasi dan kondisi.
Minimal menurut pengalaman saya pribadi, hal itu benar terjadi. Sekali beli, pensil Faber-Castell bisa digunakan berbulan-bulan hingga bertahun. Sebab saat diraut, inti pensil tidak mudah patah dan ukuran pensilnya amat nyaman digenggam. Jadi pensilnya lebih awet dan kita pun tetap betah menggunakannya dalam kurun waktu yang lama. Jadi, ramah lingkungan itu bukan sekadar menghindari produk plastik sekali pakai, tetapi juga bisa dilakukan dengan penggunaan produk berkualitas yang awet digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Nah, bagi para pembaca yang penasaran dengan beragam produk Faber-Castell lainnya, silakan cek di LINK berikut ini ya.
Informasi lebih lanjut kunjungi juga: www.faber-castell.co.id.
Satu tanggapan untuk “Solusi Faber-Castell dalam Penjagaan Lingkungan di Era PJJ dan PTM Terbatas”
Terima kasih ya informasinya, faber castell ini memang menarik sekali karena dari dulu sudah dipakai dan bisa membantu pekerjaan sehari-hari. Walaupun sudah kerja pakai komputer tetapi menulis tetap untuk kebutuhan penting lain.