Kategori
Perempuan Berdaya

Rina Suryani Oktari: Pakar Kebencanaan dan Kontribusinya untuk Publik

Berada di jalur cincin api (ring of fire), membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang rentan terhadap bencana, tak terkecuali Provinsi Aceh. Oleh karena itu, penelitian-penelitian tentang kebencanaan tak boleh dilakukan setengah hati. Lebih dari itu, hasil-hasil penelitian yang umumnya dilakukan oleh para ilmuwan harus bisa dikomunikasikan kepada masyarakat dengan “bahasa” orang awam. Hal itulah yang coba dilakukan oleh Rina Suryani Oktari. Ia hadir di masyarakat tidak hanya sebagai peneliti, tetapi juga sebagai bagian dari anggota masyarakat sehingga edukasi yang diberikan bisa mencapai sasaran.

Dr. Rina Suryani Oktari S.Kep., M.Si. salah satu peneliti penting di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center atau UPT Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala. Lembaga yang kini menjadi salah satu Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (iptek) Nasional di kampus berjuluk “Jantông Ate atau Jantung Hati Rakyat Aceh itu”. Akrab disapa Okta, saat saat ini dia menjabat sebagai Koordinator Klaster Riset Pendidikan dan Penanggulangan Bencana. Selain disibukkan dengan berbagai aktivitas riset terkait kebencanaan, sehari-hari Okta juga disibukkan dengan mengajar di Fakultas Kedokteran. Ia mengajar sembilan mata kuliah dan lima di antaranya berkaitan dengan kebencanaan.

Kamis, 7 Oktober 2021 lalu, Okta menyambut ramah kedatangan saya di TDMRC yang baru saja pindah ke gedung baru di Kompleks Universitas Syiah Kuala di Darussalam. Sebelumnya masih berkantor di gedung yang ada di kawasan pesisir Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa. “Yuk, kita ke ruangan saya, tapi ini masih kosong, masih pindah-pindah barang dari kantor lama,” katanya.

Hari itu Okta mengenakan seragam TDMRC berupa setelan atasan biru dengan bawahan hitam. Ruangannya ada di sisi kiri lobi. Masih kosong melompong karena belum ada perabotan apa pun selain tiga meja berikut kursinya. Sedangkan di lobi, “napas” lembaga penelitian itu mulai terasa lewat pajangan maket rumah tahan gempa dan sejumlah partisi berlapis poster hasil riset kebencanaan. “Di sinilah sehari-hari saya beraktivitas kalau tidak mengajar,” ujarnya.

“Berawal dari tsunami 2004 silam,” Okta memulai kisahnya ketika kami sudah duduk dengan nyaman, “saat itu saya masih berstatus mahasiswi di Fakultas Keperawatan UI, lalu bencana gempa bumi dan tsunami terjadi di Aceh. Karena saat itu saya aktif di BEM UI, tiga hari setelah bencana itu saya dan sejumlah teman dari UI dikirim ke Aceh sebagai relawan,” lanjutnya.

Kehendak untuk menjadi relawan ke Aceh itu bukan hanya karena terdorong oleh naluri kemanusiaan saja, tetapi karena ayahnya saat peristiwa alam itu terjadi sedang berada di Aceh. Ayah Okta asli Aceh, tetapi karena pekerjaannya sebagai pegawai BUMN di PT Pos Indonesia membuatnya sering pindah-pindah tugas dan terakhir ditempatkan di Jakarta. Ibunya berasal dari Bandung dan juga pegawai BUMN di perusahaan yang sama. Namun, beberapa tahun sebelum tsunami, ayahnya mengambil pensiun dini demi mengurus perkebunan keluarga di Aceh. Okta sendiri lahir di Bandung. Meski saat kelas empat SD hingga kelas tiga SMP bersekolah di Aceh, tetapi kemudian melanjutkan pendidikannya di Jakarta hingga masuk Universitas Indonesia di Fakultas Keperawatan.

“Saat tsunami itu ayah di Aceh, sedangkan ibu, saya, dan saudara yang lain semua di Jakarta. Ini yang menguatkan niat saya untuk ke Aceh, sekalian mencari ayah. Namun, kepergian saya itu tanpa sepengetahuan Ibu, kalau minta izin pasti tidak diizinkan, tetapi saya konsultasi pada kakak-kakak saya dan mereka tahu, saya jadi relawan ke Aceh,” kata perempuan kelahiran Bandung, 12 Oktober 1983 itu.

Tim relawan UI berangkat ke Aceh dengan pesawat Garuda pada pukul tiga dini hari, sehari sebelum pergantian tahun baru. Setibanya di Aceh, mereka langsung melakukan apa pun yang bisa dilakukan di lokasi bencana; mengevakuasi jenazah, membersihkan rumah sakit, mendatangi kamp-kamp pengungsian untuk melakukan apa yang memungkinkan dalam kondisi tanggap darurat. Dua minggu kemudian tugas mereka di Aceh selesai dan kembali ke Jakarta.

Namun, siapa sangka, keputusan yang diambil Okta 17 tahun silam itu telah mengubah haluan hidupnya secara drastis. Selama itu pula ia telah menetap di Aceh dan membangun kariernya sebagai dosen dan peneliti. Ia pun menemukan belahan jiwanya di Aceh.

Okta sering merasa takjub pada perjalanan hidupnya. Dia yang tidak pernah membayangkan bakal menjadi seorang dosen, malah kini berkecimpung di ranah akademik. Lebih-lebih, dia juga tak pernah berpikir bisa menjadi seorang peneliti, khususnya terkait kebencanaan. Namun, gempa dan tsunami Aceh yang menjadi bencana alam terdahsyat abad ini momentum penting bagi Okta.

Bungsu dari tiga bersaudara itu tercatat sebagai mahasiswi tingkat akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia saat gempa dan tsunami memorakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004. Karena terkendala satu mata kuliah umum yakni Kewiraan, Okta yang seharusnya bisa lulus 3,5 tahun jadi molor satu semester. Karena MK Kewiraan tidak dibuka pada semester pendek, terpaksa Okta menunggu semester ganjil berikutnya. Di masa-masa “luang” itu, dia kembali teringat pada Aceh. Waktu dua minggu sebelumnya dirasa terlalu singkat untuk membantu warga yang sedang dilanca bencana. Berdasarkan informasi seorang teman, dia pun melamar sebagai health officer di Islamic Relief, salah satu NGO yang terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pascatsunami. Dengan bekal kemahiran berbahasa Inggris dan ilmu keperawatan—meskipun belum lulus kuliah—Okta diterima di NGO tersebut.

Saat semester ganjil tiba dan Okta kembali mengulang MK Kewiraan, dia yang sering bolak-balik Aceh untuk bekerja jadi terbentur dengan jadwal kehadiran yang tidak memenuhi angka 80 persen sehingga tidak lulus ujian. Teman-temannya mencandai dia dengan terkena “kutukan” MK Kewiraan.

“Nah, saat sedang sedih-sedih itulah saya bertemu dengan ketua Program Studi Keperawatan di FK USK, saat itu Jurusan Keperawatan belum menjadi fakultas seperti sekarang. Akhirnya saya pindah dari UI ke USK sehingga saya lulus sebagai alumnus USK,” ujar pengampu mata kuliah Knowledge Management untuk Pengurangan Risiko Bencana itu.

Setelah bekerja di Islamic Relief, Okta mendapatkan berbagai pelatihan tentang kebencanaan. Aktivitasnya sehari-hari yang bergiat langsung di lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat penyintas bencana, membuat ibu tujuh putra-putri ini semakin bertambah pengetahuannya tentang kebencanaan dan humanitarian response. “Inilah yang menjadi motivasi saya hingga akhirnya bergelut sepenuhnya di kebencanaan, sebelum tsunami buta sekali tentang kebencanaan,” kata Okta yang telah melanglang buana ke empat benua untuk berbagi maupun belajar kebencanaan.

Tahun 2010, Okta bekerja di TDMRC sebagai Knowledge Dissemination Specialist untuk program Disaster Risk for Aceh (DRR-A). TDMRC dibentuk pada 30 Oktober 2006 oleh USK sebagai sumbangsih kampus dalam rekonstruksi Aceh akibat dampak bencana yang sangat dahsyat. Okta lantas dipercayakan untuk menangani berbagai diseminasi hasil riset dan kehumasan.

Di tengah perjalanan, TDMRC menginisiasi lahirnya Program Pascasarjana Kebencanaan. Hal ini memicu semangat Okta untuk melanjutkan program masternya di Ilmu Kebencanaan. Meski terkesan “banting stir” dari S-1, tetapi Okta sudah kadung jatuh cinta pada kebencanaan. Dia merupakan angkatan pertama di PPs Ilmu Kebencanaan USK. Tahun 2014, hanya berselang bulan setelah lulus S-2 pada 2013, Okta mulai meniti karier sebagai dosen di FK USK. Pada tahun itu pula, dia berhasil memperoleh fellowship Pan Asia Risk Reduction (PARR) Program di Universitas Kyoto, Jepang, yang disponsori oleh STAR Inc. Kyoto University.

Pengalaman ini sangat berharga baginya karena bisa langsung belajar dari ahli kebencanaan dunia di Jepang, Rajib Shaw, yang berasal dari India dan telah menetap di Jepang. Setidaknya ada 13 fellowship maupun program serupa lainnya, serta penghargaan yang telah diterimanya terkait kebencanaan. Kehausan Okta terhadap ilmu kebencanaan tidak hanya berhenti di situ, pada 2018 lalu Okta kembali mengambil studi S-3 untuk bidang ilmu Matematika dan Aplikasi Sains (dengan konsentrasi Ilmu Kebencanaan). Bidang ilmu ini terpaksa diambil sebagai alternatif karena di USK belum ada program S-3 kebencanaan. Okta resmi menyandang gelar doktor di depan namanya sejak Mei 2021 lalu. Okta lulus cumlaude dengan IPK 4.00 dan masa kuliah hanya 2,9 bulan.

Pengalaman bekerja di beberapa NGO dan lembaga PBB membuka mata Okta tentang apa yang paling substansial dari sebuah peristiwa bencana. Pascatsunami 2004, dalam kegiatan respons kemanusiaan (humanity respons) di berbagai lokasi pengungsian misalnya, Okta melihat sangat penting melakukan upaya mitigasi bencana.

“Kalau sebelum 2004 itu kita tidak siap. Sifatnya masih responsif. Ini yang mendasari saya menulis skripsi tentang manajemen bencana untuk menyelesaikan S-1, saya meneliti dari perspektif studi keperawatan,” katanya. Untuk tesis S-2 dia memilih topik diseminasi dan komunikasi sistem peringatan dini. Sedangkan S-3, topik penelitiannya terkait dengan Kreasi Pengetahuan dan Ketangguhan Masyarakat.

Momentum kedua yang juga tidak pernah dilupakan Okta ialah saat gempa mengguncang Aceh pada 2012 silam. Berkaca dari pengalamannya sendiri, saat itu Okta yang selama ini menganggap dirinya sudah “melek” bencana, tetapi tetap mengalami kepanikan saat gempa terjadi. Konon lagi masyarakat awam yang memang sangat minim pengetahuannya baik terhadap bencana maupun tentang mitigasi bencana. Ini artinya, berbicara tentang kebencanaan tidak hanya cukup berhenti pada teori-teori atau simulasi-simulasi yang dilakukan sesekali saja.

Kegelisahan Seorang Peneliti Perempuan

Berbagai capacity building yang diikutinya baik di dalam maupun luar negeri, membuat Okta semakin mantap di bidang kebencanaan. Namun, ada satu yang selalu mengusik hatinya.

“Saya melihat di berbagai forum yang saya ikuti masih didominasi laki-laki,” katanya, kondisi ini membuat Okta gelisah. Padahal, saat bencana terjadi, dampaknya sering kali dirasakan lebih besar oleh perempuan.

“Perempuan itu sering dilibatkan, tetapi tidak substantif. Oh, misalnya sudah mencapai kuota 30 persen, tetapi apakah benar-benar perempuan itu dilibatkan? Dalam sumbang saran, urun rembuk, jangan-jangan cuma datang saja, suaranya tidak didengar, seringnya ini terjadi dan ini hasil penelitian saya,” katanya.

Penelitian yang dimaksud ialah Gender Mainstreaming in a Disaster Resillient Village Programme in Aceh Province, Indonesia: Toward Disaster, yang telah terindeks Scopus dan dipublikasikan oleh Elsivier pada 2021. Dari sinilah Okta mulai berpikir penting dan perlunya keterlibatan perempuan, baik peneliti maupun praktisi dalam bidang kebencanaan. Atas dasar itulah, meskipun kini aktivitasnya lebih banyak di kampus dan meneliti, Okta tetap terjun untuk melakukan kerja-kerja di masyarakat. Melanjutkan kerja-kerja terdahulu saat masih di NGO. Ini pula yang membuatnya bergabung dengan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) awal tahun ini dan langsung dipercayakan menjadi sekretaris.

Di lembaga ini para pakar kebencanaan berkumpul, di antaranya Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno M.T., Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta—penerima Sasaka Award dari Yayasan Nippon Jepang. Anggota MPBI bersifat pentahelix sehingga tidak hanya ada akademisi/peneliti saja, tetapi juga ada unsur pemerintah, masyarakat, dan usahawan. Komposisi anggotanya memang lebih inklusif dibandingkan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia yang lebih dulu diikuti oleh Okta. Bagi Okta suatu kehormatan dirinya yang baru beberapa bulan bergabung di MPBI, tetapi sudah dipercayakan menjadi sekretaris.

“Kita tidak mau keberadaan kita (perempuan) hanya sebatas fisik, tetapi substansinya juga harus ada. Alhamdulillah, teman-teman di MPBI ini kritis-kritis. Ini menjadi wadah baru bagi saya untuk menambah pengalaman dan pengetahuan,” katanya.

Tak ingin pintar sendiri, Okta juga mengajak mantan Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Bencana Aceh, Risma Sunarti, dalam MPBI.

“Selama ini kebencanaan sangat Jawasentris, ya, jadi harapannya dengan adanya saya di MPBI, saya ingin ajak pakar-pakar kebencanaan di Aceh untuk bisa terlibat di organisasi itu. Saya melihat organisasi ini unik karena anggotanya dari berbagai elemen.”

Dia ingin, dengan adanya Okta di MPBI, akan membuat orang-orang di luar sana teringat kembali bahwa selama ini Aceh menjadi “laboratorium” bencana bagi banyak orang. Itu seharusnya menjadi acuan untuk melakukan kajian-kajian kebencanaan di berbagai daerah lainnya.

“Sekarang ini sedang ada riset tentang tsunami Selat Sunda, saya bilang kepada mereka di Aceh banyak pembelajaran yang mungkin bisa dipetik untuk daerah lain.”

Terlibat Inisiasi Rancangan Qanun Pendidikan Kebencanaan

Bagi Okta, aktif dalam kegiatan riset merupakan usahanya untuk merawat pengetahuan. Sekaligus evaluasi tentang kondisi kesiapsiagaan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana. Kesiapsiagaan kata Okta, sifatnya dinamis, bisa naik turun seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, bahkan politik.

Berkaca dari tsunami 2004 ujar Okta, berdasarkan hasil recovery assesmen-nya diketahui jika masyarakat Banda Aceh sudah tidak mempertimbangkan lagi bahaya tsunami. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bermunculan tempat tinggal baru di kawasan pesisir yang rawan tsunami. Ini baru hitungan belasan tahun, bagaimana nanti setelah 25 tahun? Pertanyaan ini selalu menggelitik ruang batinnya.

“Jangan-jangan nanti generasi mendatang sudah lupa kalau tsunami besar 2004 pernah terjadi di Aceh, itu akan sangat disayangkan. Makanya, saya sangat serius mengkaji tentang knowledge creation sehingga saat bencana terjadi tindakan yang dilakukan bisa tepat,” kata fasilitator nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana itu.

Pada 2016 lalu, Okta juga termasuk salah satu anggota Satuan Tugas Pemulihan Gempa Pidie Jaya. Di pengujung kerja mereka di kabupaten itu, tim ini merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh untuk melahirkan qanun atau peraturan daerah tentang pendidikan kebencanaan. Sebagai Koordinator Klaster Riset Pendidikan dan Penanggulangan Kebencanaan di TDMRC, Okta tentu saja menjadi juru kunci dalam melahirkan naskah akademik perda tersebut.

Rekomendasi itu bukan sembarang rekomendasi, semuanya berdasarkan hasil temuan di lapangan yang tidak sebentar. Juga berdasarkan hasil-hasil riset yang dilakukan Okta selama ini, intinya, dengan kondisi Aceh yang rawan bencana, sangat diperlukan adanya peraturan daerah tentang pendidikan kebencanaan. Idealnya, perda ini nantinya tidak hanya mengatur pada tata laksana penanganan mitigasi bencana di instansi atau lembaga formal saja, tetapi juga di sektor-sektor informal, seperti perusahaan.

Okta sangat bersemangat sekali dalam menyiapkan draf akademik perda ini. Tim ini juga melibatkan dosen-dosen di luar TDMRC dengan kepakaran berbeda-beda, seperti bidang pendidikan dan hukum. Pada Desember 2020 lalu, rancangan perda ini diparipurnakan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Selanjutnya dibawa ke Kementerian Dalam Negeri untuk dikonsultasikan dengan pemerintah pusat. Namun, betapa kecewanya Okta saat tahu bahwa pihak Kemendagri mengatakan jika perda itu tidak dibutuhkan karena sudah ada Perda tentang Kebencanaan di Aceh. Sementara, menurut penilaian Okta, perda yang sudah ada masih sangat umum, tidak mengatur secara spesifik dan substantif perihal mitigasi dan edukasi bencana.

“Perjalanan penyusunan naskah akademik qanun (perda) ini sangat panjang, tetapi ketika difasilitasi ke Kemendagri malah diminta untuk dihentikan, sedihnya luar biasa,” matanya berkaca-kaca saat mengatakan itu.

Esensi dari perda ini, di antaranya mengatur tentang kepastian upaya pendidikan kebencanaan yang sistematis, berkelanjutan, dan tersruktur. Tidak sporadis seperti yang selama ini berjalan.

“PR untuk pendidikan kebencanaan ini banyak, perlu disiapkan sumber daya manusianya, kurikulum pendidikan, juga bisa diterapkan di sektor formal dan informal. Ini berat, tapi kita harus mulai, tetapi ketika kita sudah memulai dimentahkan lagi, sedihnya luar biasa, enggak tahu harus bilang apa. Padahal, kalau qanun ini disetujui, ini akan menjadi perda pertama di Indonesia dan selanjutnya bisa menjadi contoh bagi daerah lain,” ucap Okta dengan suara bergetar.

Pengalamannya sebagai fasilitator nasional, sering menemukan jika kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah selama ini masih berbasis pada proyek, polanya dari atas ke bawah, bukan karena kebutuhan masyarakat. Bahkan kata Okta, secara vulgar ia pernah menemukan ada anggota pelatihan yang berceletuk, “Inikan untuk habisin anggaran.”

Mendengar ucapan itu jiwa Okta diliputi kesedihan, tantangan dalam mengedukasi masyarakat tentang mitigasi bencana masih sangat besar. Namun, kenyataan bahwa kerja kerasnya dalam menyusun naskah akademik yang menghabiskan waktu bertahun-tahun sejak 2016 ditolak oleh pemerintah pusat, lebih bikin nelangsa. Yang lebih disesalkannya lagi, ternyata ketika proses konsultasi ke Kemendagri itu, dirinya sebagai “kuncen” perancang naskah akademiknya malah tidak dilibatkan. Tahu-tahu mendapat kabar telah ditolak.

Namun, selalu ada jalan menuju Roma. Semangat tak boleh putus. Dia masih bertekad untuk memperjuangkan agar perda ini bisa diterima. “Ini tantangan banget, sekarang yang kita coba, ya tetap harus terus lalukan advokasi bahwa ini penting,” ujar penerima penghargaan Young Scientist – Integrated Research on Disaster Risk International, Bejing, Cina, pada 2019 lalu ini.

Fokusnya ke depan ialah terus melahirkan agen-agen perubahan yang bisa bergerak di masyarakat melalui komunitas Fasilitator Tangguh Bencana (FASTANA) yang dibentuknya pada 2015 untuk mendukung kerja-kerja TDMRC. Komunitas ini lahir sebagai implementasi communicating science yang menjadi jargonnya TDMRC. Melalui para relawan Fastana inilah penelitian-penelitian berbasis sains yang ditelurkan di TDMRC dikomunikasikan ke masyarakat. Uniknya, meski TDMRC notabenenya merupakan lembaga milik USK, tetapi anggota Fastana berasal dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Banda Aceh seperti USK, UIN Ar-Raniry, dan lain-lain.

Komunikatif dan Mengayomi

Dr Rina (tengah depan) bersama Imam (kiri depan) dan kawan-kawan di Bali pada 2019

Okta tidak hanya berkolaborasi dengan kolega sesama dosen saja, dia juga kerap melakukan penelitian dengan mahasiswanya. Adalah Imam Maulana, mahasiswa Okta di Fakultas Kedokteran yang telah merasakan buah manis hasil kolaborasi dengan Okta. Mahasiswa angkatan 2015 itu bisa menyandang gelar sarjana kedokteran tanpa perlu melewati proses Kuliah Kerja Nyata dan tanpa skripsi pula. Semua itu bisa terwujud setelah kerja kerasnya menggodok proposal Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat untuk dipertandingkan dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke-32 di Yogyakarta pada 2018. PKM tersebut berhasil meraih medali emas dan didanai oleh Kemenristekdikti.

Pertengahan 2018, Imam bergabung dengan Fasilitator Tangguh Bencana (FASTANA-TDMRC) memenuhi ajakan temannya, Hafizh Rizky, yang saat itu menjabat sebagai salah satu pengurus FASTANA-TDMRC. Sampai saat itu dia masih belum tahu kalau Okta yang mengampu mata kuliah Kebencanaan di FK adalah pembina organisasi tersebut. Lazimnya anggota baru, Imam pun mendapatkan pembekalan bersama anggota lainnya.

“Saya dapat pembekalan tentang kebencanaan, salah satunya tentang smong,” kata Imam.

Smong adalah rentetan sebuah peristiwa alam yang diawali dengan gempa kuat, disusul surutnya air laut, hingga naiknya air laut ke daratan. Smong merupakan istilah sekaligus kearifan lokal masyarakat Pulau Simeulu berdasarkan pengalaman nenek moyang mereka yang pernah mengalami bencana serupa puluhan tahun sebelumnya. Kerarifan lokal ini diwariskan secara turun-temurun melalui syair-syair kesenian nandong. Efeknya, saat tsunami 2004 silam, sangat minim korban jiwa di pulau itu.

Imam lantas mengangkat topik smong ini saat Kemenristekdikti membuka event bergengsi PKM yang dilombakan di Pimnas 2019. Ia juga mengajak rekannya, yaitu Lilla Raswita (FK 2017), Zahratunnisa (FT 2017), Septia Karlina (FKIP 2016), dan Mohd Hafidzh Almukarram (FT 2016) sebagai anggota tim. Buah pikir Imam lantas dikemas menjadi Paket Edukasi Bencana yang Islami (PECI) & Paket Kesenian Mitigasi Bencana (PASMINA) yang diadaptasi dari nandong smong.

“Setelah ide ada, selanjutnya saya mencari dosen pembimbing dan pilihan saya jatuh pada Bu Okta karena beliau dosen saya di kampus, sejak itulah komunikasi kami menjadi intens, apalagi tidak lama setelah itu terjadi pergantian pengurus FASTANA-TDMRC dan saya dipercayakan menjadi ketua periode berikutnya,” ujar Imam.

Di mata Imam, Okta merupakan sosok yang komunikatif dan mengayomi. Hal ini sangat ia rasakan di masa-masa pematangan proposal sebelum di-submit. Setidaknya, ada tiga hal yang membuat Imam berkesan pada sosok Okta. Pertama, dalam memberikan input, Okta sama sekali tidak membebani mahasiswa, dia lebih banyak mengajak mereka berdiskusi dan berbagi ide, alih-alih mendikte mereka dengan ide-idenya. Kedua, komunikasi yang mudah membuat Okta mendapatkan nilai plus dari Imam dan teman-temannya. Misalnya, meskipun proyek yang sedang mereka garap adalah aktivitas akademik, tetapi Okta bersedia dihubungi kapan saja, tak terkecuali di malam hari. Ini yang membuat Imam dan tim semakin bersemangat dalam menggodok ide-idenya. Sebuah privilege. Terakhir, sistem bimbingan berjenjang yang membuat Imam juga mendapat kepercayaan untuk “membimbing” dua rekannya. Ketika Imam sudah merasa mentok, barulah mereka berdiskusi dengan Okta.

“Hingga akhirnya, ketika proposal akan di-submit, kami duduk bareng, kami review lagi untuk yang terakhir kali, baca sama-sama, pake proyektor juga, sampai ke struktur kalimatnya kami telaah bersama. Kontribusi beliau sebagai pembimbing itu nyata, kami betul-betul dapat pembimbing, bukan pengawas,” ujar alumnus Fatih School Bilingual Banda Aceh itu.

Sembari menunggu pengumuman PKM, Okta juga mengajak Imam dan timnya terlibat dalam proyek-proyek penelitiannya. Bahkan, kata Imam, saking besarnya dukungan Okta kepada mereka, meskipun mereka mahasiswa, tetapi tetap dipercayakan sebagai first author, bahkan Okta rela mengeluarkan kocek pribadi dalam jumlah yang besar untuk memublikasikan penelitian mereka di jurnal ilmiah. Jadi, meskipun Imam saat itu masih mahasiswa, tetapi berkat bimbingan Okta, sudah menghasilkan sejumlah paper.

“Prinsip yang selalu beliau ajarkan ke kami, lakukan dulu, jangan tunggu sempurna, jangan sampai karena ingin sempurna malah tidak melakukan apa-apa.”

April 2019 menjadi bulan yang sangat berarti bagi Imam dan timnya. Pasalnya, proposal yang di-submit pada Desember 2018 diumumkan di bulan ini dan ternyata hasilnya sesuai harapan. PKM tersebut didanai oleh Kemenristekdikti. Ide ini lantas dilombakan di Pimnas ke-32 yang berlangsung di Universitas Udayana Bali. Tim Imam berhasil memecahkan rekor dan mempersembahkan medali emas untuk USK. Selama 32 tahun acara bergengsi itu dihelat, Imamlah yang pertama kali mempersembahkan medali emas tersebut. Dua prestasi ini yang membuat Imam bebas KKN dan bebas skripsi untuk pendidikan S-1.

Berkat prestasi ini Imam mendapatkan penghargaan dari Plt Gubernur sebagai salah satu dari 10 Pemuda Aceh Berprestasi 2019. Selain itu juga mengantarkan Okta mendapatkan penghargaan sebagai Dosen Pendamping PKM-M pada Pimnas ke-32 2019 dari Kemenristekdikti.

“Bagi saya pribadi, prestasi itu menjadi ‘penutup’ yang manis bagi saya dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran,” ujar pemuda angkatan 2015 itu.

Sebenarnya, kata Imam, dia tergolong mahasiswa “angkatan tua”. Untuk angkatan dia idealnya lulus 3,5 tahun dan sudah selesai masa studi pada tahun 2019. Namun, karena Imam telat satu semester, dia tidak ingin masanya di kampus berakhir sia-sia, apalagi Imam juga aktif di organisasi. “Saya tidak ingin orang menilai saya terlambat selesai karena dikira aktif di organisasi, ketika akhir di kampus ditutup dengan bagus, itu akan mengubah imej orang,” katanya.

Bagi Imam sendiri, keberhasilannya di PKM ini bisa dibilang menakjubkan. Ia baru tahu jika event tersebut merupakan ajang bergengsi karena memperlombakan banyak cabang. Namun, yang lebih membuatnya terkejut ialah ternyata ada juga ajang pengabdian yang dilombakan. Pasalnya, ketika masih SMA, Imam tergolong siswa yang senang ikut berbagai olimpiade, tetapi begitu dia menjadi mahasiswa aktivitasnya berbalik arah dan lebih banyak bergiat di sosial. Ini pula yang menjadi alasannya aktif di berbagai organisasi kampus, salah satunya FASTANA di bawah naungan TDMRC.

Namun, yang lebih membuatnya bahagia ialah prestasi yang ia raih akan memberi dampak bagi mahasiswa lain nantinya. Mahasiswa lain yang ingin lulus tanpa KKN dan skripsi bisa mengikuti jejak yang telah dilakukan Imam. Dia pada akhirnya juga menjadi “buah bibir” di kalangan dokter yang bertugas di RSUZA.

Lahirnya Rakan Smong

Pelatihan Kesiapsiagaan di MAS Darul Hikmah dalam acara Disaster Resillience Festival 2021

Imam sudah lulus sebagai sarjana kedokteran dan sedang menjalani program co-ass di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh. Dia pun tak lagi bergiat di FASTANA-TDMRC karena sudah menjadi alumni. Namun, berkat interaksi dan bimbingan Okta selama ini, membuat Imam menduplikasikan ilmu-ilmu tentang kebencanaan yang diperolehnya selama di FASTANA-TDMRC.

Kini Imam dipercayakan menjadi Direktur Eksekutif Generasi Aneuk Nanggroe Aceh atau GEN-A.  Di organisasi ini dia membentuk Rakan Smong sebagai divisi khusus untuk menjalankan berbagai kegiatan terkait sosialisasi kebencanaan.

Baru-baru ini, Rakan Smong GEN-A bersama empat komunitas pemuda lainnya baru saja menyelenggarakan pelatihan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dan tsunami untuk siswa SMA/sederajat di tiga sekolah di Banda Aceh dan Aceh Besar dalam acara Disaster Resillience Festival 2021.

“Kegiatan ini melibatkan empat puluh peserta di empat sekolah itu,” kata Imam, “pelatihan ini akan berlangsung setiap Sabtu selama Oktober—November sebagai bagian dari peringatan bulan Pengurangan Risiko Bencana pada bulan Oktober,” katanya.

Ketiga sekolah tersebut, yaitu MAS Darul Hikmah Aceh Besar, SMA 1 Banda Aceh, dan SMA 13 Banda Aceh. Sekolah ini dipilih beberapa faktor, di antaranya pertimbangan tingkat kerentanan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.

“Ketiga sekolah ini juga berada di zona merah tsunami dan memiliki riwayat terdampak gempa bumi,” ujarnya.

Okta memang masih gundah gulana karena draf perda pendidikan kebencanaan yang dirancangnya hingga saat ini masih belum jelas nasibnya. Namun, kejerian itu seolah seperti mendapatkan pelipur saat dia teringat pada kader-kader muda seperti Imam yang bisa menjadi estafet berikutnya. Ia selalu meyakini investasi yang selalu mendatangkan keuntungan dan kebaikan adalah berinvestasi pada ilmu pengetahuan dan manusia.[]

Satu tanggapan untuk “Rina Suryani Oktari: Pakar Kebencanaan dan Kontribusinya untuk Publik”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *