Kategori
Perempuan Berdaya

Cut Murnita; Sepenuh Hati Memberdayakan Disabilitas Psikososial

“Relawan itu sederhana, yang selalu berjuang dalam kebaikan. Jika kebaikan adalah penawar sedihnya, maka keikhlasan adalah pencapaian hidupnya.”

Cut Murnita, perempuan kelahiran Aceh Timur, 39 tahun silam ini lebih senang menyebut dirinya sebagai relawan lepas. Dengan begitu, Cut bisa melakukan banyak hal khususnya di bidang lingkungan dan pendampingan sosial. Jiwa relawan yang melekat pada Cut tidak usah diragukan lagi karena tidak perlu disuruh, kala hatinya sudah tersentuh. Bagi Cut apa yang ia lakukan itu adalah sebuah tabungan amal selama hidup di bumi. 

Perempuan yang akrab disapa dengan nama Putroe Julok (Putri Julok)—merujuk pada kampung halamannyaoleh teman-temannya ini, pernah menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Ranting Dewantara Aceh Utara pada tahun 2003. Kemudian di akhir tahun 2005, Cut bergabung di PMI Banda Aceh sebagai tim asesmen, distribusi, dan evakuasi. Lalu di 2006, Cut bergabung di tim ambulans PMI Aceh sampai 2013.  

Tidak hanya menjadi relawan PMI, Cut juga menjadi bagian tim Reaksi Cepat Tanggap (RCT) Aceh Utara selama 2003—2004. Kemudian pada Februari 2005, ia bergabung menjadi relawan Dompet Dhuafa untuk memberi bantuan korban tsunami Aceh. Khususnya menjadi pendidik di sekolah Ceria Dompet Dhuafa.

“Di sini kita membantu pemulihan psikis anak-anak yang trauma akibat dampak tsunami. Kita ajak mereka bermain dan belajar bersama. Selama tujuh bulan lamanya saya tinggal di pengungsian menjadi relawan. Kita tidak digaji, hanya diberi uang jatah makan setiap hari. Namun, pengalaman itu menjadi bagitu berharga bagi saya. Itulah yang bisa saya lakukan di situasi sulit masa itu,” ujar Cut saat diwawancarai pada Minggu, 26 September 2021.

Definisi relawan menurut Cut tidak terbatas pada si laki-laki atau perempuan, si jarak yang jauh atau dekat, dan si pintar atau tidak. “Relawan itu sederhana yang selalu berjuang dalam kebaikan. Jika kebaikan adalah penawar sedihnya, maka keikhlasan adalah pencapaian hidupnya. Bahagia pun juga sederhana, hanya senyum dari langit, bumi, dan seisinya,” ungkap perempuan yang hobi memancing dan bersepeda ini. Maka dari itu, setiap kegiatan baik yang menurutnya bisa dilakukan, ia siap menjadi relawan tanpa berharap bayaran.

Cut pernah terlibat dalam aksi penanaman 13 ribu pohon yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya. Kegiatan ini digagas oleh Museum Tsunami Aceh dalam rangka memperingati 13 tahun tsunami Aceh pada tahun 2017. Cut yang ditunjuk sebagai koordinator lapangan saat itu, mengayomi 800 relawan yang turut terlibat dalam aksi penanaman pohon tersebut. Di sinilah ia menemukan teman-teman yang sevisi dengannya hingga terbentuklah perkumpulan relawan tanpa nama.

“Setelah kegiatan penanaman pohon yang digagas oleh Museum Tsunami itu, kami relawan ini tetap terhubung dan saling berkomunikasi. Jadi bila ada ide dari salah satu relawan, kita langsung gerak. Walau tidak ada yang mensponsori, kami tetap jalan, bahkan tak jarang menggunakan duit pribadi untuk membeli bibit.”

Cut mengaku bahwa kegiatan yang dilakukannya bersama teman-temannya itu, hanya sekadar bersenang-senang sambil beramal untuk masa depan. Jadi, setiap orang akan membawa satu pohon yang akan ditanam ke lokasi-lokasi yang mereka tentukan. Harapan mereka, pohon-pohon itu nantinya bisa tumbuh besar dan menjadi sumber udara bersih bagi kehidupan yang akan datang. Kegiatan ini mereka namai dengan ­clean up day.

Ide penanaman pohon ini mereka lakukan secara swadaya tanpa ada embel-embel di belakangnya. “Bila kita tidak mampu bersedekah dengan uang, maka bersedekahlah dengan pikiran, tenaga, dan menanam pohon. Paling tidak itu bisa menjadi tabungan amal kita di masa depan.” Pesan itu Cut dapat dari salah seorang teman relawannya yang kala itu membantu dirinya membawa bibit untuk ditanam di salah satu lokasi penanaman pohon.

“Waktu itu saya beri uang 50 ribu ke dia untuk isi bensin motornya. Namun, relawan yang bernama Reza ini menolaknya dengan halus dan menyampaikan kalimat tersebut kepada saya. Satu bulan setelah itu, dia pun meninggal dunia. Kalimatnya itu benar-benar mejadi pelajaran dan tertanam dalam ingatan saya. Jadi, setiap kali saya diminta untuk melakukan sesuatu secara sukarela, saya iyakan saja, selama itu berhubungan dengan lingkungan dan sosial, kenapa tidak?” ungkap Cut mengenang salah satu teman relawannya.

Pendamping Orang dengan Disabilitas Psikososial

Pada tahun 2018, Cut mulai bekerja di Forum Bangun Aceh (FBA) menjalankan program Aceh Comprehensive Community Mental Health (ACCMH) sebagai staf lapangan untuk pendampingan orang dengan disabilitas psikososial (ODDP). Di sini ia ditugaskan mendampingi tujuh ODDP di wilayah Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Selama pendampingan itu, Cut mengajarkan mereka berbagai keterampilan seperti menjahit, membuat kerajinan berupa tas, dompet, dan totebag kepada orang dampingannya. Khususnya ODDP yang sudah mandiri dan bisa diajarkan kreativitas. Salah satunya ialah Darma, warga Gampong Lam Alu Cut yang menjadi dampingan Cut Murnita.

Darma mengalami gangguan jiwa setelah tamat dari pesantren setingkat SMP. Ia pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh tahun 2017. Setelah sembuh, beberapa bulan kemudian Darma kambuh lagi dan dimasukkan kembali ke RSJ sampai tiga kali bolak balik. Hingga akhirnya di tahun 2019 Cut mulai mendampingi Darma. Selain itu, ada Bu Fatimah dan beberapa ODDP lainnya yang didampingi oleh Cut.

“Pendampingan ini sifatnya bukan memaksa karena kalau kita paksakan apa maunya kita terhadap mereka, tidak akan berhasil. Kita yang harus mengikuti alurnya mereka. Analisa dulu kebutuhan mereka, cari kemampuan positif yang bisa diberdayakan. Berikan pemahaman tentang kondisi mereka yang membuatnya menerima keadaan dan kenyataan. Sebab, ada ODDP yang tidak menerima bahwa mereka mengalami gangguan jiwa. Apalagi stigma yang melekat pada masyarakat menjadi penghambat untuk mendapatkan pengobatan. Di sinilah peran kami untuk memberi pemahaman dan dukungan kepada lingkungan sosial ODDP,” jelas Cut.

Persoalan kesehatan jiwa merupakan masalah yang krusial. Sebab, bila tidak mendapatkan penanganan yang tepat, mereka yang mengalami gangguan tersebut bisa kembali rileps dan kambuh walau telah mendapatkan pengobatan dan perawatan. Tak jarang mereka yang sudah pernah dirawat di RSJ seperti Darma, kembali kambuh sakitnya ketika berada di tengah keluarga. Oleh karena itulah dibutuhkan pendampingan sosial, ekonomi, dan religi agar mereka tetap berada di koridor sehat jiwa.

Inilah tugas Cut, yaitu mendamping para ODDP agar mereka tetap sehat jiwa dan bisa produktif dalam kehidupanya. Setiap hari Cut yang tinggal di Darussalam, Banda Aceh harus pergi ke rumah-rumah ODDP untuk memantau perkembangan mereka. Kemudian menganalis apa yang menjadi kebutuhan mereka untuk dibantu dan diajarkan keterampilan sesuai dengan kemampuan ODDP. Di antaranya ada yang mampu menjahit seperti Darma akan dilatih kembali keahlian tersebut untuk mengisi kegiatan mereka. Bagi yang mempunyai keahlian berkebun akan diberikan modal usaha berupa bibit untuk bercocok tanam.

Selain itu, para ODDP ini juga diberikan motivasi dan terapi religi dengan mendatangkan psikiater dan ustaz atau ustazah. Mereka juga dilibatkan dalam kegiatan sosial dan kelompok dengan membuat pertemuan di Balai Rehabilitasi Kesehatan Jiwa yang ada di Puskesmas Kuta Baro. Keluarga dari ODDP juga dilibatkan dalam pengasuhan dengan memberikan pemahaman tentang kesehatan jiwa. Berharap mereka bisa mendampingi dan membantu pemulihan anggota keluarganya yang mengalami masalah kejiwaan.

Resign untuk Membangun Baluem Tanyoe

Dua tahun bekerja di FBA, Cut memutuskan untuk resign dari lembaga ini. Bukan berarti ia juga berhenti dari aktivitasnya, justru ia semakin terhubung dengan orang-orang yang didampinginya dengan membangun wadah yang diberi nama Baluem Tanyoe. Nama yang diambil dari bahasa Aceh ini mempunyai arti ‘tempat kita’ merupakan wadah yang dijadikan sebagai tempat penampung dari hasil kerajinan dan produk yang dihasilkan oleh ODDP dan keluarganya. Melalui Baluem Tanyoe, Cut kemudian memasarkan produk mereka hingga mendatangkan penghasilan untuk membantu perekonomian mereka.

Cut tidak sungkan memasarkan produk ODDP dampingannya ke teman-teman. Bahkan dia siap menjadi agen distributor untuk mereka. Seperti hasil kebun sayur Bu Fatimah, ia bantu menjualkannya di pasar, bahkan hasil dari penjualan sayur tersebut dapat membantu Bu Fatimah merenovasi rumahnya. Dan yang terpenting ialah gangguan jiwa yang dialami Bu Fatimah tidak pernah kambuh lagi. Padahal sebelumnya ia harus bolak balik ke RSJ untuk mendapatkan perawatan.

Siti yang merupakan adik ODDP Darma juga merasakan manfaat dari pendampingan ini. Ia dulu yang hanya berperan sebagai pendamping Darma saat ada kegiatan yang dibuat oleh Cut dan Puskesmas Kuta Baro, kini telah menjadi kader jiwa. Cut lah yang mengusulkan agar kader jiwa diambil dari keluarga ODDP. Tidak hanya itu, Siti juga dibekali dengan pemahaman tentang kesehatan jiwa dan berbagai keterampilan, seperti menjahit, pemasaran, kepemimpinan, media sosial, dan sebagainya.

Kegiatan pelatihan menjahit tas dan dompet untuk ODDP dan keluarganya

Siti juga sering dilibatkan dalam berbagai macam pelatihan, baik yang diadakan di puskesmas, FBA, dinas kesehatan, instansi pemerintahan, dan komunitas. Cut berharap Siti menjadi agen perubahan di gampongnya yang nantinya bisa membantu orang-orang di sekitarnya dan menjadi pengurus Baluem Tanyoe. Di kampungnya, Siti orang yang pertama turun tangan apabila ada masalah pada ODDP. Misalnya menfasilitasi mereka untuk mendapat obat atau menghubungi petugas puskesmas apabila ada ODDP yang kambuh. Selain itu, ia dan Darma juga dilibatkan dalam membuat pesanan tas dan totebag jika Cut mendapat orderan dari pelanggan.

“Baru pertama belajar menjahit langsung mendapat orderan dari Kak Cut. Rasanya senang sekali bisa menghasilkan uang dari usaha sendiri. Alhamdulillah cukup membantu perekonomian kami. Saya sangat bersyukur dengan kehadiran Kak Cut, bisa membantu keluarga kami. Dan saya pun juga punya kegiatan produktif yang menghasilkan uang sekarang,” ujar Siti saat dijumpai di rumahnya, pada Minggu 26 September 2021.

Begitu pula dengan Darma yang tidak pernah lagi kambuh. Selain menerima orderan pesanan dompet dan totebag, ia juga menjadi sebagai pengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Hanya saja aktivitas Darma harus diimbangi dengan kondisi fisiknya. Jika Darma tidak sanggup mengerjakan pesanan, Sitilah yang mengambil alih tugasnya.

“Itu sebabnya untuk pendampingan ODDP ini harus dibarengi dengan pendampingan keluarga. Saya pun bila ada pesanan dari orang, tidak melimpahkan semuanya ke Darma. Namun, menanyakan lagi berapa kesanggupan dia,” sambung Cut.

Dan yang terpenting dalam pendampingan ini, Darma sudah mengenal kondisi tubuhnya dan menyadari bahwa dirinya mengalami masalah kejiwaan. Ia pun juga selalu rutin meminum obat, berbeda dengan dulu yang tidak mau meminum obat sama sekali.

“Jadi, semua obat jiwa itu saya hafal namanya kecuali yang enggak ada nama. Sekarang dosis obat untuk saya sudah dikurangi, cuma sebelah-sebelah aja minumnya. Paling ketika saya tidak bisa tidur, saya akan minta diresepkan obat kepada perawat di Pusekesmas,” sambut Darma ketika kami membicarakan tentang dirinya.

Keluarga Darma dan Bu Fatimah adalah contoh kecil yang mendapatkan manfaat dari pendampingan ODDP yang dilakukan Cut. Dengan adanya wadah Baluem Tanyoeini Cut ingin menyasar lebih luas para ODDP dampingannya. Saat ini dia hanya fokus pada ODDP yang ada di Gampong Lam Alu Cut, Kuta Baro, Aceh Besar. Sebab menurut Cut, warga di kampung ini mempunyai risiko tinggi untuk masalah gangguan jiwa karena terdapat hubungan genetik yang menjadi faktor pemicu gangguan jiwa. Selain itu sumber penghasilan dari warga setempat hanya berpatokan pada hasil pertanian saja dan taraf perekonomiannya berada pada menengah ke bawah. Selain menadampingi kehidupan ODDP, Cut membantu perekonomian mereka dengan membuat kerajinan tangan dan memasarkannya melalui Baluem Tanyoe.

Siti dan Darma (ODDP)

“Jika Baluemini besar nantinya, semua ODDP yang pernah saya dampingi akan ikut terlibat, entah itu sebagai tim pemasaran, produksi, atau distributor dari produk Baluem. Sehingga mereka tidak hanya terbantu dari segi ekonomi saja, tapi juga membantu mereka untuk tetap berkegiatan. Sebab, punya uang saja tidak menjamin mereka akan sehat, tapi pengakuan dan keterlibatan mereka di masyarakat juga penting. Dengan begitu mereka merasa dihargai keberadaan mereka.”

Memasuki dua tahun berdirinya Baluem Tanyoe, Cut fokus pada produk kerajinan yang dihasilkan Baluem. Dalam membuat produk ia tidak hanya melibatkan ODDP saja, tapi juga warga lainnya yang mau terlibat dalan pembuatan produk kerajinan. Ia juga tidak enggan berbagi ilmu mengajarkan cara membuat dompet atau tas kepada orang lain. Menurutnya semakin banyak orang yang diajarkannya, maka ketersediaan sumber daya pun semakin banyak. Jadi, bila ada permintaan produk dalam jumlah besar, Cut sudah mempunyai orang-orang yang membuat produk tersebut. Di sela-sela itu, ia terus menyosialisasikan tentang isu kesehatan jiwa kepada teman, kerabat, dan masyarakat yang ditemuinya di berbagai kesempatan.

Begitulah Cut, ketika ia sudah terjun untuk mendampingi masyarakat ia akan sepenuh hati membantu sampai berhasil. Hal itu diakui oleh Dian Agustin, selaku Koordinator Proyek Program Aceh Comprehensive Community Mental Health (ACCMH) yang merupakan atasan Cut saat bekerja di FBA.

“Bisa dibilang, Kak Cut adalah relawan sejati. Dia begitu menjiwai pekerjaannya, bahkan melebihi tugas pokok dari yang ditentukan. Sampai saya bilang, ‘Kak bekerja itu jangan semua berdasarkan empati, kakak juga harus mikirin diri sendiri.’ Ya, tetap saja dia mentingin mereka bahkan ketika dia tidak berkerja di FBA pun masih terhubung dengan ODDP dampingannya,” ujar Dian saat ditemui pada Jumat, 15 Oktober 2021.

Dian yang pernah bekerja sebagai atasan Cut begitu dimudahkan saat bertemu ODDP. Pembawaan Cut yang ramah membuatnya diterima di semua kalangan. Bahkan untuk persoalan negosiasi baik itu dengan ODDP, masyarakat, bahkan pejabat pemerintahan, mudah saja baginya.

“Kak Cut tahu saja celahnya di mana. Jejaringnya banyak sehingga tidak kesulitan untuk menemui siapa saja saat menjalani program dan kegiatan yang kami lakukan. Misalnya mau menemui camat atau dinas-dinas terkait lainnya. Dia sudah tahu bapak ini tipikal yang bisa diajak ngopi untuk diskusi, ini harus di kantor dan sabagainya. Tidak semua orang mempunyai kemampuan seperti itu. Jadi, mudah saja bagi Kak Cut untuk melakukan itu, mungkin karena pengalaman kerjanya sebagai relawan sudah banyak sebelumnya,” tambah Dian.

Dian juga mengatakan bahwa Cut bukan tipikal orang cari nama, tidak perlu namanya disebut. Padahal orang dapat link atau ide dari dia, tapi nama orang lain yang muncul. Ia tidak mempermasalahkan hal itu. Hanya saja dia bukan tipikal orang yang bisa didikte. Kalau menurutnya tidak sesuai dengan prinsip dasarnya, dia lebih baik keluar dari lingkaran tersebut. Oleh sebab itu, Cut lebih memilih menjadi relawan lepas dibanding harus terikat dengan sebuah lembaga atau instansi. Namun, selama jasanya dibutuhkan untuk urusan kemanusiaan, ia siap pasang badan menjadi seorang relawan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *