Kategori
Investigasi Literasi Kesehatan

Patgulipat Data Peserta Jaminan Kesehatan Aceh

AWAL Maret 2022 lalu masyarakat Aceh tiba-tiba terusik dengan kabar bahwa Pemerintah Aceh akan menghentikan pembayaran premi kesehatan bagi 2,2 juta jiwa rakyat Aceh per 1 April 2022. Seketika publik menjadi riuh. Pemerintah meminta bagi masyarakat yang merasa dirinya mampu dan selama ini memegang kartu Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) agar beralih ke JKN Mandiri.

Belakangan kebijakan ini memang tidak jadi diberlakukan. Eksekutif dan legislatif bersepakat JKRA tetap harus berlanjut. Masyarakat pun menjadi lega.

Namun, bukan berarti persoalannya selesai sampai di sini. Yang menjadi persoalan ialah, dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan tentang penyelenggaraan JKRA maupun Peraturan Pemerintah Aceh tentang Pedoman Pelaksanaan JKRA sebagaimana pernah diterbitkan BPK RI Perwakilan Aceh, belum menjelaskan secara rinci tentang kriteria valid peserta JKRA.

Persoalan validasi data JKRA inilah yang kemudian menjadi sorotan elemen sipil dan diduga bisa menjadi celah penyalahgunaan anggaran jika tak segera dibenahi.

Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Aceh bahkan pernah menemukan adanya pemborosan APBA Rp83 miliar lebih akibat tidak validnya data peserta JKRA yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

***

Nurul A’la menunjukkan kartu BPJS Kesehatan putranya yang sudah tidak aktif. Foto: Ihan Nurdin.

NURUL A’la kaget bukan kepalang saat membawa putranya berobat ke Puskesmas Idi Rayek, Aceh Timur, pada 27 September 2022 lalu. Pasalnya, kartu BPJS atas nama sang buah hati, Muhammad Ilham (15 bulan), dinyatakan sudah tidak aktif. Perempuan berusia 34 tahun itu sempat kebingungan, tapi ia bersyukur karena hari itu putranya tetap diizinkan berobat. “Tapi kalau berobat ke depan kartu BPJS-nya harus sudah diaktifkan lagi,” ujar Nurul A’la saat ditemui di rumahnya, Jumat, 30 September 2022.

Perihal tidak aktifnya kartu BPJS atas nama Ilham baru diketahui A’la pada 27 September ketika membawa buah hatinya ke posyandu di desanya, Gampong Bantayan Timu, Kecamatan Idi Rayek, Kabupaten Aceh Timur. Setelah mengukur dan menimbang berat badan Ilham, petugas posyandu mengatakan Ilham mengalami gizi buruk. Beratnya 7,5 kilogram. Namun, Ilham tampak lincah dan responsif.

Petugas posyandu meminta A’la segera membawa anaknya ke Puskesmas Idi Rayek untuk mendapatkan penanganan dari dokter anak. “Saat itulah saya tahu kalau kartu BPJS anak saya sudah tidak aktif,” katanya.

Berdasarkan keterangan petugas puskesmas kepada A’la, kartu BPJS Ilham dinonaktifkan karena keluarga itu mereka mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT). Pihak puskesmas meminta A’la untuk mengurus surat keterangan menerima BLT dari Dinas Sosial dan membawanya ke Kantor BPJS sebagai syarat mengaktifkan kembali kartu BPJS Muhammad Ilham. A’la pun curiga jangan-jangan kartu BPJS dirinya dan suami juga sudah nonaktif. Namun, ia tidak bisa mengeceknya karena meskipun memiliki ponsel pintar berbasis android, dia mengaku gaptek.

A’la mengaku BLT yang selama ini ia terima bersumber dari dana desa di gampongnya. Dalam sebulan keluarganya mendapatkan tunjangan sosial Rp300 ribu yang diberikan tiga bulan sekali dan baru diterima tiga kali.

“Suami saya melaut, saya hanya ibu rumah tangga, untuk tempat tinggal pun kami masih menumpang di rumah kakak ipar,” kata A’la menjelaskan kondisinya, “BPJS itu sangat berarti bagi kami.”

Dua hari setelah mengetahui kartu BPJS putranya tidak aktif, A’la masih belum mendatangi Dinas Sosial atau ke Kantor BPJS Kesehatan. Selain jarak dari rumah ke puskesmas yang jauh, dia juga tidak bisa mengendarai sepeda motor. Sementara suaminya, Ibrahim, sedang pergi melaut ke Banda Aceh, lebih dari 350 km jaraknya dari kampung halaman. Ibrahim pulang melaut sebulan sekali.

Setali tiga uang dengan A’la, warga Idi Rayek lainnya, Mariana, punya pengalaman yang lebih mengejutkan. Saat berobat ke Puskesmas Idi Rayek pada Juni lalu, kartu BPJS-nya tiba-tiba sudah tidak aktif. Mariana dinyatakan meninggal dunia. Begitulah keterangan yang keluar di sistem BPJS Kesehatan. Ia merasa kesal sekaligus lucu, “Pasalnya saya baru berobat sehari sebelumnya,” ujar perempuan 50 tahun itu yang sehari-hari bekerja sebagai petugas kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Aceh Timur.

Warga Gampong Tanoh Anoe, Kecamatan Idi Rayek itu diminta segera ke Kantor BPJS untuk mengaktifkan kembali kartunya. Jaraknya yang tidak begitu jauh dari puskesmas membuat Mariana bergegas mengayuh sepedanya menuju ke Kantor BPJS Kesehatan di Gampong Titi Baro yang berselang dua desa dari Puskesmas Idi Rayek.

Dek! Nyoe ureung meuninggai ka udep lom.” Yang meninggal sudah hidup lagi. Katanya pada satpam di Kantor BPJS Kesehatan untuk melampiaskan kedongkolannya. Setelah petugas BPJS mengecek kartunya, NIK Mariana dinyatakan sama dengan NIK atas nama orang lain. Karena itulah BPJS menonaktifkan kartunya dengan keterangan meninggal dunia. Mariana pun diminta membuat surat keterangan masih hidup dari kepala desa sebagai syarat untuk mengaktifkan kartu BPJS-nya. “Tapi kartu BPJS saya yang lama ditarik dan saya hanya diberikan nomor baru di secarik kertas,” ujar perempuan lima anak itu.

Mariana memang tidak menunda-nunda untuk mengaktifkan kembali kartu BPJS-nya. Di usianya yang memasuki separuh abad, kondisi fisiknya mulai sering sakit-sakitan. Ia menjadi pasien langganan di puskesmas. Jika mengandalkan penghasilan dirinya yang sebagai petugas kebersihan, belum tentu ia sanggup berobat rutin. Mariana mengingat-ingat kembali, Maret lalu dirinya memang sempat dirawat di rumah sakit karena sakit jantung, “Tetapi kan saya keluar rumah sakit dengan kondisi sehat,” ujarnya.

***

Demo tolak penghapusan JKRA pada Maret 2022. Foto: Fitri Juliana/KJI.

Sejak Juni 2010 Pemerintah Aceh memberikan jaminan kesehatan berupa universal health coverage bagi dua jutaan jiwa rakyat Aceh. Layanan kesehatan yang dikemas dalam Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu menggandeng perusahaan pelat merah PT Askes (Persero) sebagai pelaksananya sebelum perusahaan itu bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014. Setiap tahunnya Pemerintah Aceh menganggarkan sejumlah dana untuk membayar premi kepada BPJS Kesehatan.

Perjalanan masyarakat Aceh untuk mendapatkan layanan kesehatan “cuma-cuma” dari pemerintah bukanlah peristiwa bim salabim. Ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang lahir sebagai buah manis perjanjian damai antara RI—GAM setelah puluhan tahun Aceh dihumbalang konflik bersenjata.

Dalam pasal 224 UUPA disebutkan bahwa masyarakat Aceh harus mendapatkan akses yang sama terhadap layanan kesehatan dan jaminan sosial. Maka, di awal-awal hadirnya program JKA, siapa pun warga yang ber-KTP Aceh bisa berobat secara gratis di berbagai fasilitas kesehatan. Tak heran jika program ini dicemburui masyarakat Indonesia di luar Aceh.

Belakangan nama program ini berubah menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA) setelah pergantian gubernur. Anggaran dari program kesehatan ini bersumber dari dana otonomi khusus yang diterima Aceh sebagai kompensasi perdamaian.

Alokasi anggaran oleh Pemerintah Aceh untuk program JKRA dari tahun ke tahun terus membengkak. Tahun 2015 misalnya, anggaran yang dialokasikan hanya Rp406 miliar, naik menjadi Rp506 miliar pada 2016. Angka ini membengkak drastis selama tiga tahun terakhir, dari Rp932,406 miliar pada 2020 naik menjadi Rp1,047 triliun pada 2021 dan menjadi Rp1,2 triliun pada tahun 2022. Membengkaknya angka ini, selain karena jumlah kepesertaan yang semula 1.750.327 jiwa saat pertama kali diberlakukan pada 2010, kini meningkat menjadi 2.185.243 juta jiwa setelah satu dasawarsa lebih.

Di samping itu, lahirnya Perpres Nomor 75 Tahun 2019 membuat jumlah premi golongan III yang dibayarkan Pemerintah Aceh meningkat hampir dua kali lipat dari kesepakatan semula Rp19.225 per jiwa, naik menjadi Rp23 ribu per jiwa sebagai penyesuaian dari lahirnya Perpres Nomor 19 Tahun 2016 dan kini menjadi Rp42 ribu per orang setelah lahirnya Perpres 2019.

Di sisi lain, menjadi pemegang kartu BPJS Kesehatan tak lantas sepenuhnya bisa mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Pengalaman tak mengenakkan dialami Sustarina, seorang ibu muda yang ber-KTP Aceh selatan dan berdomisili di Kota Banda Aceh. Maret 2022 lalu, ibu satu anak ini harus menjalani prosedur kuret (dilatasi dan kuretase [D&C]) di sebuah rumah sakit ibu dan anak di Banda Aceh untuk membersihkan rahimnya karena keguguran pada kehamilan kedua.

Sebagai pemegang kartu BPJS Kesehatan kelas III, perempuan 30 tahun itu berobat sesuai prosedur yang berlaku. Sustarina dan suami awalnya mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama di tingkat kecamatan untuk mendapat rujukan berobat ke fasilitas kesehatan tingkat dua. Di faskes tingkat dua inilah prosedur operasi akan dilakukan. Saat di rumah sakit, selain dipungut bayaran untuk swab antigen sebesar Rp100 ribu, ia juga dibebankan untuk membeli laminaria sebesar Rp246 ribu yang akan digunakan untuk memperbesar serviks sebelum tindakan operasi dilakukan.

Namun, bukan angka Rp346 ribu itu yang membuat Sustarina dan suami kelimpungan setengah mati, melainkan biaya operasi yang harganya mencapai Rp6 juta rupiah. Petugas di rumah sakit mengatakan, dari angka itu, BPJS Kesehatan hanya menanggung setengahnya yakni Rp3 juta. Selebihnya Sustarina harus mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Sustarina mengaku tiga juta merupakan angka yang besar bagi ia dan suami yang sedang berdikari di ibu kota provinsi. Pasangan ini pun menelepon ke sana kemari untuk mencari utangan. Apalagi suaminya saat itu sedang dalam posisi dirumahkan karena belum ada kejelasan perpanjangan kontrak dari tempat kerjanya. “Jadi saat itu memang tidak ada pemasukan sama sekali, tapi akhirnya kami mendapatkan juga uang Rp3 juta itu setelah telepon sana-sini,” katanya.

Setelah operasi selesai, Sustarina pun lega. Sesaat ia lupa ada utang tiga juta yang mesti dibayar. Namun, kelegaan itu berubah menjadi kejengkelan dan tanda tanya besar manakala petugas rumah sakit mengarahkan mereka untuk membayar uang Rp3 juta itu langsung ke dokter spesialis kandungan yang mengoperasi Sustarina. Bukan ke bagian administrasi atau keuangan sebagaimana lazimnya di rumah-rumah sakit atau klinik. “Uang itu dibayarkan oleh suami secara tunai kepada dokter tersebut tanpa bukti pembayaran,” kata Sustarina.

Suaminya sempat meminta bukti pembayaran semacam kuitansi atau sejenisnya pada sang dokter dengan dalih agar bisa di-reimburse di kantornya, tetapi dokter tersebut mengatakan tidak ada kuitansi yang bisa dia berikan. Mereka pun tak memperpanjang urusan. Sustarina sempat terpikir untuk menuliskan pengalamannya demi mengobati kegalauannya, tetapi urung dilakukan mengingat dirinya masih harus melakukan kontrol ulang pada dokter tersebut pascaoperasi. Belakangan ia menjadi semakin kesal setelah seorang temannya yang bekerja sebagai tenaga kesehatan mengatakan bahwa dia “dikerjai” karena memang biaya kuret ditanggung oleh BPJS Kesehatan. “Tak ada istilah BPJS Kesehatan itu menanggung setengah-setengah,” kata Sustarina menirukan ucapan temannya.

Sementara itu, pihak manajemen rumah sakit yang dikonfirmasi awak media terkait pungutan ini mengatakan bahwa pasien kuret ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan, bahkan pasien rawatan di rumah sakit dan pasien operasi juga ditanggung sepenuhnya. Kecuali, kata petugas tersebut, jika ada permintaan khusus dari pasien yang meminta resep obat paten dari dokter supaya pemulihannya lebih cepat, maka biaya untuk pembelian obat tersebut tidak ditanggung BPJS Kesehatan yang hanya menanggung obat generik.

“Semua tindakan sejauh ini ditanggung oleh BPJS,” katanya saat dikonfirmasi Rabu sore, 12 Oktober 2022. Ia juga membenarkan jika pihak rumah sakit memungut biaya untuk swab Covid-19 karena rumah sakit tersebut tidak mendapat dukungan dana dari instansi terkait untuk tanggungan swab pasien.

“Tetapi kalau terkait itu, manajemen nggak tahu. Ini jujur, manajemen nggak tahu kalau ada pemungutan biaya di luar itu. Kalau dari rumah sakit full ditanggung BPJS,” katanya.

Awak media juga berusaha mengonfirmasi dokter yang bersangkutan dan mengirimkan pertanyaan secara tertulis berdasarkan permintaanya. Namun, pesan yang dikirim tidak dibaca lagi.

***

Keluarga pasien di RSUZA. Foto: Fitri Juliana/KJI

Hadirnya Program JKRA tak bisa dinafikan manfaatnya oleh rakyat Aceh, terutama mereka yang berasal dari ekonomi lemah. Karena itu, ketika awal Maret 2022 lalu mencuat kabar penghapusan premi JKRA oleh Pemerintah Aceh untuk efisiensi anggaran, muncul penolakan yang sangat deras.

Elemen masyarakat sipil meminta agar program JKRA dievaluasi dan perlu dipastikan agar kepesertaannya tervalidasi by name by adress dan tidak ada tumpang tindih kepesertaan dengan program perlindungan lainnya yang bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan, BPJS Tenaga Kerja, TNI/Polri, mandiri, maupun Asuransi Kesehatan Sosial, dan sumber-sumber pendanaan lainnya. Salah satunya dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) sebagaimana disampaikan oleh Koordinator MaTA, Alfian, yang menilai program JKRA rawan terjadinya penyalahgunaan anggaran maupun maladministrasi jika data kepesertaanya tidak valid.

Kekhawatiran yang disampaikan Alfian bukanlah tanpa alasan. Berdasarkan analisis dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2016 yang dipublikasikan pada 9 Juni 2017 oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Aceh dengan nomor: 13.C/LHP/XVIII.BAC/06/2017, BPK menemukan adanya pemborosan keuangan daerah atas pembayaran premi peserta Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh minimal sebesar Rp63.488.418.000. Angka ini muncul dari adanya pembayaran premi oleh Pemerintah Aceh kepada BPJS Kesehatan atas 460.061 jiwa dengan status data nomor induk kependudukan (NIK) tidak valid selama enam bulan dengan nilai premi Rp23.000 per jiwa.

Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa sebelum pembayaran premi dilakukan, Pemerintah Aceh dan BPJS Kesehatan pada 2016 telah melakukan tiga kali pertemuan untuk rekonsialiasi atau pencocokan jumlah peserta dan besaran iuran JKRA antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan. Rekonsiliasi tahap I berlangsung pada 25 April 2016 di Hotel The Pade yang bertujuan untuk merekonsiliasi data peserta awal periode Januari—Juni 2016 dan peserta tambahan periode Desember 2015—Maret 2016 dan menghitung preminya.

Rekonsiliasi tahap II berlangsung pada 4 Agustus 2016 di Kantor Dinas Kesehatan Aceh yang bertujuan merekonsiliasi data peserta awal periode Juli—September 2016 dan peserta tambahan periode April—Juni 2016 dan menghitung preminya. Sedangkan rekonsiliasi tahap III berlangsung pada 16 November 2016 di kantor Dinas Kesehatan Aceh untuk merekonsiliasi data peserta awal periode Oktober—Desember 2016 dan data peserta tambahan periode Juli—September 2016.

Rekonsiliasi bermula dengan BPJS Kesehatan yang memberikan master file peserta JKRA untuk diolah atau divalidasi oleh Tim Pengolah Data/Rekonsiliasi Peserta JKRA Tahun 2016 yang hasilnya akan dipaparkan dalam pertemuan rekonsiliasi. Namun, BPK justru menemukan bahwa data peserta JKRA sebanyak 2.066.979 yang tertera dalam perjanjian kerja sama belum tervalidasi hingga ditandatanganinya kontrak kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan. Jumlah peserta JKRA dalam master file tersebut merupakan “bawaan” sejak masa peralihan Program JKRA pada Januari 2014. Pemerintah Aceh justru menyetujui kewajiban membayar iuran kepada BPJS Kesehatan atas 2.066.979 peserta meskipun jumlah riilnya belum divalidasi.

Sementara itu, SK Tim Pengolah Data/Rekonsiliasi Peserta JKRA Tahun 2016 baru ditetapkan pada pertengahan 2016 melalui SK Gubernur Aceh Nomor 446/566/2016 tanggal 27 Juni 2016 yang berlaku surut sejak 1 Januari 2016. Tim ini terdiri atas anggota yang berasal dari Dinas Registrasi Kependudukan Aceh, Dinas Kesehatan Aceh, dan Dinas Sosial Aceh. Dari 2.066.979 peserta yang diberikan BPJS Kesehatan pada 2016, Dinas Kesehatan hanya memvalidasi 634.369 jiwa dan menemukan adanya sejumlah kesemrawutan administrasi peserta JKRA, yaitu NIK tidak jelas (324.690), tanpa alamat dan alamat tidak jelas (29.742), tanpa alamat (15.981), tanpa NIK (263.854), dan tanpa NIK dan alamat (102). Data ini selanjutnya diberikan kepada Dinas Registrasi dan Kependudukan Aceh (DRKA) untuk divalidasi lagi dan hasilnya ada data yang ditemukan pada data base DRKA sebanyak 189.419 jiwa yang terdiri atas NIK tidak jelas (77.984), tanpa alamat dan alamat tidak jelas (21.155), tanpa alamat (14.389), tanpa NIK (75.849), dan tanpa NIK dan alamat (42). Dengan demikian, data yang tidak bisa ditemukan dalam data base DRKA sebanyak 444.950 yang terdiri atas NIK tidak jelas (246.706), tanpa alamat dan alamat tidak jelas (8.587), tanpa alamat (1.592), tanpa NIK (188.005), dan tanpa NIK dan alamat (60).

“Sisanya sebanyak 1.432.610 (2.066.979 jiwa dikurangi 444.950 jiwa) tidak pernah diberikan oleh Dinas Kesehatan sehingga tidak bisa divalidasi,” bunyi penjelasan BPK dalam laporan tersebut.

Dalam Rekonsiliasi tahap I pada 25 April 2016, Pemerintah Aceh dan BPJS Kesehatan telah sepakat bahwa data peserta JKRA yang bermasalah sebanyak 604.525 jiwa dan mestinya ditindaklanjuti dengan membentuk Tim Telusur gabungan yang anggotanya berasal dari Pemerintah Aceh dan BPJS Kesehatan. Namun, Tim Telusur ini ternyata tidak pernah dibentuk. Meski telah disepakati adanya data yang bermasalah, tetapi jumlah peserta JKRA dalam perjanjian kerja sama tidak berubah. Amandemen kontrak juga tidak dilakukan. Premi untuk periode Januari—Juni 2016 dibayarkan penuh untuk 2.066.979 jiwa dengan nilai Rp23.000 per jiwa.

Pada rekonsiliasi tahap II di bulan Juni, Pemerintah Aceh dan BPJS Kesehatan kembali bersepakat bahwa dari 604.525 data peserta JKRA yang bermasalah, terdapat 460.061 peserta yang NIK-nya tidak valid akan dinonaktifkan per 1 Juli 2016. Dengan demikian, seharusnya peserta JKRA yang tersisa 1.606.918 jiwa. Namun, ke-460.061 peserta itu pun telah dibayarkan preminya selama enam bulan sehingga menyebabkan pemborosan anggaran daerah hingga 63.488.418.000. Penonaktifan baru dilakukan pada 20—21 Juni 2016. Akan tetapi, hingga 31 Desember 2016, Pemerintah Aceh juga tidak melakukan validasi terhadap 1.606.918 jiwa peserta BPJS yang berdasarkan pemeriksaan lanjutan BPK terdapat peserta dengan NIK ganda, NIK tidak lengkap, dan NIK tidak jelas. Bukan hanya itu, data peserta tambahan JKRA untuk periode Desember 2015 hingga Juni 2016 juga tidak divalidasi sebanyak 191.582 jiwa.

Catatan BPK, pemborosan ini terjadi karena beberapa hal, yaitu Tim Rekonsiliasi Data Peserta JKRA belum optimal dalam melakukan rekonsiliasi data peserta JKRA; perjanjian kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS tentang penyelenggaraan JKRA maupun Peraturan Gubernur Aceh tentang Pedoman Pelaksanaan JKRA belum merincikan tentang tata cara rekonsiliasi data peserta JKRA, kriteria valid tentang peserta JKRA, dan kompensasi atas kesalahan perhitungan jumlah peserta maupun premi pada pembayaran premi tahap berikutnya.

Laporan BPK tahun 2016 itu kata Alfian, menjadi acuan bagi MaTA untuk mendorong Pemerintah Aceh agar berani mengevaluasi data peserta BPJS Kesehatan yang preminya ditanggung oleh APBA. Artinya, kata Alfian, audit anggaran sangat penting dilakukan sehingga tidak ada masyarakat yang menjadi korban kebijakan para oknum dalam pelayanan kesehatan, seperti halnya yang dialami oleh Sustarina.

“Menjadi tidak sebanding ketika misalnya premi asuransi BPJS Kesehatan tiap tahun terus naik, tetapi di sisi lain fakta di lapangan yang kita temukan terjadinya pelayanan yang buruk dan juga terjadinya pungli,” kata Alfian, Senin malam (10/10/2022).

Ketika ada pasien yang memegang kartu BPJS Kesehatan kata Alfian, maka tidak dapat dipungut biaya apa pun, baik itu untuk kelas I, kelas 2, lebih-lebih bagi kelas 3 yang jelas-jelas telah disubsidi sepenuhnya oleh pemerintah, khususnya yang dari Pemerintah Aceh.

Alfian juga menyoroti penonaktifan kartu BPJS karena menerima BLT yang menurutnya tidak ada relevansinya. BLT diberikan pemerintah terkait dengan ketahanan pangan dan bantuan yang diterima warga menghadapi pandemi Covid-19, sedangkan BPJS Kesehatan merupakan pelayanan kesehatan yang disubsidi oleh Pemerintah Aceh.

“Maka, apabila ini fakta yang terjadi di lapangan, bukan hanya soal diskriminasi saja, tapi juga bagian dari pelayanan terburuk dalam konteks pelayanan kesehatan,” katanya.

Ia juga mendesak Pemerintah Aceh untuk memvalidasi data peserta JKA yang berasal dari master file sebagaimana hasil laporan BPK tahun 2016 yang diduga belum tervalidasi seluruhnya sampai saat ini.

“Karena ketika data belum beres, potensi kecurangan ini sangat tersistematis dan potensi kecurangan juga sangat terbuka. Makanya, perlu sekali dilakukan audit terhadap data, salah satunya untuk mencegah potensi-potensi kecurangan dan pungli termasuk persoalan penonaktifan kartu BPJS dengan alasan telah diberikan BLT,” katanya.

***

Polemik JKRA pada Maret 2022 lalu membuat bola salju terkait validasi data peserta JKRA yang belum clear kembali menggelinding ke permukaan. Pasca “ribut-ribut” itu, BPJS Kesehatan akhirnya memberikan data peserta Program JKRA yang telah diminta Komisi V DPR Aceh sejak tahun 2020. Tak hanya itu, berdasarkan keterangan Ketua Komisi V DPR Aceh, Fahlevi Kirani, DPR Aceh yang sebelumnya tak pernah dilibatkan dalam proses kerja sama JKRA antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan juga telah dilibatkan.

“Sudah kita terima (datanya) dan sudah rekonsiliasi data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK) dengan program JKRA,” kata Fahlevi Kirani saat dimintai keterangan terkait persoalan ini, Senin, 10 Oktober 2022.

Ke depan katanya diperkirakan ada penghematan anggaran hampir Rp400 miliar dengan bertambahnya PBI JK dari yang semulai 1.200.000 penerima menjadi 2.700.000 penerima. Saat ini pihaknya sedang menunggu data dari Kemendagri pada November nanti untuk sinkronisasi data. Dengan bertambahnya PBI JK yang dibiayai oleh APBN melalui Kementerian Sosial maka otomatis kepesertaan JKRA yang dibiayai Pemerintah Aceh menjadi berkurang sehingga APBA bisa dihemat.

“Jadi secara otomatis berdasarkan evaluasi yang kita lakukan, terjadi penghematan anggaran mulai tahun ini hingga tahun depan, kami prediksikan hampir Rp900 miliar,” katanya lagi.

Fahlevi meminta pemerintah kabupaten/kota segera mengunggah data PBI JK ke BPJS Kesehatan agar bantuan dari pemerintah pusat tidak sia-sia. Dengan begitu, APBA yang selama ini diplotkan untuk JKRA bisa dialihkan untuk pembangunan lain. Sementara itu, Komisi V tetap memantau kinerja BPJS Kesehatan sehingga jika ada temuan-temuan bisa segera ditindaklanjuti kepada yang berwenang.

Perihal tidak akuratnya nama-nama pemegang kartu BPJS Kesehatan juga pernah ditemukan kasusnya oleh  Ombudsman RI Perwakilan Aceh pada 2017 lalu di Aceh Barat.

“Bahkan saat itu kami menemukan di pelosok-pelosok banyak kartu BPJS yang sudah enggak valid atau bodong,” kata anggota Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Ayu Parmawati Putri, saat menerima kunjungan tim media dan CSO di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, 31 Agustus 2022 lalu.

Temuan itu kata Ayu merupakan tindak lanjut Ombudsman atas laporan warga yang ditolak berobat ke RSUD Cut Nyak Dhien karena status kepesertaan BPJS Kesehatannya sudah tidak aktif dan dinyatakan meninggal dunia. Dampak dari temuan itu, kepala BPJS Cabang Meulaboh saat itu dimutasi.

Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, dalam pertemuan yang sama mengatakan Ombudsman memiliki wewenang di ranah administrasi, bukan penindakan hukum. Kerja-kerja Ombudsman mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jadi, kata Dian, yang terkait dengan pelayanan BPJS Kesehatan jika itu dalam bentuk maladministrasi seperti keberpihakan, diskriminasi, penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, tidak patut, tidak kompeten, tidak memberikan pelayanan, atau adanya permintaan pungli dapat dilaporkan ke Ombudsman secara pribadi.

Sementara itu, salah seorang staf Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh yang dikonfirmasi awak media mengaku tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan, meskipun ia memberikan informasi bahwa persoalan data ini telah clear sejak April 2022 lalu. Namun, berdasarkan siaran pers yang pernah dirilis oleh BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh pada 24 Maret 2022 sebagaimana dikutip dari harianrakyataceh.com, Deputi BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh, dr. Mariamah, M.Kes, mengatakan bahwa data yang diminta DPR Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh tidak langsung diberikan karena saat itu pihaknya sedang menyelesaikan isu kebocoran data dalam proses penyelidikan pihak terkait pada akhir Mei hingga Desember 2021.

Adapun soal data kepesertaan JKRA, pihaknya malah selalu mendapatkan data peserta awal JKRA dari Pemerintah Aceh dan selalu memutakhirkannya. Rekonsiliasi data dilakukan lima kali dalam setahun sesuai tahap pembayaran yang melibatkan Dinas Registrasi Kependudukan Aceh (DRKA), Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Sosial Aceh, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh. Dari hasil validasi oleh DRKA inilah BPJS Kesehatan akan menonaktifkan kepesertaan JKRA jika ditemukan adanya NIK dengan status meninggal atau pindah ke luar Aceh.

Setiap tiga bulan sekali BPJS Kesehatan juga memberikan laporan tertulis kepada Pemerintah Aceh terkait program JKRA yang memuat informasi rekapitulasi data peserta, jumlah fasilitas kesehatan, jumlah pemanfaatan pelayanan, jumlah iuran yang diterima, jumlah biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan, data penyakit katastropik, data pelayanan kesehatan di luar Provinsi Aceh dan lain-lain.

Publik tentu berharap segala sesuatunya berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku, karena jika mengacu pada hasil Laporan BPK tahun 2016, meskipun sudah ada kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan validasi data melalui rekonsiliasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan. Jangan sampai ini kembali terulang.

Sementara itu, salah seorang staf Bidang SDM Umum dan Komunikasi Publik BPJS Kesehatan Cabang Banda Aceh yang dikonfirmasi awak media mengaku tidak memiliki wewenang untuk menjelaskan, meskipun ia memberikan informasi bahwa persoalan data ini telah clear sejak April 2022 lalu. Namun, berdasarkan siaran pers yang pernah dirilis oleh BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh pada 24 Maret 2022 sebagaimana dikutip dari harianrakyataceh.com, Deputi BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh, dr. Mariamah, M.Kes, mengatakan bahwa data yang diminta DPR Aceh melalui Dinas Kesehatan Aceh tidak langsung diberikan karena saat itu pihaknya sedang menyelesaikan isu kebocoran data dalam proses penyelidikan pihak terkait pada akhir Mei hingga Desember 2021.

Adapun soal data kepesertaan JKRA, pihaknya malah selalu mendapatkan data peserta awal JKRA dari Pemerintah Aceh dan selalu memutakhirkannya. Rekonsiliasi data dilakukan lima kali dalam setahun sesuai tahap pembayaran yang melibatkan Dinas Registrasi Kependudukan Aceh (DRKA), Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Sosial Aceh, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Aceh. Dari hasil validasi oleh DRKA inilah BPJS Kesehatan akan menonaktifkan kepesertaan JKRA jika ditemukan adanya NIK dengan status meninggal atau pindah ke luar Aceh.

Setiap tiga bulan sekali BPJS Kesehatan juga memberikan laporan tertulis kepada Pemerintah Aceh terkait program JKRA yang memuat informasi rekapitulasi data peserta, jumlah fasilitas kesehatan, jumlah pemanfaatan pelayanan, jumlah iuran yang diterima, jumlah biaya pelayanan kesehatan yang dibayarkan, data penyakit katastropik, data pelayanan kesehatan di luar Provinsi Aceh dan lain-lain.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr. Hanif, membantah jika pihaknya tidak melibatkan DPR Aceh dalam pengganggaran JKRA. “Penganggaran JKA selalu dengan persetujuan DPRA,” katanya saat menjawab konfirmasi awak media pada Selasa malam, Selasa, 11 Oktober 2022.

Ia juga mengatakan jika Pemerintah Aceh memiliki data by name by adress peserta JKRA yang ditetapkan melalui SK Gubernur dan posisi terakhir setelah pra rekonsiliasi berjumlah sekitar 1,7 juta jiwa. Setelah adanya peraturan pemerintah tentang pelaksanaan JKN, maka kepesertaan JKRA mengikuti peraturan tersebut dan Pemerintah Aceh tinggal membayarkan premi JKN yang dikelola BPJS Kesehatan.

“Pemutakhiran data dilakukan setiap bulan dengan melakukan rekonsiliasi kepesertaan antara Pemerintah Aceh yang terdiri atas Dinkes, DRKA, Dinsos, Bappeda, Inspektorat, dan Biro Isra dengan BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Meski demikian, dalam pelaksanaannya kata Hanif juga terdapat kendala pada program rujuk balik karena sering tidak tersedianya obat yang diresepkan oleh dokter spesialis pada level puskesmas.

Publik tentu berharap segala sesuatunya berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku, karena jika mengacu pada hasil Laporan BPK tahun 2016, meskipun sudah ada kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan validasi data melalui rekonsiliasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan. Jangan sampai ini kembali terulang.[]

Laporan Ihan Nurdin, Andra Maisyuri, Irfan Habibi, Raudhah, dan Muhammad Saifullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *