Kategori
Feature Hak Asasi Manusia Mitigasi Bencana

Cita-Cita Ayu Menjadi Dokter Terenggut oleh Perubahan Iklim

AYU MAGHFIRAH tak pernah menyangka cita-citanya untuk menjadi dokter kandas begitu saja. Alih-alih kuliah di fakultas kedokteran, ia bahkan tak pernah merasakan bagaimana serunya mengenakan seragam putih abu-abu dengan menyandang status sebagai siswa sekolah menengah atas. Masa-masa yang oleh Chrisye dalam bait-bait “Kisah Kasih di Sekolah” disebut sebagai tiada masa paling indah (kecuali-red) masa-masa di sekolah.

“Saya mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah karena pada saat itu abang saya juga sedang sekolah di SMA. Orang tua tidak sanggup membiayai,” kata Ayu, “harusnya tahun ini saya sudah tamat SMA,” katanya lagi saat mengobrol di rumahnya, Rabu petang, 6 September 2023.

Ayu adalah putri sulung pasangan Zubaidah dan Rafifuddin. Ia punya dua adik: Fitria yang masih duduk di bangku SMP dan Zulfikar yang baru berusia tiga tahun. Sebelum menikahi Zubaidah, Rafifuddin punya dua anak dari pernikahan sebelumnya, salah satunya Fajar, yang hanya berselisih usia beberapa tahun dengan Ayu. Usai SMA, Fajar pun tak bisa mengenyam kuliah.

Sebagai anak, Ayu tak ingin menambah beban ayah dan ibunya. Sebagai kakak, ia juga merasa bertanggung jawab terhadap kedua adiknya. Itu sebabnya, ketika lulus SMP pada tahun 2020—di tengah pandemi Covid-19—Ayu tak punya pilihan selain berhenti sekolah dan bekerja.

Ayu bukanlah anak yang berasal dari keluarga berpunya. Hal itu terlihat jelas dari profesi orang tuanya. Juga dari rupa rumahnya di Gampong Pasie Beutong, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Material rumahnya terbuat dari kayu beratapkan seng yang tampak seperti material bekas pakai. Rumah itu mungil, hanya ada satu kamar tidur dan ruang tamu kecil yang dilapisi coran semen kasar. Kamar mandinya di luar. Di ruang tamu itulah, beralaskan selembar tikar plastik, kami duduk dan mengobrol.

Tak ada perabotan apa pun selain sebuah lemari es dan televisi berukuran kecil di rumahnya. Tanah tempat rumah itu berdiri pun bukan milik sendiri. Namun, letak rumah yang berada di ujung kampung dan berbatasan langsung dengan areal persawahan di kaki bukit adalah bonus, membuat suasananya sangat indah dan nyaman. Di pagi hari, Ayu sering terbangun karena kicauan burung-burung.

Rafifuddin bekerja sebagai pemecah batu gunung. Namun, pada Mei 2023, ia telah meninggal dunia karena sakit yang sudah lama dideritanya. Keluarga Ayu pun menjadi pincang. Beban Ayu sebagai anak sulung kian bertambah. Ia menjadi tumpuan harapan adik-adiknya. Adapun Zubaidah, bekerja sebagai petani yang menggarap sawah orang lain. Ada dua petak sawah yang ia garap yang luasnya masing-masing 2.500 dan 1.500 meter persegi.

Dari hasil garapan tersebut, setidaknya keluarga ini tidak perlu membeli beras untuk makan sehari-hari. Namun, menggarap sawah pun kini tak mudah. “Karena sawah kami adalah sawah tadah hujan. Hasilnya tak pernah mencapai nisab untuk membayar zakat,” kata Zubaidah. Yang artinya, hasil panen tidak sesuai harapan.

Sebagai sawah tadah hujan, Zubaidah hanya bisa menggarap sawahnya setahun sekali. Barangkali akan lain ceritanya jika ada saluran irigasi. Sungai atau sumber mata air pun tidak ada di sekitar sawah yang ia garap. Satu-satunya sumber air yang bisa diharapkan adalah hujan dari langit. Namun, hujan pun sekarang tak bisa diprediksi lagi. Bulan-bulan berakhiran –ber tak bisa lagi jadi acuan musim penghujan. “Memang lebih sering tidak ada air,” kata Zubaidah.

Biasanya, Zubaidah mulai membajak sawahnya begitu memasuki September, bulan berikutnya mulai menanam. Di awal tahun, mereka sudah bisa menyantap hidangan dengan beras baru dari hasil panen. “Tapi sampai sekarang kondisi sawahnya masih kering kerontang,” kata perempuan berusia 40-an tahun itu.

Tanpa air yang cukup, sawah yang dikelola Zubaidah benar-benar tak bisa ditanami. Palawija pun tak bisa ditanam karena tanahnya jenis liat. Dengan kondisi seperti itu, mustahil kebutuhan keluarga mereka tercukupi jika hanya mengandalkan dari bersawah. Untuk makan saja susah, konon lagi untuk membiayai sekolah Ayu di SMA. Penghasilan Rafifuddin sebagai pemecah batu pun tak cukup untuk sepenuhnya menopang ekonomi keluarga.

Sebagai orang tua, Zubaidah dan almarhum Rafifuddin menguat-nguatkan hati ketika meminta agar Ayu berbesar hati untuk berhenti sekolah. Ia pun terpaksa menguatkan hati ketika Ayu harus bekerja pontang-panting demi meringankan beban ayah ibunya.

Putus sekolah bukan berarti kesempatan Ayu untuk berleha-leha. Justru itulah awal bagi dirinya untuk menjadi manusia “dewasa”. Ya, keadaan membuat Ayu dewasa sebelum waktunya.

“Saya pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga, pernah juga di swalayan. Sekarang saya bekerja di kafe yang menjual menu-menu Jepang. Saya menjadi koki, biasanya saya memasak ramen,” kata Ayu dengan bibir mengembang.

Dibandingkan dua pekerjaan sebelumnya, Ayu mengakui bekerja sebagai koki lebih lumayan penghasilannya. Namun, jam kerjanya pun “lumayan” juga. Dia mulai bekerja pukul sepuluh pagi dan pulang pukul sepuluh malam. Ia juga jadi punya keterampilan memasak Japanesse food. Kafe tempatnya bekerja ada di Kota Banda Aceh. Sekitar 30 menit berkendara roda dua dari rumahnya di pinggiran kota. Terkadang Ayu ikut juga mengupah di sawah orang lain. Biarpun begitu, Ayu bahagia karena bisa membantu ibunya. “Setiap gajian uangnya selalu saya berikan kepada Ibu.” Ada nada bangga pada suaranya.

Namun, satu hal yang barangkali tak diketahui Ayu, jika iklim tak berubah, orang tuanya mungkin bisa bersawah dengan tenang. Hasil panennya bagus. Ia tak harus kehilangan haknya untuk bersekolah. Ayu bahkan tak tahu perubahan iklim telah merenggut masa kanak-kanaknya. Yang ia tahu, orang tuanya miskin. Dan ia putus sekolah karena kemiskinan itu.

“Hm … enggak tahu, mungkin ada dijelaskan di sekolah, tetapi saya lupa,” jawab Ayu ragu-ragu saat ditanyai apakah dia pernah mendengar atau memahami istilah perubahan iklim.

Dampak dari cuaca yang semakin ekstrem tak hanya berdampak pada Ayu. Fathia dan Aijaz, dua bersaudara yang masing-masing duduk di bangku SMP dan SD sering mengeluhkan suhu udara yang belakangan terasa semakin panas.

“Si bungsu Aijaz paling sering mengeluh tidak bisa konsentrasi belajar di sekolah karena kelasnya panas,” kata ibunda Fathia dan Aijaz, Dian Guci, Senin, 4 September 2023.

Letak sekolah Aijaz yang hanya sekitar dua kilometer dari pantai di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh, seolah menghantarkan hawa panas tak berkesudahan. Apalagi ketika matahari berada di puncak kepala, hawa udara pesisir seolah mendidihkan ubun-ubun. Bahkan ketika di rumah pun, Aijaz lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Ia tidak nyaman bermain-main di pekarangan karena terik yang menggigit.

Belasan tahun lalu kata Dian, suasana di sekitar rumahnya masih sangat menyenangkan. Meskipun berada di wilayah kota madya, tetapi rumah-rumah penduduk belum padat. Pepohonan masih banyak. Di sekitarnya juga masih banyak rawa. Sekarang, nyaris tak ada lagi lahan kosong di areal tersebut. Pohon-pohon berganti dengan bangunan-bangunan permanen. Imbasnya sangat terasa bagi anak-anaknya. Mereka tak lagi leluasa bermain di luar rumah. Saat duduk di beranda rumah, pandangannya bertabrakan dengan dinding-dinding rumah warga.

“Kalaupun ada angin terasa kering, sama sekali tidak sejuk,” kata Dian lagi.

Sementara Fathia, yang mulai tahun ini sudah masuk sekolah berasrama di salah satu SMP terpadu di Banda Aceh, juga mengeluhkan hal yang sama. Kamar asramanya sangat panas dan membuatnya jadi susah tidur karena gerah. Sementara sebagai pelajar di sekolah berasrama, Fathia harus sudah bangun sebelum subuh untuk berbagai persiapan. “Karena kurang tidur, efeknya jadi mengantuk di kelas,” kata Dian mengenai keluhan putrinya.

Keluhan yang sama juga kerap dirasakan santri-santri di Dayah Baitul Arqam di Sibreh, Aceh Besar. Salah satunya Biyya, santri kelas satu sanawiah yang baru-baru ini terpaksa libur hampir sepekan karena batuk kering dan asmanya kumat.

Padahal, Baitul Arqam letaknya di perkampungan yang jauh dari kawasan pantai. Masih banyak pepohonan di sekitarnya. Namun, hawanya juga tak jauh berbeda dengan di kawasan perkotaan yang dekat pesisir dan padat penduduk. Tak hanya Biyya, ada juga santri yang mengalami demam atau sariawan karena dehidrasi.

“Karena panas dan kurang minum, tubuh jadi dehidrasi, akhirnya jatuh sakit. Kalau sudah begitu, mereka istirahat dulu dua atau tiga hari. Kalau setelah tiga hari belum berkurang juga demamnya, baru dijemput oleh orang tua atau wali santri,” kata Syarifah Aini, salah satu pengasuh santri di Baitul Arqam.

Bagi santri yang rumahnya di luar Banda Aceh atau Aceh Besar, pihak pesantrenlah yang membawa mereka ke puskesmas terdekat.

Saat tidur pun, para santri lebih suka tidur di lantai ketimbang di kasur. Meskipun di setiap kamar ada kipas angin, tetapi tak banyak membantu. Tak jarang, ada juga santri yang mandi di malam hari untuk mengurangi rasa panas.

“Kasihan anak-anak, mereka seharusnya bisa tidur dengan nyaman dan cukup karena mereka juga perlu berkonsentrasi untuk belajar, tetapi suhu akhir-akhir ini memang terasa sangat panas. Kadang-kadang ada yang ke ruang kelas pun membawa kipas angin portabel,” kata Aini.

Perubahan Iklim dan Rantai Berbagai Problema

Ayu dan ibunya, Zubaidah. @Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Apa yang terjadi pada Ayu barangkali dianggap sebagai situasi biasa saja. Toh, tak hanya Ayu, ada banyak anak di Aceh yang mengalami putus sekolah karena berbagai faktor. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada tahun ajaran 2020/2021 setidaknya ada 1.849 anak di Aceh yang putus sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Dengan angka masing-masing 853 anak; 448 anak; 290 anak; dan 258 anak (Katadata.co.id). Nama Ayu Maghfirah bisa jadi salah satu yang termasuk dalam pendataan itu.

Namun, yang barangkali belum banyak diketahui atau tidak disadari, anak-anak seperti Ayu putus sekolah karena perubahan iklim. Lebih tepatnya, oleh kemiskinan yang dipicu oleh efek perubahan iklim.

“Ya, karena persoalan perubahan iklim ini bisa merembet ke mana-mana dampaknya, bisa ke sosial-ekonomi, bisa juga ke masalah kesehatan, bahkan bisa memicu problem sosial lain, seperti rebutan air untuk kebutuhan pertanian,” kata Dr. Saumi Syahreza, S.Si., M.Si., Koordinator Divisi Bencana Hidrometeorologi dan Perubahan Iklim Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Selasa, 19 September 2023.

Jika dikaitkan dengan konteks kemiskinan di Aceh, menurutnya memerlukan kajian khusus apakah dampak dari perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di Aceh. Namun, jika melihat ciri-ciri yang ditimbulkan akibat perubahan iklim, jelas-jelas kekeringan dan bencana hidrometeorologi lainnya termasuk di dalamnya. Yang membuat petani gagal panen atau nelayan berkurang hasil tangkapannya. Apalagi, jika melihat data BPS Aceh, kemiskinan terbesar di Aceh terjadi di perdesaan dengan persentase mencapai 17,06 persen (BPS, 2022) dari total 818,47 ribu penduduk miskin di Aceh.

“Kekeringan yang terjadi akibat perubahan pola hujan tentu saja dapat menyebabkan terjadinya gagal panen atau menurunnya kualitas hasil panen, ” katanya, “tak hanya kekeringan, perubahan iklim juga bisa meningkatkan risiko hama pada tanaman, seperti belalang atau wereng,” ujar dosen Jurusan Fisika FMIPA USK itu.

Saumi menjelaskan, perubahan iklim secara sederhana dapat dipahami pada kondisi berubahnya suhu dan cuaca di Bumi. Perubahan ini dapat terjadi secara alamiah oleh berbagai sebab. Namun, yang menjadi catatan adalah perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti industrialisasi, penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, dan penggunaan barang-barang elektronik yang memicu peningkatan emisi gas rumah kaca.

“Emisi gas rumah kaca ini dapat memerangkap panas matahari di atmosfer dan secara umum perubahan naiknya suhu Bumi terjadi karena meningkatnya efek gas rumah kaca ini,” katanya.

Dr. Saumi Syahreza, S.Si., M.Si. @Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Bila ditilik dari aspek kesehatan, kekeringan ataupun kelembaban yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat memicu perpindahan alergen melalui pergerakan angin. Bisa juga menumbuhkan spora atau jamur yang menjadi bibit-bibit penyakit. Namun, karena bentuknya yang sangat halus sehingga tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

“Alergen-alergen inilah ‘biang kerok’ penyebab terjadinya alergi, demam, bahkan radang mata pada kelompok-kelompok rentan yang susah beradaptasi pada perubahan tersebut. Terutama pada anak-anak dan lansia,” kata Saumi.

Apa yang dialami Aijaz, Fathia, atau Biyya setidaknya menjadi tesis dari apa yang disampaikan oleh Saumi. Pergerakan angin kata Saumi, juga dapat menerbangkan radiasi-radiasi yang dipantulkan matahari kepada benda-benda yang bersifat konduktor atau penghantar panas, seperti aspal atau logam. Jadi, semakin banyak bangunan di suatu tempat dan semakin sedikit ruang-ruang terbuka hijaunya, maka semakin besar terjadinya hantaran panas. Semakin tinggi pula paparan radiasi atau alergen tadi.

Saumi sendiri merasakan jika suhu di Banda Aceh cenderung meningkat. Bahkan, kata Saumi, jika merujuk pada data situs meteoblue.com, menunjukkan tren temperatur udara di Banda Aceh dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hasil penelitian Saumi dan rekan-rekannya di TDMRC juga menunjukkan adanya kenaikan permukaan air laut di Banda Aceh akibat perubahan iklim.

Cuaca mendung membuat murid MIS Lamgugob Banda Aceh bermain dengan nyaman di halaman sekolah. @Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Anak-anak memang rentan dengan perubahan iklim. Anak-anak, seperti dijelaskan oleh dr. Liza Fathiariani, pernapasannya lebih cepat dan udara yang dihirup lebih banyak dibandingkan orang dewasa.

“Akibatnya,” kata dokter yang rajin ngeblog untuk memberi edukasi tentang kesehatan dan parenting ini, “udara yang dihirup anak-anak lebih banyak sehingga kalau udaranya kotor atau berpolusi, maka gas polutan seperti nitrogen akan lebih banyak terhirup dibandingkan orang-orang dewasa,” ujar dr. Liza yang sehari-hari bertugas di RSJ Aceh.

Bagi anak-anak yang punya bakat alergi, maka perubahan iklim dapat memicu munculnya alergi. Di antara gejalanya, hidung tersumbat, gatal-gatal, atau bersin-bersin. “Partikel-partikel polutan itu menjadi penyebab alergi,” katanya.

Dalam sebuah jurnal berjudul Climate Change and Allergic Diseases: An overview yang terbit tahun 2022, perubahan iklim telah memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Cuaca ekstrem tidak hanya menyebabkan panas dan kekeringan, banjir, angin topan, atau menurunnya produktivitas pertanian, tetapi juga menyebabkan migrasi spesies, distribusi penyakit yang ditularkan melalui vektor, air, udara, maupun makanan.

Perubahan iklim selanjutnya dapat berdampak pada kesehatan secara tidak langsung yang menyebabkan kekurangan gizi, penyakit mental, pengangguran terkait kesehatan, kekerasan, hingga konflik.

Sebagaimana disampaikan Saumi, dampak-dampak akibat perubahan iklim memang ibarat jalinan rantai panjang yang akan memicu satu demi satu persoalan. Selain beradaptasi, juga diperlukan langkah-langkah mitigasi, seperti memperbanyak ruang terbuka hijau.

Setidaknya, agar anak-anak seperti Ayu masih bisa menyimpan secuil harapan akan masa depan yang cerah. Atau anak-anak seperti Aijaz, Fathiya, dan Biyya bisa belajar dengan tenang dan nyaman. Karena merekalah estafet bangsa ini.

“Saya masih bercita-cita menjadi dokter. Sampai sekarang pun saya masih menyimpan cita-cita itu,” kata Ayu menyudahi obrolan. Matahari bergulir. Senja menjelang. Angin menggerakkan dedaunan … pelan … pelan sekali ….[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *