Kategori
Edukasi Hak Asasi Manusia Kisah Perempuan

Memahami Kesetaraan Gender dan Keselamatan Jurnalis

Saya cukup surprise saat melihat para peserta Training Kesetaraan Gender dan Keselamatan Jurnalis yang dibuat oleh Divisi Gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh di Hotel Oasis, Banda Aceh, pada Sabtu—Minggu, 27—28 Agustus 2022 lalu.

Rasa takjub—jika tak ingin disebut terkejut—itu bukan karena pelatihan ini memang dikhususkan bagi perempuan jurnalis, melainkan karena dari 20 peserta training, hanya satu dua yang wajahnya familier bagi saya. Selebihnya merupakan wajah-wajah baru yang berdasarkan hasil identifikasi melalui permainan-permainan selama pelatihan, usia mereka di lapangan rata-rata di bawah lima tahun.

Melihat ada sebanyak itu perempuan jurnalis berkumpul dalam satu ruangan tentulah sangat menggembirakan. Karena itu artinya, dunia kepenulisan (baca: jurnalis) di Aceh ke depan akan semakin berwarna.

Profesi jurnalis tak lagi dikaitkan dengan profesi maskulin yang hanya memungkinkan untuk dilakoni oleh laki-laki saja.

Namun, di sisi lain ini juga menjadi tantangan tersendiri. Apakah jumlah yang mulai bertumbuh ini bisa berkontribusi dalam menyuarakan isu-isu yang selama ini masih terkesampingkan, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Jawabannya tentu saja bisa karena perubahan adalah kenicayaan.

Kuncinya ada pada kualitas jurnalis itu sendiri. Menjadi jurnalis, tentu bukan semata-mata karena memiliki modal keterampilan menulis. Keterampilan teknis ini bisa dengan mudah dipelajari. Namun, mampukah jurnalis mengusung misi profesi sebagai alat kontrol sosial dan penyambung lidah masyarakat dalam mengakses informasi?

Karena misi mulia itu pula menurut saya pelatihan ini menjadi sangat relevan. Seorang jurnalis bukanlah selembar daun yang hanyut mengikuti arus. Idealnya jurnalis adalah pengemudi perahu yang bisa mengendalikan arus. Isu-isu yang diliput oleh seorang jurnalis menentukan sekuat apa arus yang akan ia hadapi. Semakin besar isunya menyentuh ke ruang publik, maka potensi olengnya perahu akan semakin besar.

Untuk itu, seorang jurnalis (perempuan) harus punya bekal-bekal di luar keterampilan teknis karena dengan bekal itulah dia bisa “mengendalikan” arus yang bisa mengancam keselamatan dirinya.

Lalu, apa saja potensi ancaman bagi jurnalis perempuan? Setidaknya ada dua: internal dan eksternal. Ancaman internal bisa berasal dari lingkungan kerja atau kantor. Sebaliknya, ancaman eksternal berasal dari individu-individu atau situasi di luar kantor/lapangan yang bisa menyebabkan ketidakamanan/ketidaknyamanan bagi jurnalis, baik secara fisik maupun psikis.

Umumnya, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif LSM Flower Aceh, Riswati, yang menjadi salah satu narasumber dalam pelatihan itu, kekerasan yang sering dialami perempuan adalah kekerasan berbasis gender (KBG), yakni kekerasan yang terjadi akibat perbedaan perlakuan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan konstruksi sosial.

Bentuk-bentuk kekerasan atau diskriminasi berbasis gender ini meliputi empat hal, yaitu pelabelan/stereotipe, subordinasi/penomorduaan, beban ganda, dan kekerasan (verbal, fisik, psikologis). Pelaku ketidakadilan ini sangat kompleks, mulai dari lingkungan terkecil seperti rumah tangga, lingkungan sosial, tempat kerja, hingga negara.

Potensi diskriminasi ini bisa dihindari atau diminimalisasi dengan cara menaikkan posisi tawar perempuan agar setara dengan laki-laki di luar hal-hal yang bersifat kodrati atau karunia Tuhan yang tak bisa dikonstruksi. Contohnya, perempuan telah dikaruniai oleh Tuhan untuk bisa melahirkan, menyusui, memiliki vagina dan payudara. Sementara laki-laki terlahir dengan kodrat memiliki penis dan berjakun.

Adapun hal-hal yang bersifat konstruksi sosial merupakan perlakuan atau tindakan yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu berdasarkan kesepakatan sosial. Sederhananya, sesering apa kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti “perempuan mengurus rumah tangga”, “laki-laki pencari nafkah”, “warna merah muda untuk perempuan”, “warna biru untuk laki-laki”. Pembedaan-pembedaan tersebut sangat tidak berdasar karena bisa dilakukan oleh jenis kelamin yang berbeda.

Hal-hal semacam ini juga memungkinkan terjadi di ruang-ruang redaksi tempat perempuan jurnalis bekerja. Mereka harus berusaha ekstra agar bisa menempati posisi-posisi strategis di ruang redaksi. Perempuan juga kerap menjadi “martir” untuk menghadapi narasumber-narasumber laki-laki yang sulit ditembus laki-laki. Namun, ketika penugasan itu bukan karena kecerdasan atau intelektualitas perempuan, melainkan karena dia “perempuan” yang sering dilekatkan dengan imej “bisa meluluhkan” hati lelaki, pada saat itulah perempuan telah menjadi korban pelabelan atau stereotipe.

Yang lebih menyakitkan lagi, ketika ada perempuan cerdas maka tak jarang disebut memiliki “otak” laki-laki. Dalam konteks ini, maka perempuan tersebut telah mengalami subordinasi karena kecerdasannya itu dianggap sebagai “titisan” laki-laki.

Konstruksi sosial ini kata Riswati, terjadi karena beberapa faktor, seperti kultur atau budaya masyarakat setempat, adat istiadat, agama, pendidikan, ekonomi, hingga hukum. Meskipun dalam praktiknya kekerasan berbasis gender ini bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi realitasnya lebih banyak perempuan yang menjadi korban. Hal ini tak terlepas dari kelanggengan budaya patriarki yang selalu menomorsatukan dan mengistimewakan laki-laki sehingga kesempatan antara laki-laki dengan perempuan menjadi tidak adil atau setara.

Lelaki lebih banyak mendapatkan pemakluman dari lingkungan sekitarnya ketimbang perempuan. Lelaki yang mendapatkan posisi bagus di tempat kerja dianggap prestasi, sedangkan bagi perempuan dianggap sebagai ambisi. Jika laki-laki tidak disiplin bisa dimaklumi, tetapi tidak dengan perempuan. Laki-laki tidak pantas meliput isu-isu gaya hidup sehingga dilimpahkan pada perempuan. Sebaliknya, perempuan tak dianggap cakap untuk meliput isu-isu seperti politik atau investigasi karena dianggap sulit.

Bahkan, menurut Despriyani Zamzami, yang telah menjadi jurnalis sejak di masa konflik Aceh, kerja-kerja jurnalistik merupakan kerja-kerja yang mengandalkan kecerdasan. Kecerdasan itu akan terlihat dari ketajaman jurnalis tersebut dalam menentukan angle liputan dalam sebuah peristiwa. Bahkan ia menekankan bahwa siapa pun yang berkecimpung di dunia ini, khususnya perempuan, harus memiliki karier dan tidak hanya sekadar bekerja.

Oleh karena itu, tak heran jika dalam banyak forum, pelatihan-pelatihan tentang kesetaraan gender memang masih diprioritaskan untuk perempuan. Tujuannya agar semakin banyak perempuan yang melek pada isu-isu kesetaraan dan pengetahuan itu yang akan membentuk barrier atau perlindungan secara alamiah di dalam diri perempuan. Misalnya, ketika rekan kerja laki-laki memulai pembicaraan yang manipulatif atau menjawil dengan tujuan seksualitas, perempuan tersebut memiliki keberanian untuk menolak obrolan tersebut.

Dampak dari budaya patriarki tersebut, seperti dipaparkan psikolog Siti Rahmah, berdampak pada tingginya kasus-kasus pelecehan seksual pada perempuan bekerja. Tahun 2021 saja, setidaknya tercatat ada 338.496 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan bekerja di Indonesia. Pelecehan seksual ini tak hanya bisa dipahami sebagai penetrasi alat kelamin saja, tetapi juga setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman dengan tindakan tertentu atau pemaksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.

Akibat perbedaan-perbedaan yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki berdasarkan jenis kelamin tadi, korban-korban pelecehan seksual mengalami dampak psikologis yang luar biasa, seperti kebingungan, ketakutan, rasa bersalah, mendapat harapan kosong atau ilusi, meminimalisasi tindakan pelaku, memaksimalisasi kesalahan sendiri, membela pelaku, tidak berani melaporkan, mencabut laporan, hingga berpikir dengan cara berpikir masyarakat atau pelaku.

Dengan menyadari beberapa hal di atas setidaknya akan membuka ruang berpikir bagi perempuan untuk menyadari atau mengidentifikasi potensi ancaman seperti apa yang memungkinkan terjadi pada dirinya. Jika itu terkait dengan ancaman-ancaman ketika meliput di lapangan, maka penting untuk mengetahui prosedur atau tata cara meliput dan prinsip-prinsip keselamatan pribadi, seperti tidak bersikap mencolok, selalu waspada, dan perlu menghindari kebiasaan mengekspos lokasi liputan.

Di luar itu, penting juga bagi perempuan jurnalis untuk memahami kelebihan atau potensi yang ia miliki. Dengan demikian ia tahu apa yang harus “dijual” dari dirinya. Saya kira, hal-hal kecil semacam menuliskan best of me sebagai individu maupun sebagai jurnalis yang ditugaskan oleh trainer di awal pelatihan ini menjadi pemantik yang asyik untuk memberikan citra positif bagi diri sendiri.

Sebagai penutup, mengutip kembali apa yang dijelaskan oleh Riswati, penting memahami kesetaraan gender untuk memastikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan terpenuhi dan terwujudnya akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pembangunan yang setara bagi laki-laki dan parempuan.

Kondisi ini akan bisa dicapai jika kampanye terhadap antidiksriminasi menjadi pekerjaan rumah bagi siapa pun yang bisa dilakukan dengan cara di antaranya meningkatkan kesadaran kritis dan perspektif yang adil gender dan nondiskriminatif.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *