“Saya memperhatikan ada murid yang sangat pendiam, tapi sorot matanya menyiratkan gejolak perasaan mendalam,” curhat seorang guru Panti Asuhan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Aceh (Yakesma) di Gampong Kajhu, Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar.
Dia merupakan salah seorang peserta workshop pendampingan psikologis, komunikasi efektif, dan penulisan sebagai media healing yang berlangsung di Yakesma. Program tersebut merupakan series pengabdian masyarakat yang dilakukan para dosen Universitas Syiah Kuala (USK) bersama Komunitas Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan Yakesma. Pelatihan yang diberikan kepada 19 relawan Yakesma itu berlangsung sejak Juni hingga November 2022 mendatang.
Rizanna Rosemary, Dosen Ilmu Komunikasi USK, menyebutkan kesembilan belas relawan yang mengikuti program tersebut merupakan guru, pengasuh, dan pengelola Yakesma yang mendampingi anak asuh sehari-hari, termasuk anak-anak penyintas kekerasan seksual.
Dia menilai pemberdayaan dan dukungan terhadap para pendamping penyintas kekerasan seksual masih sangat rendah. Padahal, menurutnya, para pendamping tersebut juga memperoleh paparan tekanan emosional yang cukup besar selama proses pengasuhan dan penyembuhan trauma bagi anak-anak tersebut.
“Tujuan workshop ini membawa sedikit ilmu dari kampus untuk dibagikan dan didiskusikan bersama-sama relawan Yakesma. Sifatnya membangun pembelajaran dua arah,” papar sang ketua pelaksana program di Aula Yakesma, 6 Agustus 2022.
Ijan, sapaan akrabnya, menyatakan bahwa pada sesi pertama di pertengahan Juni lalu, para peserta diberi materi oleh perwakilan komunitas PPL terkait pentingnya manfaat menulis dan mempraktikkan aktivitas menulis untuk penyembuhan (writing for healing).
Kemudian pada sesi kedua, di akhir Juni, para peserta diberi pembekalan terkait pemahaman psikologi diri dan anak, manajemen stres, dan tata cara rileksasi bersama dosen Psikologi Klinis USK, Maya Khairani.
“Adapun untuk materi hari ini lebih terkait pada komunikasi. Zakirah memberikan informasi tentang komunikasi efektif dalam menghadapi anak-anak, dan saya memberikan informasi bagaimana melek media dapat mendukung pola asuh anak.
Melek media artinya kita punya akses informasi tetapi tetap berpikir kritis,” papar pakar komunikasi massa dan komunikasi kesehatan tersebut.
Zakirah Azman, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP USK, berpandangan bahwa komunikasi efektif dapat dibangun dengan beberapa cara, semisal melalui pengembangan empati dan peningkatan kemampuan menyimak informasi (deep listening).
“Bagaimana cara menghadapi anak-anak yang berbeda latar belakang, usia, bahkan yang berkasus? Pasti banyak sekali kendala sekaligus pendekatan solusinya. Oleh karena itu, saya sangat ingin mendengarkan pengalaman dari para relawan semua,” ujarnya di sesi diskusi.
Zakirah melihat banyak kasus unik di dunia nyata terkait komunikasi dan manajemen perilaku yang belum termaktub di buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah kampus. Dia menilai penting untuk menilik pendekatan pemecahan masalah dan pengalaman sehari-hari relawan Yakesma dalam mendidik dan membina anak-anak terutama penyintas kekerasan seksual untuk didokumentasikan.
“Banyak sekali pengalaman yang teman-teman dapatkan dalam menghadapi anak-anak yang berbeda perilaku. Maka penting mendokumentasikan hal tersebut sebagai inspirasi dan pembelajaran bagi kita bersama,”
kata pendidik bidang Komunikasi Organisasi dan Massa tersebut.
Pendamping Bercerita
Saat pemateri mengapresiasi kinerja para relawan Yakesma dengan besaran pahala yang akan diperoleh selaku pendidik dan pengasuh, salah seorang peserta justru bercelutuk.
Sontak pernyataan jujur itu mengundang gelak seluruh peserta. Menurutnya, proses mengasuh dan mendampingi anak-anak, terutama penyintas kekerasan seksual, tidaklah seindah kisah-kisah dongeng.
“Mungkin pahala mengasuh ada, tapi waktu kita emosi, bukankah semua pahala itu hilang juga? Entah timbangan mana yang lebih berat?” ujarnya sendu.
Menurutnya, secara teori, semua pihak pastinya berharap segala hal akan baik-baik saja dalam proses mendidik anak-anak. Namun pada kenyataanya, jika kasus telah hadir di depan mata maka akan lain ceritanya. Dia menilai butuh usaha ekstra dan kesabaran yang tidak sedikit dari para relawan dalam membina anak-anak tersebut.
Cerita unik lainnya juga datang dari salah seorang guru PAUD Yakesma, Nisa namanya. Sebagai seorang ibu beranak dua yang juga berperan sebagai guru, dia sempat menerima aksi protes dari sang anak karena dianggap tidak memberikan porsi kasih sayang yang adil.
“Suatu malam, anak saya curhat ke ayahnya. ‘Ayah, mamak kalau di sekolah kan untuk anak orang dipanggil Neuk, Boh Hatee, tapi kalau sama kami di rumah, mamak kayak macan beranak,’ protes sang anak,” tutur Nisa. Penggalan ceritanya yang belum selesai itu justru membuat ruang digerumuhi tawa.
Nisa merefleksikan bahwa keikutsertaan anaknya untuk bersekolah di tempat yang sama di mana dia mengajar membuat sang anak belajar menilai perbedaan perilaku sang ibu di sekolah dan di rumah.
Sang guru berpendapat bahwa mengasuh anak-anak di sekolah menguras cukup banyak energi dan emosi. Sehingga, menurutnya, tanpa dia sadari terkadang dia harus menomorduakan anak-anaknya sendiri.
“Terkadang kelelahan membuat kita menjadi egois. Saya tanpa sadar menggap anak saya sudah dewasa karena memiliki adik. Padahal usianya masih kecil,”
ujarannya itu menjadikan seisi ruang geming.
Zakirah menimpali bahwa kejadian yang dialami oleh Nisa pada dasarnya juga pernah dialami oleh dirinya dan banyak pendidik di luar sana secara tidak disadari. Dia berpendapat bahwa hal tersebut tidak lantas menjadikan seorang dicap sebagai guru atau orang tua yang buruk. Maka, menurutnya, penting untuk mengomunikasikan dan memberikan pemahaman kepada anak.
“Cara memberi pemahaman kepada setiap anak itu berbeda-beda, tapi salah satu caranya adalah dengan memberi pengertian,” sarannya.
Di akhir sesi, Rizanna menyatakan bahwa dia menyakini besarnya potensi para relawan untuk menuliskan lebih banyak cerita berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. “Saya yakin, proses menulis ini akan menjadi media self-healing. Mereka memiliki wadah untuk mengekspresikan diri melalui tulisan. Kelak ketika dibukukan, produk karya tersebut menjadi jalan aktualisasi diri, merasakan kepuasan karena karya berhasil dipublikasi,” tutupnya.