Kategori
Jurnalisme Warga Edukasi Eduwisata Literasi Konflik Mitigasi Bencana

Kepunahan Satwa Liar; Hal yang Tak Tergantikan oleh Uang

“Pesan nenek, ‘Orang yang dekat dengan Allah maka akan dekat juga dengan hewan ciptaan Allah.’ Nyatanya hewan juga mengetahui apa yang kita lakukan, perbuatan baik maupun jahat,” jelas Tgk. Hj. Rahimun, S. Ag. mewakili Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang hadir sebagai pemateri FGD Teungku Inong yang digelar di Aceh Barat pada 28 Juli 2023.

Teungku Inong merupakan sebutan yang disematkan kepada para perempuan ulama di Provinsi Aceh. Umumnya mereka memimpin pesantren tradisional (dayah), mengajar Al-Qur’an dan hadis, juga penceramah, dan biasanya memiliki sejumlah jemaat.

Focus Group Discussion alias Diskusi Kelompok Terarah dengan tema “Perlindungan Satwa dalam Perspektif Syariat Islam” ini menghadirkan 15 Teungku Inong dari berbagai wilayah di Provinsi Aceh untuk mendiskusikan tantangan dan peluang terhadap penjagaan keberlangsungan hidup satwa liar di Aceh melalui dukungan Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2022 tentang Perburuan dan Perdagangan Satwa Menurut Perspektif Syariat Islam.

Keberlangsungan hidup manusia sangat bergantung pada kesinambungan penjagaan alam semesta beserta isinya, maka kehadiran program ini menjadi penting.

“Kerusakan hutan kita semakin parah jika dibiarkan begitu saja. Penting untuk mencari solusi bersama dalam menjaga kekayaan alam kita,”

papar Munira mewakili Yayasan HAkA (Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh) selaku pihak penyelenggara program.

Selaras dengan tujuan program, Ummi Hanisah selaku pimpinan Dayah Diniyah Darussalam—tempat acara ini dilaksanakan—menambahkan, “Dengan adanya Fatwa MPU, terjadi sinkronisasi dalam mengatasi kerusakan yang ada di lingkungan hidup kita. Merupakan langkah mulia untuk menjaga keberlangsungan hidup alam semesta bersama-sama.”

Sejalan dengan itu, Dra. HJ. Zikriati, MA, pembina Dayah Darul Muta’allimin yang turut serta dalam program FGD Teungku Inong ini menjelaskan bahwa istilah perburuan identik dengan sesuatu yang dikejar.

Menurutnya, “Boleh diburu tapi dengan cara yang dibenarkan. Namun yang sekarang ini sering terjadi perburuan itu kepada hewan yang dilarang.”

Menurut Fatwa MPU, terdapat satwa liar yang boleh diburu jika halal dimakan, tapi jika sudah hampir punah tidak boleh diburu lagi. “Jika dilarang berarti hampir punah, tidak boleh dimakan lagi sebab tergolong dalam satwa yang dilindungi,” papar Ummi Rahimun.

Kemudian, Ummi Rizqi dari Manggamat menamai fenomena masifnya perburuan satwa liar yang dilakukan oknum tertentu semata untuk pamer di media sosial sebagai bagian dari ‘hobi yang tak lazim’. “Mungkin awalnya disebabkan faktor ekonomi, mereka melakukan perburuan liar karena desakan, tapi kemudian menjadi candu,” sesalnya.

Pada kenyataanya, Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2022 poin kelima menegaskan bahwa,

‘Berburu Satwa Liar yang tidak halal dimakan adalah dilarang’.

Hal tersebut dipertegaslangsung oleh Ummi Rahimun dalam sesi FGD Teungku Inong. Dia memaparkan,

“Manusia tidak sanggup menggantikan makhluk yang Allah ciptakan. Maka janganlah kamu punahkan binatang ciptaan Allah. Apabila sembarangan membunuh binatang, maka hukumnya haram, itu perlakuan menyimpang (fasad).”

Efek Jera

“Tidak ada satu pun ciptaan Allah yang tidak berguna. Sayangnya kita sebagai manusia tidak mau tahu manfaat kehadiran ciptaan Allah itu,” sebut Dr. Zalikha, M.Ag., sebagai salah satu peserta FGD. Menurut kisahnya, saat berusia 10 tahun, dia masih menemukan banyak kehadiran Burung Toktok Beuragoe yang khas dengan bunyi pelatuknya. Menurut Ummi Zalikha, kini burung tersebut sudah semakin sulit ditemukan keberadaannya.

Terkait semakin tingginya rasio kepunahan burung khas daerah ini, Ummi Rahimun turut menjejali sesi diskusi seru tersebut dengan pengalamannya. “Burung Enggang biasa saya sebut Ak-Ak. Jika dia berkicau di pagi hari, itu tandanya anak-anak sudah harus bersiap berangkat ke sekolah.” Kenangan keakraban tersebut jelas mencerminkan betapa hubungan timbal balik antara satwa liar dan masyarakat Aceh pernah terjalin begitu dalam.

Sejalan dengan cerita tersebut, Ummi Hanisah dalam sesi diskusi turut mempertegas bagaimana keterkaitan hubungan antara manusia dengan alam semesta benar adanya. Dia memaparkan, “Kalau kita tidak menggangu satwa maka mereka pun akan menjaga kita. Saat kita tidak bersahabat lagi dengan alam, maka bencana yang merugikan kita bisa terjadi.Sebab kita memiliki keterikatan emosional terhadap satwa dan alam sekitar.”

Pernyataan terkait efek jera dari kepunahan satwa sekaligus kerusakan alam itu turut disetujui oleh peserta lainnya. “Kelak generasi kita tidak dapat lagi belajar langsung dari alam. Mereka hanya bisa belajar lewat internet atau buku bergambar,” papar Teungku Masyitah asal Aceh Timur gundah. Dia menjelaskan bahwa perilaku dan gaya hidup masyarakat yang tidak melestarikan lingkungan demi kepentingan pribadi mesti diganti. Sebab penjagaan alam harus dilakukan bersama-sama.

Memugar rasa

“Kami memanggil gajah dengan sebutan datok. Dulu masyarakat tidak takut gajah karena tidak mengganggu gajah. Namun sekarang banyak sekali masyarakat membuka lahan di habitat gajah. Hal tersebut merusak habitatnya.” Jelas Ummi Lia membeberkan fenomena terkini yang terjadi di wilayah Tamiang.

Hilangnya kepekaan rasa akan hubungan timbal balik antara manusia dan alam semesta diduga para peserta menjadi salah satu faktor utama meningkatnya kejahatan terhadap satwa. Selain itu, faktor ekonomi, ketidaktahuan, dan keserakahan menjadi alasan tambahan terjadinya perburuan dan perdagangan satwa liar yang semestinya dilindungi.

“Saya punya hubungan emosional dengan harimau. Dulu, orang tua saya memiliki harimau penjaga, rimueng itam (harimau hitam). Waktu kecil, mereka sering memberi makanan harimau tersebut,” kisah Ummi Rahimum memaparkan keakraban yang terjalin antara masyarakat Aceh dahulu dengan satwa liar di sekitar mereka.

Selayaknya yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 41 yang berisikan larangan bagi manusia untuk merusak bumi. Maka sudah seharusnya masyarakat Aceh, Indonesia, bahkan dunia memahami pentingnya mempunyai keterhubungan rasa terhadap eksistensi alam semesta beserta isinya.

“Rasa sekarang ini sudah jarang di masyarakat, sebab kebanyakan orang hanya mengedepankan logika dan teknologi. Semoga kita kembali sadar untuk memiliki keterikatan rasa terhadap segala ciptaan Allah. Sebagai khalifah, mari kita junjung tinggi perintah Allah untuk menjaga alam dan seluruh isinya,” harap Ummi Rahimun mewakili MPU Aceh. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *