Kategori
Literasi Kesehatan Jurnalisme Warga

Ikhtiar Melawan Pandemi dengan Vaksinasi

Bumi yang kita tinggali saat ini sudah berusia sangat tua, memasuki usia uzur. Berbagai macam cobaan penyakit sudah pernah dirasakan oleh Bumi. Sejarah mencatat banyak sekali penyakit yang telah merenggut nyawa banyak orang. Situasi kacau yang ditimbulkan oleh wabah secara global telah berhasil melahirkan temuan-temuan di bidang kesehatan.

Penyakit yang memengaruhi banyak orang itu disebut pandemi. Sepanjang sejarah, telah terjadi sejumlah wabah yang membunuh ratusan ribu hingga jutaan umat manusia.

Pandemi Flu Spanyol adalah pandemi yang paling diingat dengan tingkat kematian tinggi di antara mereka yang berusia di bawah lima tahun, usia 20-40 dan 65 tahun ke atas.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat angka kematian yang tinggi di kalangan orang sehat, termasuk di tahun 2040-an, menjadi ciri khas pandemi ini. Meskipun virus H1N1 tahun 1918 telah disintesis dan dievaluasi, sifat-sifat yang membuatnya begitu menghancurkan tidak dipahami dengan baik. Dengan tidak adanya vaksin influenza dan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri sekunder yang mungkin terkait dengan influenza, upaya pengendalian di seluruh dunia terbatas pada intervensi non-farmasi seperti; isolasi, kebersihan pribadi yang baik, penggunaan disinfektan, dan akses publik yang terbatas. demonstrasi, diterapkan secara tidak merata.

Pada tahun 1918, tidak ada obat untuk  influenza atau antibiotik untuk mengobati komplikasi seperti pneumonia. Banyak rumah sakit kewalahan. Banyak teater, ruang dansa, bioskop, dan gereja telah ditutup selama beberapa bulan, tetapi pemerintah belum memberlakukan blokade atau blokade yang lebih ketat  untuk mengekang penyebaran virus.

Sebagian besar kedai minuman, yang memiliki jam kerja terbatas selama perang,  tetap buka. Liga Sepak Bola dan Piala FA juga dibatalkan karena perang, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan untuk membatalkan  atau membatasi partisipasi dalam pertandingan lain. Acara olahraga untuk 4.444 pria dan kerumunan besar kompetisi sepak bola wanita berlanjut selama pandemi.

Sejumlah upaya juga dilakukan oleh pemerintah, jalanan di dalam kota dan sekitarnya disemprot dengan desinfektan dan beberapa orang memakai masker anti-kuman, saat mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Pesan-pesan layanan kesehatan pun membingungkan banyak orang-dan, seperti saat ini, banyak kabar bohong dan teori konspirasi bertebaran. Di beberapa pabrik, aturan dilarang merokok dilonggarkan, dengan keyakinan bahwa rokok akan membantu mencegah infeksi.

Kondisi kaos flu Spanyol tidak jauh berbeda pada tahun 1918 di Hindia-Belanda, yang melanda kota-kota besar di Jawa. Hingga 1,5 juta orang telah menjadi korban kekerasan virus dari daratan Eropa. Lambatnya respons pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi gelombang pertama pandemi flu Spanyol menjadi penyebab tingginya angka kematian tersebut. Pemerintah saat itu hanya memiliki sedikit strategi pencegahan dini. Mereka  menganggap enteng virus itu dan menyamakannya dengan flu biasa.

Setelah mendapati angka kematian yang semakin tinggi, pemerintah mulai bergerak menangani penyebaran virus. Berbagai upaya pun mereka lakukan. Langkah awal adalah dengan membentuk Influenza Commissie pada 16 November 1918. Komisi ini bertugas menginvestigasi akar penyebaran dan gejala flu spanyol. Kebijakan yang dihasilkan di antaranya imbauan untuk mengenakan masker hingga pendistribusian obat anti-influenza.

Selain pemerintah, masyarakat juga berusaha sekuat tenaga mencari jalan terbaik untuk menanggulangi wabah. Mereka bahkan rela melakukan segala cara agar terbebas dari penyakit tersebut, mulai dari metode medik sampai cara klenik. Cara terakhir itu lazim dilakukan kalangan bumiputera dan Tionghoa.

Majalah HistoriA menulis bahwa di tengah situasi genting dan penuh kekalutan seperti itu, pemerintah dan masyarakat dibuat pusing dengan munculnya informasi-informasi palsu tentang wabah flu spanyol, mulai dari cara penanganan, obat-obatan, hingga sebab kemunculan virus. Sejumlah oknum memanfaatkan momen tersebut untuk menyebar berita bohong agar tercipta kepanikan di masyarakat.

“Menjamurnya berbagai berita bohong selama periode tersebut, ternyata dilihat sebagai kesempatan emas bagi segelintir oknum untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan kepanikan masyarakat,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.

Lemahnya literasi kesehatan juga mengakibatkan jatuhnya korban flu Spanyol tanpa pernah mendapatkan bantuan yang berarti. Pesan-pesan layanan kesehatan pun membingungkan banyak orang, dan seperti situasi saat ini, banyak kabar bohong dan teori konspirasi bertebaran.

Di beberapa pabrik, aturan dilarang merokok dilonggarkan, dengan keyakinan bahwa rokok akan membantu mencegah infeksi.

Dalam sebuah debat tentang pandemi, anggota parlemen dari partai Konservatif, Claude Lowther, lantang bertanya: “Apakah sudah ada faktanya bahwa cara yang ampuh untuk melawan influenza itu adalah dengan merokok tiga kali sehari?”

Berbagai kampanye dan membagikan selebaran dilakukan untuk memperingatkan agar tidak menyebarkan penyakit melalui batuk dan bersin.

Pada November 1918, News of the World menyarankan para pembacanya: “Mencuci hidung dengan sabun dan air setiap malam dan pagi; paksa diri Anda untuk bersin pada malam dan pagi hari, lalu bernapas dalam-dalam. Jangan mengenakan selendang; langsung pulang ke rumah selepas kerja dan menyantap bubur hangat.”

Covid-19 hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern yang sudah jauh lebih baik di dalam gaya hidup; teknologi, informasi, gawai pintar, dan kemajuan pengetahuan di bidang kesehatan. Kita punya semuanya yang menuntun kita menjadi tanggap dan siaga bencana. Kemudian sejarah kaos flu Spanyol terulang kembali; persebaran berita bohong, informasi palsu dari pihak yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan pribadi, berita palsu, dan rendahnya literasi di tengah masyarakat.

Padahal, ada berita-berita dan informasi yang dapat menjadi sumber rujukan utama yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Namun, menikmati berita bohong seolah adalah sebuah kenikmatan, sehingga kita menjadi mengulang-ulang informasi untuk sebuah gejala penyakit, atau sekadar memberikan informasi dan pesan layanan kesehatan. Miris sekali, karena kita sudah masuk ke zaman di mana penggunaan gawai pintar yang bisa mengakses berita baik dan terpercaya hanya lewat sentuhan jari.

Namun bukan berarti, berita baik tersebut tidak menjadi konsumsi masyarakat Indonesia saat ini. Ada banyak masyarakat Indonesia yang teguh, komitmen, dan bersungguh-sungguh demi tercapainya imun yang lebih baik dan sebagai ikhtiar di masa pandemi.

Tak gentar pada berita bohong, mereka melakukan vaksinasi 1, 2, dan 3, bahkan sampai booster. Pencapaian tingkat pemahaman dan nalar yang lebih kritis telah membawa mereka mencapai daya pikir yang lebih bijaksana.

Salah seorang warga Banda Aceh, Enny (42), seorang wirausahawan menuturkan perjuangannya untuk mendapatkan vaksinasi, “Waktu awal-awal pandemi, saya sangat khawatir terpapar virus korona, setelah ada imbauan pemerintah tentang vaksinasi, saya bilang sama suami dan anak saya, ‘Ayo, kita cari vaksin buat cegah penularan,'” katanya pada 15 Maret 2022.

Tidak berhenti sampai di situ, Enny juga mengajak tetangganya untuk melakukan vaksinasi, “Kamu sudah lama tidak pulang kampung, nanti kamu terpapar karena belum vaksin,” katanya kepada si tetangga.

Enny juga bercerita bahwa awalnya tetangganya menolak untuk melakukan vaksinasi, “Tapi kemudian saya terus mengimbau dan mengedukasi dia supaya mau melakukan vaksinasi, karena saya takut kalau dia lalu lalang di depan rumah saya, saya dan keluarga jadi terpapar.”

Fernando (18), warga Peunayong mencari informasi dan tempat di mana vaksinasi dilakukan, “Sebagai ikhtiar di masa pandemi dan bertujuan untuk menjaga imunitas, saya mencari tahu di mana lokasi vaksinasi, setelah mendapatkan informasi akurat, saya membawa orang tua saya untuk melakukan vaksinasi sampai booster, karena meskipun hoaks atau berita bohong di luar sana bertebaran, tapi pemerintah sudah menjamin mutu dan kualitas vaksin, jadi kenapa harus takut?” katanya.

Sejauh mata memandang ada banyak kisah-kisah sukses vaksinasi Covid-19 di tengah masyarakat Indonesia yang patut diacungi jempol.

Frina salah satunya. Setelah mendapatkan informasi dan sumber yang berasal dari seorang dokter, kegunaan, fungsi, dan faedah melakukan vaksinasi, Frina akhirnya memutuskan untuk melakukan vaksinasi, “Tidak berselang lama setelah informasi dari sumber yang akurat tersebut, Frina melakukan vaksinasi, sebagai ikhtiar untuk menjaga diri dari tertularnya virus. Setelah melakukan vaksinasi, tidak merasakan efek samping yang terlalu berat seperti isu-isu miring di luar sana, dan setelah vaksinasi, Frina merasakan tubuh menjadi lebih bugar,” katanya.

Berita bohong yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah tantangan karena berita bohong yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab lebih dipercaya daripada informasi akurat dari para ahli di bidang kesehatan.

Yuk, belajar dari sejarah silam masa pandemi flu Spanyol.[]

Penulis adalah anggota Jurnalis Warga Banda Aceh dan Ketua Forum Lingkar Pena Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *