Dewasa ini, kosmetik sudah menjadi produk peradaban yang sangat lekat dengan manusia. Bangsa yang pertama kali tercatat menggunakan berbagai losion, parfum dan bahkan lipstik serta deodoran, adalah bangsa Mesir. Guci-guci berisi parfum dan losion ditemukan di dalam makam para firaun yang dikuburkan di Lembah Para Raja. Kehadiran kosmetik di Mesir Kuno juga ditengarai melalui hieroglif yang menghiasi dinding makam. Kosmetik orang Mesir, tentu saja, terbuat dari bahan dan mineral alami.
Pada abad-abad selanjutnya, manusia modern mengikuti contoh bangsa Mesir. Jenis kosmetik semakin beraneka ragam. Yang semula “hanya” ditujukan untuk higiene seperti deodoran dan sabun mandi, kemudian diramaikan dengan produk-produk yang tujuannya meningkatkan daya tarik. Misalnya lipstik, maskara dan lain-lain.
Umat manusia juga semakin sadar akan perlunya “tampil maksimal”. Akibatnya, pasar dibanjiri permintaan kosmetik. Karena permintaan meningkat, produsen kosmetik harus memikirkan ketersediaan bahan baku. Apa yang tadinya mengandalkan pada alam, mulai bergeser ke produk sintetis. Dalam dunia parfum misalnya, ditemukannya aldehyda menggeser kedudukan minyak mawar dan “musk” dari kelenjar hewan, sebagai dasar pembuatan wewangian. Alasannya, karena aldehyda jauh lebih murah, juga lebih tahan lama.
Pergeseran bahan baku ini juga terjadi di lini kosmetik lain. Losion, alas bedak, dan macam-macam lagi, kini sebagian besar sudah meninggalkan bahan baku alamiah dan menggantinya dengan yang sintetis. Perkembangan dan persaingan kosmetik demikian cepat dan ketat, sehingga penggunaan bahan baku sintetis merajai dunia kecantikan.
Tiga puluh tahun belakangan, umat manusia mulai menyadari akibat negatif yang dibawa bahan baku sintetis dan kimiawi terhadap tubuh. Penderita penyakit yang disebabkan oleh alergi dan penyakit autoimun, yang semula sangat jarang kita dengar, angkanya naik secara mengejutkan. Demikian juga gangguan belajar, gangguan pencernaan bahkan gangguan kesuburan, mulai sangat umum dikeluhkan orang. Berbagai penelitian mencapai hasil yang mengejutkan: ternyata semua itu dapat ditelusuri sebabnya hingga ke makanan serta produk kosmetik yang kita gunakan sehari-hari.
Hal ini menggugah perhatian Farhaniza Farhan, akrab disapa Dara. Ibu dua anak lulusan Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung ini awalnya sekadar mengikuti saran kawan-kawannya, mencoba menggeser gaya hidup ke arah yang lebih sehat, lebih ramah lingkungan.
Ia dan suaminya bergabung ke dalam sebuah klub yang mendorong anggotanya untuk sebisa mungkin menggunakan produk organik serta mengusung gaya hidup hijau. Saat itu Dara masih berkutat dengan proyek-proyek arsitektur, yang digelutinya sejak lulus. Sebelum menikah, Dara bekerja di sebuah biro arsitektur di Bali dan punya reputasi baik sebagai arsitek muda.
“Kemudian terjadi sesuatu yang menyebabkan saya mulai mendalami soal produk kosmetik,” ujar Dara. “Bermula dari reuni jurusan Teknik Lingkungan ITB beberapa tahun yang lalu. Seorang kawan suami membawa produk ‘cocoa butter, yang diproduksinya sendiri, menggunakan biji kakao dari kebun sanaknya di Sukabumi. Mengetahui bahwa saya orang Aceh, kawan itu mengatakan bahwa biji kakao Aceh dahulu sempat memperoleh predikat biji kakao terbaik di Asia Tenggara. Dia juga menyarankan pada saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang cocoa butter sebagai alternatif losion organik yang tidak membahayakan kesehatan.”
Dengan coba-coba, trial dan error dan dengan peralatan sederhana, Dara mulai mencoba membuat cocoa butter sendiri. Produknya dipasarkan masih di kalangan terbatas, terutama di komunitas “serba organik” tempat ia menjadi anggota.
Sementara itu, dalam kehidupan pribadinya, Dara memiliki masalah sendiri. Beberapa tahun menikah, ia dan suaminya belum juga dikaruniai momongan. Dalam usaha untuk segera dikaruniai anak, dan mengetahui ‘apa yang salah’, Dara sempat delapan kali berganti dokter. Ia diduga mengalami PCO (polycistic ovarian syndrome), suatu kondisi ketidak seimbangan hormonal. Suaminya diduga mengalami asthernozoospermia. Istilah awamnya, gerakan spermanya lamban. Saat berkonsultasi pada salah seorang dokter ahli kandungan, Dara tersentak ketika sang dokter berkat, “Ini problem umum pada pasangan muda yang hidup di kota besar.”
“Kalimat itu seperti kilat yang menyambar kesadaran,” kata Dara. “Kenapa problem kesuburan disebut sebagai problem umum pasangan muda di perkotaan? Saya sungguh penasaran. Sejak saat itu giat mencari tahu tentang pengaruh hidup di kota besar pada kesehatan manusia.”
Dari berbagai hasil riset yang dibacanya, Dara mengetahui bahwa zat aditif dalam makanan dan kosmetik berpengaruh besar pada regulasi hormon di dalam tubuh. Dokter ahli yang saat itu memantau kesehatan dirinya dan suami, kerap juga menjadi tempatnya bertanya. Dari hasil diskusi dengan para dokter ini, Dara semakin paham betapa gaya hidup kota besar ternyata dapat menjadi biang kerok berbagai masalah kesehatan. Penjelasannya, kata Dara, misalnya karena para pekerja perkantoran kurang bergerak, terlalu banyak duduk, sehingga aliran darah terhambat. Makanan yang tersedia di perkantoran juga umumnya makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan atau zat-zat aditif. Semua ini berkontribusi pada timbulnya problem kesehatan, yang dapat berujung pada problem kesuburan.
“Menurut statistik, sepertiga dari perempuan di Indonesia mengalami kelainan hormon, tapi sebagian besar tidak mengetahui bahwa banyak hal yang kita anggap sebagai ‘hal sehari-hari’ itu dapat menjadi penyebabnya,” kata Dara. Ia melanjutkan, “Misalnya paraben, pengawet yang sangat populer digunakan dalam produk kosmetik. ”
Dari situs Environmental Working Group, didapat keterangan bahwa paraben dapat meniru cara kerja hormon estrogen dalam tubuh, dan mengganggu fungsi normal hormon yang mengatur fungsi reproduktif manusia, baik laki-laki mau pun perempuan. Paraben juga dapat mengganggu produksi hormon.
“Paraben digunakan secara luas dalam produk perawatan tubuh, bahkan saya lihat ada dalam produk vitamin untuk ibu hamil. Padahal, di Inggris paraben ini sudah dilarang. Namun, masih digunakan di Indonesia,” jelas Dara.
Ditemui di rumahnya di kawasan Merduati, Banda Aceh, pada Sabtu, 25 September 2021, Dara menceritakan bagaimana ia dan suaminya banting setir, mengubah gaya hidup, mengganti makanan mereka dengan segala yang organik sifatnya.
“Pokoknya sedapat mungkin kami menghindari zat aditif masuk terlalu banyak ke dalam tubuh,” kata Dara. “Dulu, di bagian bawah dagu saya ada pembengkakan kelenjar. Seperti ‘double chin’ begitu jadinya. Sejak banting setir ke gaya hidup hijau, perlahan-lahan kelenjar yang bengkak itu mengempis.”
Dara melanjutkan gaya hidup organiknya dengan mulai meninggalkan kosmetik yang menggunakan parfum dan aditif kimiawi. Ia mengganti pelembab kulit yang digunakannya dengan yang berbahan alami, juga berhenti menggunakan sabun dengan bahan alkali. Sesudah merampungkan studi S2 di Universitas Gajah Mada dan menggondol gelar M.B.A., Dara memutuskan untuk mengembangkan riset dengan cocoa butter yang sudah diproduksinya.
“Saya mendirikan YaGI Natural tahun 2015,” kata Dara. Produk pertama YaGI adalah body butter, berbahan dasar cocoa butter. “Saya sempat menjajaki kerja sama dengan petani kakao di Aceh di Kabupaten Gayo Lues. Dasar pemikirannya adalah, berbisnis sambil beramal, membantu orang lain. Sebab sampai saat itu, masih sering terdengar keluhan petani bahwa produknya yang melimpah itu tidak ada yang menyerap.”
“Tapi tetap saja, tahun 2015-2016 itu YaGI belum menjadi fokus utama saya. Saya masih juga mengerjakan proyek arsitektur. Terakhir saya mengerjakan desain Kawasan Industri Pulo Gadung,” kata Dara lagi.
Namun, kemudian, Tuhan menganugerahkan apa yang sudah begitu lama diidamkan. Dara hamil. Ia yakin kondisi tubuhnya yang semakin sehat, juga hilangnya masalah fertilitas yang pernah dialaminya, adalah karena gaya hidup organik yang ditempuhnya. Saat itulah Dara berpikir serius untuk berkonsentrasi penuh pada YaGI.
“Tahun 2018 saya mengambil kursus khusus kosmetologi di Inggris, untuk lebih mendalami bidang itu dan bisa mengembangkan YaGI lebih lanjut,” kata Dara. Ia dan suaminya juga mengambil keputusan penting lainnya, yaitu untuk pindah, pulang kampung ke Aceh, tepatanya di Banda Aceh.
Saat ditanya mengapa memutuskan pulang kampung, Dara tersenyum lebar menjawab, “Kami sudah lelah dengan hidup di kota besar seperti Jakarta.” Meski mengakui bahwa membangun bisnis di Aceh terkendala biaya yang cenderung lebih tinggi, tetapi Dara tetap memilih untuk membangun base bisnisnya di tanah nenek moyangnya ini.
Dari produk awal cocoa butter sederhana serta pemasaran dari mulut ke mulut, YaGI kini sudah dikemas dan dipasarkan dengan lebih profesional.
“Tahun ini produk YaGI sudah lolos kurasi untuk Kimia Farma, dan sudah mendapat izin edar dari BPOM,” Dara membanggakan hasil kerja kerasnya.
Pengembangan produk YaGI banyak didasari masukan dari konsumen. Dari konsumen juga Dara memperoleh dukungan serta dorongan untuk terus berproduksi. Salah satu pemakai YaGI, Flora Rosalia, merasa sangat terbantu.
“Kulit saya sensitif sekali. Gampang iritasi. Sulit sekali menemukan produk perawatan kulit yang cocok untuk kulit saya, saking sensitifnya. Saya senang sekali menemukan YaGI, brand lokal dengan spek tinggi,” kata Flora. Pemilik bisnis katering ini tambah senang karena menurutnya YaGI cukup mudah ditemukan di Banda Aceh. “Kemasannya juga bagus, meski saya rasa desainnya masih bisa dikembangkan lagi biar lebih kece.”
Seila Zhafira, Manajer Produksi di YaGI Natural, menjelaskan bahwa YaGI menggunakan bahan-bahan plant based alias dari tumbuhan. Tidak ada unsur hewani yang digunakan. YaGI juga tidak mengujicobakan produk-produknya pada hewan. Sebab, unsur plant based yang digunakan YaGI memenuhi standar keamanan MSDS (Material Safety Data Sheet) dengan persentase yang direkomendasikan.
Sarjana Farmasi lulusan Universitas Syiah Kuala ini menyukai pekerjaannya di YaGI, dan ingin mengembangkan YaGI lebih lanjut, sehingga nantinya bisa meningkatkan kualifikasi Grade B dari BPOM menjadi Grade A.
“Dengan kualifikasi ini, YaGI boleh memproduksi lebih banyak jenis produk, bahkan juga produk untuk bayi,” jelas Seila. Ibu satu anak ini bergabung dengan YaGI pada April 2018.
“Waktu itu saya baru menikah, dan kebetulan juga baru lulus beasiswa S2 Turkiye Burslari untuk Jurusan Farmakologi. Walau pun saya sarjana Farmasi, tapi saya tidak terlalu banyak tahu tentang industri farmasi. Nah, saat bergabung dengan YaGI, saya berkesempatan untuk belajar banyak tentang industri farmasi ini. Ternyata sangat menarik, menantang, dan menyenangkan. Industri farmasi di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat, sedangkan Aceh ini tidak ada sama sekali. Mula-mula bergabung di YaGI sebagai Kepala Produksi, saya jadi tertantang untuk mendalami lebih lanjut tentang industri farmasi. Akhirnya, beasiswa farmakologi di Turki tidak jadi saya ambil, karena saya ingin mempelajari industri farmasi,” lanjut Seila.
“Saya menikmati bekerja di YaGI, karena sebagai sebuah perusahaan start up, perusahaan yang masih berkembang, di YaGI saya bisa leluasa mempelajari berbagai ilmu manajemen terkait industri farmasi ini, dan juga mengembangkan berbagai inovasi. Seandainya saya bekerja di industri atau perusahaan besar, saya tidak akan memperoleh kesempatan mengembangkan diri seluas yang saya dapat di YaGI. YaGI juga ‘produk lokal’ Aceh yang digagas dan dikerjakan putra-putri Aceh, membuat saya makin bangga bisa menjadi bagian darinya.”
Ditanya faktor apa lagi yang membuatnya betah bertahan di YaGI hingga sekarang, Seila menjawab bahwa iklim kerja di YaGI Natural kondusif.
“Sejak awal bergabung, saya banyak belajar manajemen dari Kak Dara,” kata Seila. “Kak Dara punya cara unik dalam mendekati anak buahnya. Orangnya fleksibel dan rendah hati, gayanya tidak pernah ‘sok atasan’. Dia terbuka untuk ditanya, diajak berdiskusi dan lain-lain. Saat awal, saya belum tahu banyak soal kosmetik. Dengan telaten Kak Dara mengajari saya, step by step, sehingga saya paham.”
Saat ini Seila sudah memiliki beberapa orang staf, dan lebih banyak terlibat dalam manajemen produksi.
“Sesudah memiliki staf, saya meniru cara dan pendekatan yang dilakukan Kak Dara untuk mengelola tim saya. Kak Dara membebaskan saya untuk memiliki sistem sendiri dalam mengelola tim selama sistem tersebut sejalan dengan kebijakan YaGI secara keseluruhan. Dan ini sangat saya hargai,” kata Seila lagi.
Di ujung wawancara, Dara membawa sampel produk YaGI untuk saya coba. Ada body butter, sabun cair, dan sampo. Saya mencoba body butter. Kesan pertama saya, wanginya lembut dan natural, teksturnya “kaya”. Jelas tak ada bahan sintetis yang ditambahkan untuk memperkuat aroma, seperti aldehida misalnya.
“Ya, banyak konsumen berkomentar bahwa aroma YaGI seperti aroma produk-produk high end,” Dara tersenyum. “Saya rasa, bahan baku alami terbaik yang kami pakai sudah bicara sendiri tentang kualitas produk ini, tanpa kami harus banyak menjelaskan.”
Setelah sekitar delapan puluh menit, akhirnya saya tinggalkan gedung rukan tiga lantai yang berfungsi ganda sebagai rumah sekaligus kantor dan ruang produksi YaGI itu. Di kepala masih tertinggal kalimat Dara
“Kalau hendak membeli sesuatu, coba baca daftar ingredients-nya. Cari tahu, apakah ada bahan yang berbahaya untuk kesehatan. Kita harus punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan tidak berhenti mencari informasi.”
Sebuah saran yang bagus dan sangat masuk akal, dari seorang perempuan pengusaha yang tidak sekadar ingin kaya, tapi juga ingin membantu sesama.[]
Satu tanggapan untuk “Farhaniza Farhan; Arsitek yang Meniti Sukses di Industri Kosmetik”
Semangat Kak Dara, maju terus produk lokal..