Kategori
Kisah Perempuan

Peran Paralegal Perempuan dalam Mitigasi Bencana dan Preservasi Lingkungan

Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menggelar pelatihan paralegal perempuan dan workshop dan teungku inong (perempuan ulama), 27-28 Februari 2022, bertempat di Hotel Rasamala, Banda Aceh.

Aceh yang memiliki tutupan hutan terluas di Indonesia, membutuhkan semua tenaga dan kekuatan untuk mempertahankan keutuhan lingkungan hidupnya. Yayasan HAkA yang bergerak di lingkungan hidup, mengadakan pelatihan perempuan paralegal bagi aktivis di tingkat tapak (akar rumput)untuk memberi suara nyata pada perempuan di tingkat tapak yang bergerak di isu lingkungan.

Pelatihan paralegal ini diadakan secara teratur sejak tahun 2020, diikuti oleh perempuan aktivis lingkungan dari 11 Kabupaten di Aceh, antara lain Aceh Barat Daya, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan lain-lain.

Hadir pula Ibu Sumini, penggagas patroli Mpu Uteun di desa Damaran Baru, Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Desanya kini sudah menjadi Kampung Wisata Ramah Lingkungan (Ecovillage) yang memperoleh API Award 2020.

Ibu Sumini bersama fasilitator HAkA, Pak Budi Arianto

Patroli MpU Uteun kini beranggotakan sekitar 12 anggota aktif, belum terhitung para pendamping, yang berasal dari kaum bapak dan pemuda. Keunggulan strategi patroli Mpu Uteun dalam mengurangi kegiatan illegal logging di Desa Damaran Baru adalah komunikasi dari hati ke hati.

“Keahlian khusus perempuan adalah membaca gerak hati orang lain,”

ujar Sumini.

“Sejak awal patroli, kami membawa makanan dan minuman. Setiap bertemu pelaku penebangan liar, kami ajak mereka duduk ngopi, lalu mengobrol basa basi sampai akhirnya isi hati mereka tercurah. Di situlah baru kami pelan-pelan memberi mereka pengertian tentang bahayanya penebangan tak terkendali.”

MpU Uteun yang berarti “Penjaga Hutan” mulai aktif sejak bencana banjir bandang meluluh lantakkan Damaran Baru pada 2015. Mulanya mendapat cibiran terutama dari kaum lelaki, disebut “perempuan kurang kerjaan”, kini dengan didampingi Yayasan HakA Mpu Uteun justru menjadi penggerak ekonomi Desa Damaran Baru, dengan semakin berkembangnya wisata alam di sana.

Sumini memaparkan bahwa mereka juga sedang mengembangkan usaha penangkaran anggrek asli Tanah Gayo. Terutama jenis anggrek yang tumbuh di Bur ni Telong (bahasa Gayo = gunung berapi). Pada tahun 2019, beberapa ahli botani dari LIPI Bogor bahkan menemukan dua species anggrek baru di Tanah Gayo.

“Para ahli menyebut, rimba yang masih lebat di daerah kami menyimpan banyak spesies anggrek langka,” Sumini mengisahkan.

Bulbophyllum acehense | kompas.com

Salah satunya diberi nama Bulbophyllum acehense adalah anggrek epifit (menumpang tumbuh pada pohon lain) yang tumbuh alami di pegunungan hutan Aceh Tengah, Provinsi Aceh.

Ditemukan oleh Dr. Destario Metusala, M.Sc, Peneliti di Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya (PPKTKR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Epithet spesies menggunakan nama propinsi Aceh sebagai petunjuk bahwa kawasan Aceh memiliki keunikan diversitas anggrek yang tinggi. Penelitian diterbitkan di jurnal nasional Biologi Tropis.

Anggrek satunya diberi nama Paphiopedilum bungebelangi. Dalam bahasa Gayo, “bunga Belangi” berarti “bunga yang indah”

Ciri keluarga Paphiopedilum adalah bagian bunga yang berbentuk seperti bibir menggantung. Anggrek Bungabelangi memiliki bibir berwarna merah marun.

Anggrek ini masuk dalam regulasi Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), tidak boleh diperdagangkan.

Paphiopedilum bungebelangi | kompas.com

Dalam pelatihan selama dua hari ini, dua puluh paralegal perempuan seluruh Aceh berbagi pengalaman, membuka ruang komunikasi antar paralegal, untuk menyamakan dan memperkuat gerakan serta partisipasi perempuan dalam isu lingkungan hidup, khususnya di Aceh.

Hadir dalam sesi pertama, narasumber yang kompeten dalam bidangnya yaitu Sepriadi Utama, SH (Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh), Suraiyya Kamaruzzaman, MT (aktivis, Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim Universitas Syiah Kuala) dan Dr. Rina Suryani Oktari S.Kep., M.Si. (Kepala Tsunami Disaster Mitigation and Relief Centre USK).

Sesi tanya jawab dengan para pakar terasa hidup, bahkan sempat dihiasi tetesan air mata. Yaitu ketika paralegal wakil dari Aceh Tengah dan Aceh Barat Daya berbagi pengalaman mereka di lapangan.

Wakil Aceh Tengah, ibu Halimatussahdiah menceritakan tentang konflik masyarakat dengan gajah, sementara salah satu wakil Aceh Barat Daya (Abdya) dari Kecamatan Babah Rot, ibu Ira Maya, menceritakan perjuangannya mengadvokasi keberadaan tambang di desanya.

Jalannya diskusi larut menjadi agak emosional ketika Bu Diah menceritakan bahwa konflik dengan gajah di desanya sempat memakan korban tewas dari kalangan penduduk. Sementara Bu Ira Maya dengan berapi-api menceritakan usahanya memperoleh dokumen AMDAL dari tambang yang beroperasi di wilayah desanya, yang berujung ancaman.

Dari kiri ke kanan: Sepriady Utama, Suraiyya Kamaruzzaman, Rina Suryani Oktari

Menanggapi hal ini, aktivis kawakan Suraiyya Kamaruzzaman mengatakan bahwa sudah waktunya Ira Maya mengganti strategi advokasi.

“Jangan frontal. Gunakan jaringan, bergeraklah di belakang panggung,” nasihat Kak Aya, begitu dosen USK ini biasa dipanggil. “Cari dukungan dari tokoh yang memiliki “power”, biarkan mereka yang bicara.”

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Aceh, Sepriady Utama, SH, mengatakan bahwa segala pelanggaran HAM yang dialami ibu-ibu paralegal ini dilapangan dapat dilaporkan ke Komnas HAM.

“Dalam situasi pandemi ini, kami memiliki prosedur pelaporan secara online. Ibu-ibu sekalian tinggal melampirkan laporan kronologi kasus dan identitas pelapor, yang tentu saja akan kami rahasiakan,” kata Sepriady.

Sedangkan Dr. Rina Suryani Oktari S.Kep., M.Si. yang akrab dipanggil Okta, mengatakan bahwa kekuatan ibu-ibu di tingkat tapak ini dapat membantu menengarai potensi bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan. DR Okta juga mengingatkan, dalam situasi bencana, perempuan dan anak-anak adalah mereka yang mengalami dampak paling keras.

Karena itu, penting bagi ibu-ibu paralegal ini untuk mengetahui apa saja hak perempuan dan anak-anak, dan bagaimana memenuhi hak-hak tersebut. Bukan dalam situasi bencana saja, namun juga pada langkah-langkah strategis dalam proses mitigasi bencana.

Wakil dari Aceh Timur, ibu Yessi, yang sempat berbagi tentang bencana kebocoran gas PT Medco di kampungnya, merasa bahwa pelatihan ini benar-benar memberinya kekuatan untuk semakin siap bertindak, dan melancarkan advokasi.

“Bicara lingkungan, bicara advokasi lingkungan dan analisis sosial ternyata tidak hanya bicara tentang alamnya, hutan, tanah, air namun juga bercerita tentang interaksi sosial manusia denganalam sekitar, dirinya dgn org lain, dan juga bicara tentang bagaimana melihat dirinya sendiri, bagaimana mengetahui bahwa kita sudah mendapatkan apa yang  memang seharusnya didapatkan, baik itu pendidikan, kebebasan berpikir dan menentukan pilihan atas hidupnya,” ujar Yessi.

Teungku Inong: Agama dan Penyelamatan Ruang Hidup | Discover Aceh Official

Kemudian ia mengutip Dr. Danial Murdani, S.Ag., M.Ag, Rektor IAIN Lhokseumawe, dan Profesor Eka Srimulyani, Ph.D, guru besar UIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang juga merupakan narasumber dalam pelatihan ini:

“Kesadaran akan lingkungan hidup adalah sebagian dari keyakinan beragama,” katanya.

“Konsekuensinya, kita sebagai muslim wajib menjaga lingkungan hidup kita. Kalau mengutip Prof Eka, jangan sampai kita menjadi “kafir ekologis”, kita semua memiliki tanggung jawab terhadap alam raya ini.” pungkasnya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *