Kategori
Perempuan Berdaya

Menapaktilasi Perjuangan Profesor Eka Srimulyani dalam Menjembatani Mimpi Diri, Mahasiswa, dan Warga Desa

“Walaupun anak Ayah menikah, dia akan tetap lanjut kuliah. Nah, saya lihat kliknya di situ.”

Lengkungan senyum menghiasi wajah Eka Srimulyani saat menceritakan kenangan prosesi lamaran sang suami kepada orang tuanya. Sembari menyeruput kopi arang pesanannya, perempuan kelahiran Jeuram, Nagan Raya, Aceh Barat, ini menuturkan serangkaian kisah perjalanan hidupnya. Bertempat di sudut taman warkop T36 Banda Aceh, Selasa 18 Mei 2021, Eka membagikan pengalaman perjuangannya sebagai perempuan Aceh dalam menggapai cita-cita, sejak masa singlehood, menikah, hingga menjadi Ph.D Mama.

“Saat menjadi mahasiswa full-time, kita selalu dihantui beban pikiran. Ditambah lagi anak masih kecil. Jauh dari keluarga besar, apalagi saat itu masa konflik. Dulu sempat terpikir untuk menyerah. Tapi kehadiran pasangan yang tepat menjadi jembatan penguat. Frekuensinya ketemu. Visinya sama,” papar Eka terkait pengalamannya saat menempuh studi Doktoralnya (S-3) di University of Technology Sydney, Australia.   

Sebagai perempuan berkeluarga yang melanjutkan jenjang studi ke perguruan tinggi, dengan waktu dan energi yang serba terbatas, Eka menyadari bahwa menetapkan skala prioritas itu menjadi penting. Selain itu, pembiasaan diri menikmati tantangan dan keluar dari zona nyaman juga membantunya menjalani kehidupan dengan tenang walau berada di tengah gempuran riak-riak tekanan. Terutama ketika menempuh pendidikan di negeri orang.

“Konflik itu sendiri banyak sekali menyisakan rasa was-was. Saya dibesarkan dalam situasi yang tidak selalu nyaman, terbiasa dengan situasi-situasi yang tidak mudah. Saya sadar bahwa hidup itu tidak selalu tenang, indah, dan berbunga-bunga. Sehingga punya mekanisme proteksi internal. Saya lihat, kondisi Aceh yang secara umum tidak datar seperti ini membuat perempuan Aceh cukup kuat.”

Pernyataan tersebut sejalan dengan kutipan pendapat sang supervisor, Barbara Leigh. Dalam sekapur sirih buku bergenre inspirasi dan motivasi yang diterbitkan Eka di tahun 2020, Berjuang untuk Seimbang: Catatan Sederhana Tentang Keluarga dan Kerja, Barbara berpendapat. “Hal yang saya kagumi dari Eka adalah ketenangan hati. Ada beberapa tantangan besar yang dihadapinya dalam meraih cita-cita profesional, tetapi tekat kuat, pikiran penuh pertimbangan, dan ketenangan hati tetap menguasainya,” tulis Adjunct Professor University of Technology, Sydney, Australia ini.

Energi Cinta Pewujud Cita-cita

Dalam bukunya, Berjuang untuk Seimbang, Eka mengisahkan bagaimana keberhasilan cita-cita dan karirnya itu tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, terutama dari para perempuan. Kenangan baik, kasih sayang, dan teladan yang ia terima selama menempuh pendidikan itulah yang dia jadikan stok energi baik untuk disebarkan kepada orang-orang yang mampu ia jangkau.

Saat mengonfirmasikan pernyataan ini, Eka pun berkisah. “Saya dipertemukan dengan orang-orang baik. Aura itu yang saya nikmati dalam-dalam. Saya merasa mendapat kesempatan untuk berkembang. Jadi, kalau sekarang saya akrab bersama mahasiswa, karena pembimbing saya juga begitu terhadap saya. Saya diperlakukan dengan sangat baik sampai sekarang. Jadi saya mendapatkan contoh (role model).”

Bagi Eka, dalam mendidik manusia, contoh konkret selalu lebih efektif dibanding sekadar teori. Menurutnya, level mendidik itu tidak boleh hanya berhenti di tingkat kepintaran tetapi juga seharusnya menyentuh sisi-sisi kemanusiaan. “Menurut saya, maunya pendidikan itu tidak hanya pemenuhan pada level pengetahuan, tapi juga afeksi dan psikomotor, keterampilan, itu satu paket sebenarnya. Perubahan bukan cuma menjadi lebih pintar, ada pengetahuan. Tetapi juga afeksi, rasa, empati, dan juga pada tindakan,” jelas akademisi yang pernah dua kali menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry.

Pewujudan pendidikan itu seharusnya tidak melulu melalui medium formal seperti ruang kelas saja. Mendidik dan menjalin afeksi juga bisa dilakukan saat melakukan konsultasi di warung kopi atau kafe. Membentuk ruang-ruang suportif agar masyarakat mahasiswa bisa mengembangkan potensi terbaik mereka dan terhindari dari sifat ku’eh (bahasa Aceh).

Ku’eh—iri dan dengki—saya pikir, semua kita punya. Memang sulit untuk menjadi orang yang betul-betul ikhlas. Namun, kemampuan untuk merasa senang dengan kebahagiaan orang lain itu perlu dimiliki. Sebab jika tidak, justru akan menjadi sumber malapetaka. Kita ini kayak magnet energi kan. Jadi softskill saling dukung mendukung itu harus dibiasakan. Dilatih, misalnya dengan membiasakan diri mengapresiasi orang lain minimal sekali dalam satu hari,” papar sang akademisi UIN Ar-Raniry yang telah bergelar profesor sejak di usianya yang ke-37 tahun.

Eka juga berharap agar seluruh masyarakat, terutama mahasiswa, memotivasi diri agar terus belajar. Melatih keinginan untuk mengetahui banyak hal baru. Memberikan pemikiran dan perhatian terhadap lingkungan sekelilingnya. Bisa menerima kekurangan diri dengan terus berupaya menjadi versi terbaik mereka sendiri.

“Yang bagus kan kita menjadi pembelajar sepanjang hayat. Di dunia yang terus berubah, kekuatan dari dalam (inner) penting untuk dimiliki. Pendidikan itu jangan sampai menghasilkan tenaga buruh yang bisa digantikan mesin. Tapi kerja-kerja yang high order thinking and skills. Tapi jangan sampai masyarakat kita terlalu memuja teknologi dan sains sampai merasa hampa. Materialnya sudah tapi immaterialnya itu juga harus ada. Ada keseimbangan,” papar lulusan post-doctoral di International Institute for Asian Studies (IIAS) Leiden, Belanda ini.

Universitas Membangun Desa

Eka merupakan segelintir contoh guru besar perguruan tinggi yang tidak melekatkan citra kampus menara gading atau pendidikan tidak merakyat pada dirinya. Hal itu terbukti dari kesungguhannya untuk terus terlibat mendampingi masyarakat secara langsung bahkan sejak masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pada tahun 2006 silam. “Saya berinteraksi dan terlibat dalam isu-isu pemberdayaan masyarakat sudah sangat lama. Sesibuk apapun, saya tetap menyempatkan diri terjun ke lapangan. Ternyata, ini panggilan jiwa. Pada akhirnya, menurut saya, ilmu itu harus punya dimensi praktisnya, kebermanfaatan langsung bagi masyarakat,” ungkap sang peneliti senior di International centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).

Universitas Membangun Desa (UMD) adalah salah satu contoh program pengabdian masyarakat yang dilakukan UIN Ar-Raniry berkolaborasi bersama KOMPAK (DFAT). Ini merupakan sebentuk kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) termatik dengan fokus percepatan penanggulangan kemiskinan. Di sini Eka berperan dalam memberikan sentuhan desain program yang lebih pro rakyat. Sehingga KKN tidak hanya menjadi seremonial kampus semata. Kegiatan tersebut dilaksanakan sejak 2016. Kecamatan Arongan Lambalek pun terpilih sebagai lokasi binaan.

Saat kegiatan diinisiasi, berdasarkan data statistik, Arongan Lambalek adalah kecamatan termiskin di Aceh Barat. Kondisi ini disebabkan oleh nilai jual komoditi unggulan mereka yang turun drastis di pasaran. Sementara sawah sering dilanda banjir oleh luapan air sungai. Hal ini disebabkan oleh kerusakan kondisi hilir sungai yang tertutupi tumbuhan enceng gondok.

Sejak saat itu, Eka bersama timnya menggerakkan mahasiswa untuk bertransformasi menjadi aktor pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.Secara bergantian, gelombang demi gelombang mahasiswa KKN diturunkan di lokasi yang sama. Memang bukan hal yang mudah dalam membentuk pola pikir masyarakat agar berkembang. Namun, semangat untuk terus memajukan masyarakat desa tercermin jelas dari Eka. “Tantangannya, masyarakat kita belum selesai dengan membangun kembali trust, saling percaya. Jadi potensi konflik di gampong itu kadang-kadang ikut memengaruhi. Itu terjadi. Memang rumit. Membutuhkan kesungguhan. Tapi prinsip kita mencoba memediasi. Cari solusi,” ungkapnya.

Berbagai pendekatan dilakukan dan ragam tantangan dicoba selesaikan sebijaksana mungkin. Hingga akhirnya, masalah gulma enceng gondok yang membebani masyarakat itu justru bertransformasi menjadi hasil kerajinan yang memberikan pemasukan tetap bagi warga. Hasil kerajinan tersebut bahkan tembus hingga ke pasar internasional.

Bagi Eka, program pengabdian masyarakat tersebut tidak hanya memberi manfaat untuk warga sekitar, tetapi secara konseptual juga bisa digunakan sebagai acuan di tempat lainnya. Menurutnya, justru kebanyakan program dunia yang berdampak besar kerap kali dimulai dari pengabdian-pengabdian para dosen dan mahasiswa.

“Saya bahagia karena mahasiswa bisa kita ajak berpikir bersama, tidak hanya mementingkan diri sendiri. Pada akhirnya mereka pun bisa merasa, ‘Oh, ternyata keberadaan kami itu berharga.’ Pengrajin-pengrajin yang mereka dampingi sekarang sudah punya pendapatan sendiri. Keluarga-keluarga miskin sudah ada income tetap. Bahagia karena mereka bukan sekadar menjadi mahasiswa KKN untuk mendapatkan nilai. Tapi mampu membawa perubahan. Membawa masyarakat untuk memiliki motivasi,” cerita sang reviewer penelitian nasional dan internasional tersebut.

Harapan Bagi Generasi Muda

Sebagai seorang perempuan sekaligus ibu dari dua orang anaknya yang juga perempuan, Eka sangat menyadari pentingnya memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan untuk terus berkembang. Termasuk kesempatan memperoleh pendidikan. “Semua kita sebenarnya harus belajar sampai pada titik tertinggi yang kita mampu. Itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kebetulan anak saya perempuan. Semangatnya untuk belajar sampai pada titik yang dia impikan, tetap kita dukung terus. Jadi sebagai anak perempuan yang hidup dalam masyarakat Aceh dia tidak merasa terhalang mimpinya hanya karena dia seorang perempuan.”

Sistem patriarki yang mendarah daging di negeri ini kerap merugikan banyak pihak, terutama perempuan. Patriarki merupakan bentuk asimetris dari relasi kuasa (power relation). Kondisi ketidakseimbangan dalam membahagiakan kedua belah pihak, perempuan dan laki-laki. Pembebanan pada perempuan kerap terjadi bahkan melewati ambang batas kemampuannya. Sayangnya, pendidikan tinggi pada perempuan pun tidak serta merta berhasil menghapus sistem patriarki ini. Bahkan kini sistem tersebut menjelma menjadi bentuk patriarki wajah baru.

“Oh iya, ada sesuatu yang keliru dalam masyarakat kita. Itu yang dinamakan partiarki.Pendidikan untuk perempuan pun ada kalanya malah menghasilkan bentuk patriarki wajah baru. Perempuan sudah bekerja, tapi dia di rumah pun masih bekerja juga. Kan double burden. Menurut Prof. Al-Yasa’ Abubakar, ‘Dalam dimensi relasi memang pada tingkat tertentu kita perlu berkorban. Kadang-kadang pengorbanan itu sebuah kenikmatan juga.’ Tapi jangan melampaui ambang batas,” papar penulis Buku Keluarga dan Relasi Kuasa di Provinsi Aceh yang diterbitkan pada akhir 2020 lalu.

Menurut Eka, untuk mengubah sistem patriarki yang sudah mendarah daging di masyarakat itu perlu waktu dan keterlibatan lintas pihak. Harus ada program dari pemerintah, komunikasi yang dibangun antarkeluarga, juga upaya-upaya bersama yang dilakukan oleh lintas organisasi dan komunitas. Harus dibangun gerakan kolektif secara masif.

“Intinya, perempuan dan laki-laki itu saling bermitra, berkolaborasi, bukan berkompetisi. Kalau bahagia, ya dua-duanya bahagia. Tidak ada yang dirugikan. Jadi jangan pernah takut untuk saling mendukung. Toh, pada akhirnya, tidak ada pihak yang dirugikan ketika perempuan itu berpendidikan dan terberdaya,”tutup Prof. Eka mengakhiri sesi bincang-bincang seru sore hari itu.[]

2 tanggapan untuk “Menapaktilasi Perjuangan Profesor Eka Srimulyani dalam Menjembatani Mimpi Diri, Mahasiswa, dan Warga Desa”

Alhamdulillah tulisan yg berkelas utuk memberi semoga dan motipasi Bangi setiap yg membaca, beliau Profesor , memiliki ilmu dan mengamalkan nya, memiliki kepekaan sosial yg luar biasa, dayah Diniyah darussalam sampai sekang beliau yg mbayar listrik nya, moga beliau selalu dalam kasih sayang Allah swt

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *