Kategori
Perempuan Berdaya

Vivi Sharmila: Bisnis yang Berkembang Sarana Membantu Orang Lain

VIVI Sharmila atau yang lebih dikenal dengan sebutan Vivi Spa merupakan salah satu perempuan pengusaha di Aceh. Ia dikenal tidak saja karena usahanya, tetapi juga karena kiprahnya di masyarakat. Di Kota Banda Aceh, saat menyebut nama Vivi pasti akan langsung mengingatkan pada jenama Vivi Spa yang terdapat di sejumlah lokasi. Ini merupakan usaha berbasis perawatan tubuh yang mulai dirintisnya belasan tahun silam. Tempat ini sering menjadi akhir bagi kaum hawa untuk memanjakan diri, relaksasi, atau membuang penat bagi yang jenuh karena deraan rutinitas.

Suasana tempat perawatan yang nyaman dengan alunan musik relaksasi langsung menghadirkan perasaan tenang saat saya mengunjungi salah satu cabang Vivi Spa di Lampriet, Banda Aceh. Selain di sini, juga ada tiga cabang lainnya di kawasan Lamnyong, Lamlagang, dan Kampung Laksana. Dari empat lokasi ini mempekerjakan sekitar 80 perempuan.

Namun, siapa sangka, bisnis Vivi Spa yang terkenal ini, mulanya berawal dari garasi rumah? Pemiliknya, Vivi Sharmila, merupakan salah satu mantan terapis dari salon kecantikan ternama Indonesia, Martha Tilaar. 

“Saya lumayan terkenallah saat bekerja di Martha Tilaar. Jadi, setelah saya tidak bekerja lagi di situ, pelanggan-pelanggan saya dulu mencari keberadaan saya. Jadi, ada yang minta potong rambut, bonding dan sebagainya. Tidak mungkinkan, nggak saya layani? Kondisinya saat itu, saya masih tinggal di rumah saudara. Cuma ada garasi sebagai tempat yang memungkinkan untuk melakukan aktivitas salon saya. Padahal awalnya saya nggak niat buka salon, toh saat itu saya sedang mempunyai bayi yang harus saya asuh,” ujar Vivi saat berbincang.

Mulai dirintis sejak 2005, usaha Vivi berkembang pesat. Lantas bagaimana seorang Vivi mengembangkan bisnisnya, hingga akhirnya memiliki empat cabang dalam waktu 16 tahun, dan melatih ribuan perempuan dalam bidang kecantikan? Mari simak kisahnya agar bisa dijadikan contoh dan panutan.

****

Sabtu, 3 Juli 2021 saya tiba di Vivi Spa Lampriet di Jl. Mujair No.6, Bandar Baru, Kuta Alam, Kota Banda Aceh. Kedatangan saya kemari bukan untuk mempercantik atau memanjakan diri seperti tamu lainnya, melainkan untuk mendengarkan kisah perjuangan Vivi Sharmila dalam membangun bisnis spanya.

Perempuan berseragam batik menyambut ramah kedatangan saya. Dengan senyum lebarnya, ia menawarkan bantuan. Namun, setelah mengetahui kalau saya ingin menemui sang owner, ia pun menyilakan saya duduk di kursi tamu. Saya menikmati ketenangan di ruangan itu; alunan musik yang menenangkan dan interior yang sedap dipandang. Beberapa menit kemudian, akhirnya yang ditunggu muncul di balik pintu dari ruangan sebelah. Ia menyapa saya dengan senyum semringah, sambil memberi salam sesuai protokol kesehatan. Setelah basa-basi, kami pun beranjak ke ruangan sebelah yang merupakan ruangan butik Vivi Spa.

Di sinilah saya mulai menggali seluk-beluk terbentuknya Vivi Spa dari cerita perempuan kelahiran Panton Labu, 13 Oktober 1982 ini. Sebelum terjun ke bisnis spa, Vivi menempuh pendidikan formal terlebih dahulu di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Banda Aceh. Ia mengambil jurusan kecantikan sesuai minatnya.

Tahun 2000, Vivi menjadi salah satu murid yang terpilih dari jurusannya untuk mengikuti pelatihan di salon kecantikan Martha Tilaar Jakarta. Saat itu Vivi masih kelas tiga, padahal persyaratan untuk mengikuti pelatihan harus tamat SMK karena Martha Tilaar mau buka cabang di Aceh. Jadi mereka merekrut alumni dari SMK, untuk dilatih dan dijadikan terapis di salon mereka nantinya.

Karena Vivi mempunyai kemampuan yang bagus, maka dipilihlah oleh gurunya untuk mengikuti pelatihan tersebut. Setelah mengikuti pelatihan selama enam bulan di Jakarta, Vivi pun pulang ke Aceh dan menyelesaikan sekolahnya yang sempat tertinggal. Setelah lulus, ia langsung bekerja di Martha Tilaar dengan lima tahun kontrak masa kerja.

Tsunami Sebagai Batu Loncatan

Tsunami Aceh tahun 2004 menjadi batu loncatan bagi Vivi untuk memulai usahanya. Padahal kala itu, ia dan suaminya hampir saja ditenggelamkan oleh gelombang besar yang disebut tsunami. Vivi yang tinggal di Gampong Lampulo, sempat merasakan terombang-ambing selama enam jam bersama reruntuhan material tsunami. Pasangan muda yang baru tiga bulan menikah ini, harus berjuang untuk menyelamatkan diri. Mereka sempat digulung-gulung oleh air bah dan dijepit oleh beberapa balok kayu yang ikut tersapu oleh tsunami. Vivi dan suaminya terus berpegangan tangan, sambil mendorong balok-balok kayu yang menjepit tubuh mereka.

“Mungkin ada sekitar 10 batang dengan panjang 6 meter, balok yang mengapit kami bersama dengan air tsunami itu. Kondisi saya saat itu sedang hamil muda. Perut saya pun juga ikut terjepit. Saya berpikir, mungkin tidak selamat anak ini. Jadi, saya nggak memperdulikan lagi kehamilan saya. Jangankan untuk mengosumsi vitamin, makan nasi pun tidak,” kenang Vivi.

Selama tiga hari dalam pengungsian, Vivi dihantui rasa takut yang amat dalam. Mungkin tidak hanya dia, tapi semua orang yang mengalami peristiwa tersebut merasakan demikian. Kengerian tsunami seperti yang diberitakan televisi dan media masa, tidak seberapa dibandingkan dengan orang yang megalaminya langsung. Terlebih ketika muncul isu, ada tsunami susulan yang membuat para korban tsunami kocar-kacir, tidak tenang, dan lari ke tempat tinggi untuk menyelamatkan diri. Begitu pula Vivi yang berkali-kali harus naik-turun tangga, ketika mendengar isu yang tidak jelas kabar burungnya itu.

Psikis Vivi benar-benar terganggu saat itu. Ia menolak semua makanan yang diberikan kepadanya. Melihat kondisi Vivi seperti itu, suaminya pun membawa Vivi ke Bireun tempat saudaranya. Di sini mereka memeriksakan kehamilan Vivi ke dokter spesialis kandungan. Saat di USG, rupanya masih ada denyut jantung dari janin yang dikandung Vivi.

“Ini benar-benar mukjizat dan di luar nalar menurut saya. Sebab, perut saya waktu itu kejepit oleh balok-balok besar. Kalau dilihat kondisi perut saya yang biru-biru, penuh lebam bekas jepitan hantaman, tidak mungkin rasanya bayi tersebut bertahan. Tambahnya lagi saya sempat terminum air tsunami karena tenggelam saat digulung-gulung ombak itu. Qadarullah, ia selamat dan lahir tanpa ada kurang satu pun.” Ujar ibu dari dua anak ini.

Di situlah Vivi bersemangat lagi, ia pun kembali merawat kehamilannya dan mengonsumsi makanan sehat. Dua hari di Bireun, Vivi dibawa oleh suaminya ke Medan. Di sana mereka menumpang di rumah orang Aceh yang tinggal di Medan, sebelum akhirnya mereka berangkat ke Jakarta tempat ibu mertua Vivi.

Beberapa bulan di Jakarta, suami Vivi kembali ke Aceh untuk mengurus keperluan pekerjaan. Sedangkan Vivi tinggal di Jakarta dengan mertuanya hingga anak pertamanya lahir di Jakarta. Anak yang telah melewati banyak perjuangan untuk selamat dari bencana besar itu, diberi nama Najla Qanita.

Lima bulan usia Najla, Vivi pun pulang ke Aceh sambil membawa bayinya. Semua orang kaget melihat Vivi karena mereka mengira ia ikut menjadi korban keganasan tsunami. Bahkan ada yang sempat menitipkan doa saat tahlilan untuk Vivi, karena dianggap sudah meninggal dunia.

“Mereka kira saya sudah meninggal. Sebab tidak ada kabar apa pun tentang saya. Terlebih saya tidak terlihat di Aceh, eh tiba-tiba pulang ke Aceh gendong bayi. Kaget kan orang?” ungkapnya dengan gelak tawa.

Di Aceh, Vivi mulai kembali menjalani hidup barunya dengan tinggal di rumah saudaranya di Kampung Keramat. Ia pun kembali bekerja sebagai terapis di Martha Tilaar untuk menyelesaikan kontraknya yang enam bulan lagi tersisa. Setelah itu, Vivi tidak melanjutkan lagi kontraknya, tapi memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan fokus mengasuh anaknya.

Rupanya keberadaan Vivi dikenal oleh orang-orang di sekitarnya. Khususnya para mahasiswi yang pernah menjadi pelanggannya di Martha Tilaar. Mereka datang menemui Vivi untuk disalon, seperti gunting rambung, rebonding, dan sebagainya. Saat itu Vivi tidak memiliki modal apa pun karena dia tidak berniat untuk membuka usaha salon. Namun, karena sudah diminta oleh pelanggannya, maka dimanfaatkanlah garasi rumah tempat tinggalnya untuk melakukan aktivitas salonnya.

“Kebetulan saat itu saya belum punya mobil, jadi di garasi itulah saya nyalonin mereka sambil ayun-ayun anak. Saya hanya punya cermin kecil, terus kursi tempat duduk, gunting, dan satu buah kipas angin. Awalnya cuma diminta untuk potongin rambut, terus ada yang minta rebonding juga. Jadi saya belilah catokan yang murah-murah itu. Untuk mencuci rambut, mereka harus ke kamar mandi dan untuk mengeringkan rambut menggunakan kipas angin secara manual. Ya, begitulah keadaan awalnya,” kata Vivi.

Mulai dari garasi rumah, semakin banyak yang mengetahui aktivitas salon Vivi. Mereka tahu dari mulut ke mulut, hingga semakin hari kian bertambah pelanggannya. Dari yang semula lima orang, meningkat jadi sepuluh, lima belas, dan seterusya. Uang dari hasil salonnya itu, Vivi belikan barang-barang untuk kebutuhan salonnya, seperti beli cermin yang lebih besar, alat pengering rambut, dan beberapa produk perawatan lainnya. Sebab, ada pelanggan yang meminta perawatan wajah (facial) ke Vivi.

Vivi berbincang dengan salah satu karyawannya terkait pelayanan kepada pelanggan

Tamunya yang datang pun mulai dari kalangan atas dan orang hebat-hebat yang sebelumnya pernah menggunakan jasa Vivi saat ia bekerja di Martha Tilaar. “Saya tanya ke ibu itu, ‘apa nggak malu Bu perawatan di sini dengan kondisi salon seadanya ini?’ Nggak apa-apa asalkan dengan Vivi bilang ibu-ibu itu,” jelas Vivi saat menceritakan kisahnya ke saya.

Setahun kemudian, Vivi menyewa sebuah toko yang berada di Kampung Laksana, Jalan Darma, tepatnya di belakang Pertamina. Sebab, tidak memungkinkan lagi aktivitas salonnya dilakukan di garasi rumah karena pelanggannya semakin ramai. Ia membeli perabotan untuk kebutuhan salonnya itu ke orang-orang kampung yang dikenalnya, agar bisa dicicil bayarannya.

Di salon barunya itu, sudah ada enam buah cermin, bathtub, dan perabotan lainnya pun sudah lumayan lengkap. Vivi mulai mengajarkan keahliannya ini ke adik, kakak, dan saudara-saudara terdekatnya untuk membantunya di salon. Begitu pula dengan perempuan-perempuan yang putus sekolah, ia rekrut untuk dilatih dan bekerja di salonnya. Di sini Vivi mulai memberikan jasa pelayanan spa karena sudah mempunyai barang-barang yang menunjang pelayanan tersebut.

“Ada sekitar tujuh orang yang bekerja dengan saya saat itu. Alhamdulillah, karena pelanggannya lumayan ramai, setahun kemudian kita pindah ke toko yang lebih besar di sebelahnya yang dibeli dari hasil salon tersebut. Saya merekrut karyawan yang lebih banyak lagi, sekitar 15 orang. Mereka kita latih selama tiga bulan, uang saku kita kasih, dan setelah bisa, kemudian baru kita pekerjakan di Vivi Spa.” Jelas Vivi.

Dua tahun setelah tsunami, tepatnya Tahun 2006 Vivi yang semula tidak berniat membuka usaha sudah menjadi pengusaha muda yang sukses di bidang kecantikan. Tidak hanya lihai dalam menata rambut dan melakukan spa, Vivi juga seorang make up (MUA) pengantin yang cukup terkenal di Kota Banda Aceh. Sehari dia bisa mendadani empat sampai lima pengantin, bila sedang banyak yang mengadakan acara pernikah. Bahkan bila di saat musim wisuda, Vivi bisa mendandani 80-100 wisudawati yang akan di wisuda dalam sehari.

“Itu mulai dari jam tiga pagi sudah ada yang datang untuk kita dandani. Mungkin dari sekitar 500-an orang yang di wisuda dari berbagai fakultas, seratusnya dandannya ke kita. Jadi, ada empat dan enam asisten yang membantu saya saat itu. Sebab waktu itu, cuma ada tiga MUA yang ada di Banda Aceh, jadi wajarlah kita banyak mendapat orderan,” cerita Vivi dengan penuh semangat.

Begitulah aktivitas Vivi di salon kecantikan yang dibangunnya, hingga mempekerjakan banyak perempuan yang dilatihnya mulai dari nol. Semua karyawan yang bekerja dengan Vivi bukanlah orang yang siap jadi, melainkan ditempa terlebih dahulu hingga mereka mempunyai keahlian dalam bidang yang digelutinya. Vivi bukan saja mengajarkan keahlian dalam menata rambut, spa, atau perawatan tubuh lainnya kepada para perempuan yang direkutnya, tapi juga teknik komunikasi, dan cara melayani pelanggan dengan baik sehingga membuat nyaman setiap pelanggannya. Bahkan Vivi juga melatih mereka menjadi seorang trainer sehingga bisa melatih perempuan lainnya yang akan direkrut menjadi karyawan berikutnya.

Vivi juga selalu memberi motivasi kepada karyawannya agar mempunyai mimpi dan bersemangat untuk meraih kesuksesan. Di antara para perempuan yang dilatih dan pernah bekerja dengannya, juga sudah ada yang membuka usaha salon sendiri. Itu menjadi sebuah kebanggan bagi Vivi karena ilmu yang diajarkan bermanfaat untuk orang lain dan mendatangkan penghasilan buat mereka.

Menurut Vivi kurang lebih ada seribu perempuan yang pernah dilatihnya sejak tahun 2005. Berbagai macam karakter perempuan sudah pernah dihadapi dengan bermacam tingkah perilaku. “Ada yang sudah sukses buka usaha salonnya sendiri, bisa jadi pelatih buat calon karyawan baru yang direkrut, ada yang masih bekerja dari pertama sampai sekarang, tapi banyak juga yang bertingkah dan melanggar kontrak secara sepihak. Alasannya juga beragam, karena sudah menikah, ada yang tidak cocok kemudian keluar, dan banyak juga yang berkhianat kemudian kabur tanpa ada kabar.”  

Perjalanan Vivi dalam mengembangkan bisnis spanya, sebenarnya tidak seperti yang terlihat mulus-mulus saja. Banyak kendala dan air mata di awal membangun bisnis spanya. Jika bukan karena pasionnya, mungkin Vivi sudah duluan menyerah sebelum sukses seperti sekarang. Namun, kendala itu akhirnya bisa juga dilaluinya setelah mengikhlaskan semua masalah yang menghampiri dirinya.

Kendala dalam Bisnis Spa

Pijat gratis untuk nenek-nenek di panti jompo

Vivi mengatakan kendala utama dalam merintis bisnis spa ini terletak pada sumber daya manusianya. Sebab yang ia bangun bukanlah barang atau benda, tapi manusianya. Bagaimana yang awalnya mereka tidak bisa apa-apa, menjadi orang yang mempunyai keahlian khusus sehingga mendatangkan penghasilan bagi mereka. Tentunya dalam mendidik manusia itu butuh kesabaran dan keikhlasan, karena bila tidak, akan menjadi bumerang bagi diri jika harapan tidak sesuai dengan kanyataan.

“Di awal-awal merintis usaha, saya sempat kaget dan stress berbulan-bulan ketika dihadapkan dengan masalah. Sebab masalahnya bukan karena nggak ada pelanggan, tapi di karyawannya. Ada yang sudah kita ajarkan kemudian mereka bertingkah saat bekerja, susah diatur, tidak melayani pelanggan dengan baik, tidak bisa diajak bekerjasama, dan sebagainya. Namun, yang paling menyakitkan itu di antara masalah lainnya, yaitu ketika setengah dari karyawan saya berhenti bekerja dan diambil oleh orang lain yang baru membuka bisnis spa dengan iming-iming gaji yang lebih besar dari gaji yang saya berikan.” 

Padahal saat itu Vivi sudah melatih mereka mulai dari nol dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit selama masa pelatihan. Persoalan ini benar-benar menjadi masalah besar bagi Vivi, bahkan ia sampai ingin menyerah. Beruntung ia mempunyai suami yang selalu memberi motivasi dan semangat di kala ia jatuh.

“Suami saya bilang, ‘ilmu yang kamu kasih itu adalah ilmu bermanfaat untuk mereka, jadi kamu harus ikhlas memberikannya. Memang ikhlas itu tidak sekadar diucapkan di mulut, sakit hati dan kecewa pasti ada. Namun, lama-kelamaan kamu akan belajar mengikhlaskan dan melepaskan mereka dengan rasa tanpa beban. Perlu kamu ingat bahwa rezeki itu buka dari mereka, tapi dari Allah melalui mereka. Namun, bila mereka sudah tidak cocok dengan kita berarti itu bukan rezeki kita. Ada cara lain yang Allah gantikan untuk kamu nantinya.’ Dari situlah saya belajar menjadi pemimpin yang bijaksana, mempunyai hati yang luas, sehingga ketika menghadapi persoalan seperti itu saya bisa mengikhlaskannya tanpa beban,” jelas Vivi.

Vivi tidak mau membawa persoalan yang dihadapinya melalui jalur hukum. Walaupun sebenarnya jalan itu bisa ia tempuh karena para karyawan tersebut masih terikat kontrak kerja dengannya. Namun, Vivi lebih memilih mengikhlaskan dari pada memperpanjang persoalan. Ia mengikhlaskan semua ilmu yang sudah diajarkan kepada mereka karena amalan dari ilmu yang bermanfaat itu, tiada henti selama mereka masih mempergunakannya untuk jalan kebaikan.

Selain itu, ada tahap yang lebih menyakitkan lagi yang menurut Vivi tidak pantas untuk ditiru. Seorang karyawan yang menjadi kepercayaannya, justru membuka usaha salon yang konsepya sama dengan Vivi Spa tanpa sepengetahun dirinya. Kemudian merekrut semua pelanggan terbaik Vivi ke salon yang dibuka karyawan tersebut.

“Bagi saya sebenarnya tidak masalah kalau dia membangun usaha spa, karena dia sudah bekerja dan mungkin ingin mandiri juga dengan membuka usaha sendiri. Harusnya dia sudah keluar dulu dari tempat saya, baru membangun usahanya sendiri. Bukannya membangun usaha, tapi posisinya dia masih bekerja dengan saya sebagai seorang terapis. Otomatis dong saat dia bekerja di tempat saya, dia mengajak pelanggan saya pindah ke tempat dia,” ujar Vivi sedikit kesal.

Bahkan karyawan tersebut menjiplak semua konsep Vivi Spa, mulai dari menu, produk, dan seragam karyawan yang digunakan sama seperti yang dibuat Vivi. Padahal saat itu si karyawan masih terikat kontrak kerja dengan Vivi Spa. Saat Vivi mengklarifikasi semuanya ke dia, justru karyawan tersebut keluar dari Vivi Spa dengan tanpa terhormat dan meninggalkan Vivi begitu saja.

Manager Vivi sempat geram dan marah saat itu atas perilaku karyawan tersebut. Namun, apa yang dilakukan Vivi? Dia hanya diam dan mengikhlaskan tanpa mau memperkarakan hal itu. Baginya itu adalah ujian dan tantangan dalam bisnis spa.

“Saya tidak mau direpotkan dengan masalah-masalah kayak gitu. Setiap usaha pasti punya masalah, dari 100% perjalanan usaha hanya 40% yang aman. Selebihnya yang 60% itu adalah masalah. Jadi, saya nggak mau berlama-lama dengan masalah itu. Bila ada satu karyawan yang bermasalah, saya harus melepaskannya karena saya masih punya puluhan karyawan lainnya yang loyal ke saya. Anggap saja itu bukan rezeki saya dan saya nggak mau dipusingkan lagi dengan masalah tersebut. Makanya saya lebih memilih diam dari pada memperkarakannya.”

Fokus Vivi dalam mengembangkan bisnis spanya bukan pada masalah. Ia tidak mau terbeban dengan masalah seperti yang diceritakan di atas. Bila ada karyawan bermasalah, dia melepaskan karyawan tersebut bila dianggap sama-sama tidak cocok lagi. Kemudian Vivi merekrut orang baru yang kemudian dilatihnya lagi dari awal sampai siap jadi. Tak heran bila ditotalkan sejak tahun 2005, perempuan yang pernah dilatih Vivi sampai ribuan jumlahnya. Sebab masalah dalam bisnis spa ini selalu ada dan tidak jauh-jauh dari keloyalan seorang karyawan.

Fokus Vivi ialah bagaimana ia bisa tetap menjalani usahanya dan membuka cabang lebih banyak lagi, bahkan bisa di seluruh daerah yang ada di Aceh kemudian di luar Aceh. Itu terbukti sampai sekarang Vivi masih bisa bertahan dan terus melebarkan sayap usahanya ke berbagai daerah.

“Sekarang kita lagi proses tahap pembangunan Vivi Spa di Meulaboh dan Bireun. Lokasinya sudah dapat, tinggal launching saja lagi nanti mungkin di pertengahan atau akhir tahun ini.” Vivi sangat senang dengan apa yang diperolehnya saat ini.

Menurut Vivi untuk bisa sampai ke titik di mana ia harus mengikhlaskan semua masalah tersebut, butuh pembelajaran panjang. Pembelajaran itu ia dapat dari suami yang terus mendukung dan menyemangati Vivi ketika dihadapkan dengan masalah. Sebab yang menjadi masalah itu bukan karena tidak ada pelanggan atau dengan rumah tangganya, tapi terletak pada sumberdaya manusianya.

Vivi berharap ke depan bisa terus membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi perempuan. Dia terus melatih orang-orang yang menginginkan ilmu darinya walau ada yang akhirnya menghiantai. Namun, itu dianggapnya sebagai tabungan amal di akhirat kelak karena yang diajarinya ilmu yang bermanfaat. Vivi juga berkeinginan suatu saat nanti ia bisa melatih dan mendidik para ibu rumah tangga yang suaminya tidak mempunyai penghasilan. Dengan adanya keahlian yang dilatih, berharap akan mendatangkan penghasilan buat mereka dan keluarganya.

Aktivitas Sosial

Pelatihan menjahit untu ibu-ibu

Memiliki usaha yang mapan menjadi sarana bagi Vivi untuk kegiatan-kegiatan sosial. Ia memiliki orgnisasi nirlaba yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan yang bernama Yayasan Dara Mandiri Aceh. Yayasan ini berdiri pada 2018 dan Vivi merupakan pembinanya.

Melalui yayasan ini, ia menularkan semangat berbagi kepada mereka yang hidupnya kurang beruntung. Ia memberikan pelayanan kepada mereka sesuai bidang yang ditekuninya. Misalnya, memberikan potong rambut gratis untuk anak-anak di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kampung Jawa.

Pernah juga melakukan kegiatan yang sama dan berbagi dengan anak-anak panti asuhan Yayasan Islam Media Kasih, kegiatan memberikan pijat gratis untuk nenek-nenek di panti jompo Aceh, dan potong rambut bagi pasien di Rumah Sakit Jiwa Aceh.

Selain itu, Vivi juga membuat pelatihan gratis menjahit hijab syari di Gampong Lampulo, Gampong Keramat, dan Gampong Laksana. Vivi juga memberikan mainan dan buku cerita untuk anak-anak di Baby Care Bunda Meri. Kegiatan sosial ini rutin dilakukannya setiap tahun.[]

12 tanggapan untuk “Vivi Sharmila: Bisnis yang Berkembang Sarana Membantu Orang Lain”

Sosok perempuan yang inspiring sekali yaaaa, bisnisnya ternyata bisa menjadi lahan pekerjaan untuk orang banyak yaa

Bener-bener salut dengan perjuangan, ibu vivi sharmila ini,menjadi pebisnis atau wirausahawan yang sukses tentunya bukanlah hal mudah. diperlukan pengorbanan, kerja keras, yang tinggi dan tak mudah tergoyahkan agar bisa mencapai kesuksesan yang didambakan

Masya Allaaah mbak, merinding bacanya
Allah Maha Besar, dan semangat mbak Vivi ini, ketelatenan, ketekunan, keahlian, sekaligus semangat bebagi dengan ibu ibu di panti jompo…..

brebes mili saya bacanya, saya sekarang tahu,
ALlah memantaskan seseorang itu dengan segala peristiwa yang mereka alami, terimakaasiiiihhhhhh sudah berbbagi pengalaman mbak Vivi, turut mendoakkan keberhasilannya ya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *