Kategori
Perempuan Berdaya

Bisnis Kuliner Sehat Tarcake yang Menyejahterakan Perempuan

Di teras sebuah rumah di Gampong Meunasah Papeun, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar, seorang perempuan muda dengan setelan baju rumahan tampak sedang sibuk. Ia tampak sangat cekatan. Indra penciuman saya menangkap aroma sedap yang mengundang selera makan. Aroma itu berasal dari olahan sayur yang baru saja matang; kuah pliek. Gulai sayur khas Aceh yang menjadi primadona dan kerap dihidangkan di acara-acara istimewa. Selain itu, juga terlihat ada telur asin, kerupuk, buah potong serta jus buah. “Sedang mempersiapkan pesanan untuk katering,” kata perempuan itu sambil meneruskan pekerjaannya.

Dialah sang owner bisnis kuliner Tarcake, Sri Fatmawati, yang akrab disapa Tari. Tak lama kemudian, pekerjaan Tari pun beres. Barulah kami bercakap-cakap perihal usahanya yang semula dirintis sebagai penopang hidup itu.

“Dari semenjak ayah meninggal, itu kan down kali, ya. Mamak enggak punya kerjaan. Dari dulu selalu bergantung sama suami. Makanya Tari gini, ‘Ya Allah, jangan sampek aku gitu’. Sedih sesedih-sedihnya.”

Kalimat tersebut diutarakan secara mendalam oleh Tari. Pengusaha kuliner kelahiran Langsa tahun 1993 itu kembali menguak memorinya satu dekade silam. Pecahan kisah hidup yang memotivasinya untuk menjadi seorang perempuan yang berdikari. Perempuan mandiri yang mampu menolong diri sendiri dan perempuan lain di sekitarnya.

Sejatinya, Tari telah terjun ke dunia bisnis kuliner dan food service sejak duduk di bangku SMK. Kemampuan dan kemauannya dalam memanfaatkan skill masak-memasak telah menyelamatkan pendidikannya, bahkan ia berhasil mengukir prestasi di tingkat nasional. Hal tersebut membuatnya memperoleh beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), FKIP PKK, Jurusan Tata Boga.

“Jadi, semasa SMA, Tari belajar masak. Diajak guru mengurus katering, ikut. Jam pulang sekolah, Tari enggak pulang. Tari masak di lab, dapur sekolah. Nanti terkadang jadi pramusaji, dapat lagi duet. Kan alhamdulillah bisa bayar uang sekolah. Waktu itu umur baru 17 tahun,” katanya saat kami berbincang di rumahnya, Sabtu, 20 Februari 2021.

Kondisi hidup yang keras tak lantas membuat Tari menyerah. Bagaikan phoenix, ia terus bangkit. Sebagai contoh, di tahun awal perkuliahannya dulu, Tari sempat menghadapi krisis kesehatan akut. Hal itu disebabkan oleh kondisi finansialnya yang buruk. Namun, lagi-lagi, usaha kuliner yang dia jalankan telah menyelamatkannya dari lubang keterpurukan.

“Awal kuliah, Tari dikasih mamak uang 100 ribu per minggu untuk kuliah dan makan. Kami enggak ada ayah. Jadi Tari maklum. Enggak pernah nuntut. Dulu sewa kos satu kamar bertiga. Tidur udah kayak ikan asin. Terus, hampir setahun hidup gitu, tahan-tahan makan. Kena tipes Tari, pingsan. Akhirnya Tari coba berjualan kue. Supaya ada pemasukan lain untuk bertahan hidup semasa kuliah.”

Di saat anak seusianya memanfaatkan waktu luang untuk bersantai atau nongkrong bareng teman, Tari justru mulai menjalankan bisnisnya. Menariknya, usaha kuliner tersebut tidak hanya dikerjakan seorang diri. Dia turut menawarkan pekerjaan tersebut pada teman-teman sekosannya. Tentu tawaran itu disambut baik oleh mereka. Lumayan membantu mereka menghemat uang sekali waktu makan setiap harinya.

Di samping dukungan tenaga kerja dari teman-temannya, Tari juga mendapatkan dukungan berupa ilmu dan jejaring bisnis dari para dosen di kampusnya. Berbagai kegagalan dan kebingungan teratasi berkat keberaniannya untuk selalu bertanya.

Anak ketiga dari delapan bersaudara ini merupakan seorang perempuan pendobrak stigma. Baginya, memasak bukanlah sebatas aktivitas domestik. Namun, merupakan keahlian yang bisa menjadi ladang bisnis, bahkan amal yang semestinya bisa dipelajari dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan semua orang, termasuk perempuan.

Mantan Professional Pastry Chef Hotel Kyriad Muraya ini juga beberapa kali tampil sebagai pelatih kuliner. Dia memberikan pelatihan pengelolaan makanan sehat (non-MSG) bagi para anggota PKK di beberapa desa di Provinsi Aceh. Bagi Tari, apa pun yang terjadi, perempuan harus punya keterampilan yang membuat mereka sejahtera dan juga merdeka secara finansial.

“Seharusnya sebagai perempuan kita tidak ketergantungan sama suami sih. Supaya enggak linglung nantinya. Walaupun sekaya apa pun kita, tetap harus terjun juga. Kita punya sesuatu yang memang menghasilkan. Apa saja bisa. Apalagi sekarang zamannya udah sangat mudah kan. Bisa jualan online.

Program Berbagi “Jumat Barakah”

Sembari terus menjalankan bisnis kue dan jasa boga (katering) dari rumah, sejak 2020 lalu Tari pun menerima amanah baru. Seorang sejawat memintanya membuatkan makanan untuk disumbangkan kepada yatim-piatu. Dia juga diminta tolong untuk mencari rumah yatim yang sesuai. Menyanggupi ajakan tersebut akhirnya Tari berinisiatif untuk menjalankan program tersebut secara masif dan kontinu setiap Jumat. Tari pun mengajak serta kawan dan kenalan lain untuk terlibat dalam program kebajikan tersebut.

“Kita cari rejeki harus ada ibadahnya, sedekahnya. Alhamdulillah, sudah jalan lima bulan sampai sekarang. Konsisten sedekahnya setiap Jumat ke Panti BTRG, Ceurih. Di sana ada 73 anak. Kadang ada yang sumbang 30 bungkus atau 20 bungkus. Ada yang kontinu 5 atau 6 bungkus terus. Kalau mau menyumbang 1 bungkus boleh juga.”

Menurut keterangan Tari, Program Jumat Barakah awalnya hanya dikerjakan berdua dengan sang suami. Dari berbelanja, memasak, packaging hingga mengantar makanan tersebut ke Panti Asuhan Yatim Piatu Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (BTRG), Gampong Ceurih, Ulee Kareng. Namun, karena hanya berdua, aktivitas tersebut sangat menguras tenaga mereka. Konon lagi suami Tari, Munandar Syamsuddin, juga punya pekerjaan lain yang wajib dikerjakan di kantornya. 

Akhirnya Tari pun merekrut beberapa pekerja lepas berupa ibu-ibu yang tinggal di sekitar tempat tinggalnya, di Desa Meunasah Papeun, Krueng Barona Jaya. Akan tetapi ternyata masalahnya tidak berhenti di situ. Keterbatasan ilmu dan kemampuan komunikasi masyarakat “asoe lhoek” menjadi tantangan baru bagi Tari.

“Pekerjanya rajin cuma enggak bisa masak. Jadi Tari bimbing. Senang mereka kerja sama Tari, ‘Mudah rejeki ya, mudah rejeki’. Selalu didoakan begitu. Terus satu lagi, kendala bahasa. Ibu-ibunya enggak bisa bahasa Indonesia. Apalagi bahasa Aceh Rayeuknya itu beda kali. Susah translate-nya. Kadang Tari kesel kan, tapi harus sabar, sabar, sabar.”

Tari juga menyebutkan bahwa harga bahan-bahan makanan yang terkadang melambung tinggi juga menjadi kendala tersendiri. Namun, menurutnya, suaminya sangat mendukung proses bisnis yang dia jalankan. Komitmen yang mereka bangun bersama semenjak sebelum menikah membuat Tari cukup leluasa untuk terus mengembangkan passion-nya di bidang bisnis kuliner.

“Usaha Tari semua ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan suami. Kawanin belanja. Antarin pesanan. The best-lah pokoknya. Enggak salah lho kita minta tolong suami. Dikomunikasikan aja. Sebelum menikah pun kami sudah bangun komitmen. ‘Bang, nanti setelah kita nikah, jangan larang-larang adek kerja ya. Selagi pekerjaan itu enggak di luar batas dan adek masih menghargai abang’. Soalnya bisnis ini memang udah jadi panggilan jiwa Tari,” katanya di ujung pertemuan.[]

6 tanggapan untuk “Bisnis Kuliner Sehat Tarcake yang Menyejahterakan Perempuan”

Salut sama perempuan² kreatif, dan berbakat. Terlebih yang selalu peduli dg perempuan lainnya agar mampu berdaya juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *