Kategori
Perempuan Berdaya

Transformasi Badriah A Taleb; dari Korban dan Penyintas hingga Pejuang Hak Asasi Perempuan

Mengenakan setelan blazer dan rok hitam, jilbab dasar putih bermotif bunga violet dan biru, wajahnya sesekali dibuat meriah oleh senyum merekah. Tutur katanya lembut, jawaban dan ceritanya mengalir runtut dan teratur. Ia memesan kopi, yang disesapnya sedikit-sedikit selama berbincang. Sesekali ekspresinya menguat, ketika menuturkan beberapa hal yang mengungkit kenangan tak menyenangkan. Darah ulee balang Aceh tampak jelas membayang dalam kalimat-kalimatnya. Hari itu kami bertemu di sebuah kedai kopi di Banda Aceh, Jumat, 12 Maret 2021.

Namanya Badriah A Taleb. Biasa disapa Kak Bad, perempuan berputra tiga ini adalah pendamping korban, saksi, dan sekaligus penyintas kekerasan fisik dan mental.

“Saya menyaksikan bagaimana perempuan kawan-kawan sekampung saya berkali-kali menjadi korban kekerasan. Baik itu kekerasan psikologis, maupun kekerasan fisik,” tutur Badriah memulai. “Pelaku kekerasan bervariasi. Mulai dari pasangan hidup, orang tua hingga pada masyarakat sekitar.”

Badriah menengarai bahwa perilaku kekerasan pada perempuan di kampungnya adalah warisan dari sistem kemasyarakatan yang dipahami secara parsial.

“Seperti yang saya alami sendiri. Saat menikah ditahun 1992, suami saya saat itu melarang saya  keluar rumah untuk keperluan apa pun, kecuali untuk menggarap sawah,” terang Badriah. “Saya dilarang mengenakan baju model lain, kecuali baju kurung yang panjangnya hingga ke lutut, dikombinasikan kain sarung. Kalau ke sawah, saya harus mengenakan sehelai kain panjang menutupi kepala dan seluruh tubuh saya. Bagian depan kain itu harus ditarik mengalingi muka, agar menghalangi tatapan langsung orang ke wajah saya. Rambut saya sangat panjang kala itu, sampai terjela di tanah, karena perempuan muda tidak boleh memotong rambutnya.”

Sedari kecil, sebagai seorang perempuan dari keluarga ulee balang, Badriah dididik untuk selalu mengenakan baju dan rok panjang. Ia juga dilarang untuk bermain di luar rumah. Pulang sekolah, ia harus tinggal di rumah menjaga adik-adiknya.

“Sampai kelas lima SD saya tak punya kawan bermain,” cerita Badriah. Lulus SMP, perempuan kelahiran Meunasah Lhok, Aceh Utara tahun 1975 ini, dilarang untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Alasannya, toh kelak ia harus menikah, melahirkan, dan mengurus keluarga. Tidak perlu sekolah terlalu tinggi untuk melakukan itu semua.

Badriah melanjutkan pendidikan dengan mondok di pesantren. Tapi ia hanya sanggup melakoninya selama delapan bulan, karena masuk pesantren bukanlah cita-citanya.

“Saya ingin kuliah di FKIP. Jadi guru,” ujar Badriah. Namun, orang tuanya hanya mengizinkan abangnya untuk kuliah, di fakultas hukum. Sedang Badriah sendiri tidak diizinkan.

“Saya masih sering memikirkannya. Berandai-andai, seandainya saya boleh kuliah waktu itu, mungkin sekarang sudah berhasil,” mata Badriah agak menerawang, mengingat-ingat masa lalunya. Abangnya, yang kuliah di fakultas hukum, keluar setelah dua semester.

Selama di pesantren Badriah sakit-sakitan. Diam-diam ia memendam derita batin karena mondok di situ tidak sejalan dengan keinginannya.

“Karena kesal, akhirnya saya putuskan untuk menerima lamaran seseorang,” kata Badriah. Itu terjadi saat usianya baru menginjak 17 tahun. Setelah menikah, pasangan baru itu tinggal di rumah sederhana yang dibuatkan orang tua Badriah. Untuk membiayai hidup, Badriah menggarap sawah.

Suaminya, yang sebelum menikah tidak begitu dikenalnya, tidak pernah membantunya bekerja. Lelaki itu juga sering pulang dalam keadaan mabuk. Badriah mencari nafkah sendiri dengan menjadi buruh pabrik bata, juga buruh tani.

“Semua saya kerjakan sendiri. Mulai dari membersihkan, membajak, menyemai benih hingga menanam. Saat padi tumbuh dan memerlukan perawatan, saya juga yang mengerjakan. Walaupun sedang hamil atau menyusui,” Badriah tersenyum pahit mengingat masa itu. “Suami saya baru akan turun tangan bila sudah waktunya panen. Saat itu dia justru akan melarang saya ke sawah. Dia sendiri yang memanen padi yang saya tanam, dia yang mengangkut, dia yang menjual dan menguasai seluruh hasilnya. Saya dan anak-anak tidak kebagian apa-apa.”

Di sisi lain, Badriah mengatakan bahwa sang suami tidak melakukan kekerasan fisik terhadapnya.

“Kalau soal itu, tidak. Saya tak pernah dipukulnya,” kata Badriah. “Tapi selama 13 tahun menikah, masa-masa dia tinggal dan berada di rumah bisa dihitung dengan jari.”

Selama pernikahan mereka, suaminya boleh dibilang tak pernah hadir untuk Badriah dan anak-anak mereka.  Dengan alasan bekerja, lelaki itu selalu bepergian. Tidak pula sebentar kepergiannya itu.

“Kadang dua tahun, pernah juga hingga lima tahun lamanya,” kata Badriah. “Kalau sesekali dia pulang, dibawanya dua pak biskuit, satu bungkus roti, beberapa bungkus mi instan. Itu saja, pemberian yang saya dan anak-anaknya terima. Selain itu tidak ada lagi.”

Suatu kali di tahun 2003, setelah suaminya pulang sebentar ke kampung, Badriah mengajak anak-anaknya untuk mencoba mencari si ayah. Saat itu Badriah dalam keadaan hamil dua bulan. Mereka sampai di Banda Aceh dengan bekal sangat tipis. Karena tahu bahwa ayah mereka konon berjualan es krim, kala melihat seorang penjual es krim salah satu putra Badriah berseru, “Ayah!” Agar tidak terlalu malu, Badriah membeli es krim seharga lima ratus rupiah. Kemudian sang tukang es krim bertanya, mengapa anak Badriah memanggilnya ayah. Pertahanan Badriah runtuh, diceritakannya semua. Si tukang es krim iba bukan buatan, diajaknya Badriah dan anak-anaknya untuk sementara tinggal di rumahnya. Selama tinggal dengan Pak Es Krim, Badriah tidak lelah memperlihatkan foto suaminya pada tukang-tukang es krim lain. Sampai akhirnya, ada yang mengenal suami Badriah, dan bisa menunjukkan alamatnya.

Penuh harap, Badriah pergi ke alamat tersebut. Benar, suaminya tinggal di situ. Namun, harapan Badriah hancur saat dilihat suaminya ternyata sudah hidup dengan perempuan lain. Badriah hanya menyampaikan bahwa ia hamil, dan malamnya kembali ke Aceh Utara. Sejak saat itu mereka putus komunikasi. Sang suami tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Namun, juga tidak menceraikannya.

Dari apa yang dialaminya sendiri, Badriah menilai bahwa pemahaman masyarakat kampungnya tentang hak dan kewajiban suami istri selama ini masih bersifat tradisional. Yaitu pemahaman yang sifatnya turun-temurun. Belum terdapat kesadaran untuk mempelajari lebih lanjut, apa yang sesungguhnya ada dalam ajaran agama Islam.

“Setelah mengikuti kegiatan dan diskusi dengan lembaga pemberdayaan perempuan yang mengadakan program di kampung, barulah terbuka pikiran saya,” kata Badriah. “Pelan-pelan saya mulai memahami posisi, hak, dan kewajiban seorang perempuan yang diatur dalam agama, juga yang diatur oleh negara.  Hak dan kewajiban perempuan sebagai istri, sebagai ibu, dan sebagai individu. Sebelum itu, pemahaman saya terbatas pada ajaran tradisional bahwa seorang istri wajib mematuhi apa pun kata suaminya, karena ‘surga seorang istri terletak di telapak kaki suaminya‘. Mempertanyakan keputusan suami, apalagi menentangnya, adalah dosa besar,” jelas Badriah, merujuk pada hadits populer ‘…law shaluha libasyarin ayyasjuda, libasyaril la amartul mar ata antasjuda li zawjiha, min ‘izhami haqi alayha.’ (…andaikan pantas, maka aku (Rasulullah salallahu ‘alayhi wassalaam) akan perintahkan seorang istri untuk bersujud pada suaminya, sebab besarnya hak suami pada istrinya. (HR Tirmidzi dan al Hakim))

“Malam setelah saya paham bahwa seorang istri ternyata tidak hanya harus melaksanakan kewajiban, namun juga memiliki hak yang harus dipenuhi oleh suaminya, saya menangis sejadi-jadinya. Barulah saya tahu, bahwa apa yang selama ini saya yakini sebagai hal yang wajar dilakukan oleh seorang suami, ternyata menyimpang.” Badriah tersenyum lagi. “Sejak saat itu saya bertekad untuk membantu sesama perempuan untuk memahami posisi, hak dan kewajiban mereka.”

Badriah bertemu dengan para relawan dari lembaga RPuK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan) saat berada di pengungsian karena desa mereka dilanda tsunami pada 2004 silam. Di pengungsian itu Badriah terpaksa mencari kayu-kayu bekas dan berbagai karung plastik serta potongan tripleks, untuk membuat tempat berteduh. Badriah membangun sendiri gubuknya.

Tahun 2005, masih di pengungsian itulah, Badriah diajak untuk mengikuti bimbingan dan refleksi yang diadakan RPuK untuk perempuan pengungsi. Acara itu awalnya diadakan di sebuah meunasah. Menurut kesaksian Yusdarita, relawan RPuK yang kemudian menjadi sahabat Badriah, saat pertama kali bertemu dengan sahabatnya itu ia ketakutan setengah mati.

“Waktu itu penampilan dia menakutkan. Rambut panjang terjela-jela sampai tanah, mata mendelong, kepala ditutup kain panjang. Buat saya saat itu, dia kelihatan seperti kuntilanak,” Yus, begitu ia biasa disapa, terkekeh mengenang perjumpaan pertama dengan Badriah. “Mana dia memilih saya untuk menjadi pendampingnya, lagi. Saya ngeri betul waktu itu.”

Yus bercerita bahwa oleh psikolog yang bekerja sama dengan RPuK, Badriah didiagnosa menderita waham (kondisi kejiwaan seseorang meyakini sesuatu sebagai hal yang absolut, namun tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Keyakinan ini berasal dari pemikiran yang tidak terkontrol.)

“Saya sangat lama berada dalam kondisi pemahaman yang keliru itu. Jadi sebetulnya pemikiran dan jiwa saya tidak menerima perlakuan suami, termasuk juga keluarga dan masyarakat pada saya, tapi saya tak bisa berbuat apa pun sehingga menimbulkan tekanan jiwa yang luar biasa,” kata Badriah.

Didampingi RPuK, perlahan-lahan Badriah berhasil memperoleh kembali keseimbangan dirinya.

“Saya menjadi anggota Kelompok Beudoh Beusaree (Bangkit Bersama) dampingan RPuK. Anggota Beudoh Beusaree adalah janda serta perempuan kepala keluarga. Setiap kali ada acara dan diskusi, saya selalu datang, meski pun tak pernah bicara apa-apa. Tapi karena sesi-sesi terapi, perlahan keadaan saya mulai membaik,” cerita Badriah.

“Titik balik sepenuhnya terjadi di tahun 2007,” lanjutnya. “Ketika itu ada acara diskusi dengan pemateri dari LBH Apik Lhokseumawe. Temanya tentang mekanisme penyelesaian kasus di tingkat gampong. Diskusi itu benar-benar mencerahkan saya. Selesai diskusi, saya putuskan menggugat suami, untuk memperjelas status dan kedudukan saya di mata hukum.”

Badriah menggugat suaminya ke pengadilan syariah, dan mendapatkan haknya. Ia sah bercerai secara hukum agama maupun negara. Dengan kejelasan statusnya tersebut, pikiran Badriah benar-benar dimerdekakan. Ia pun terjun sepenuhnya ke dunia pendampingan.

Diawali dengan menjadi Ketua Beudoh Beusaree, memberi sosialisasi tentang kesetaraan plus hak dan kewajiban perempuan pada rekan-rekan sekampungnya, Badriah mulai memberikan konsultasi dan pendampingan pada perempuan korban kekerasan. Di rumahnya ia menerima mereka. Ia mendengarkan, mencatat, dan merujuk korban ke lembaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalahnya.

“Dari luar nampaknya saya membantu orang. Padahal sesungguhnya saya sendiri juga mendapatkan banyak sekali manfaat. Saya jadi memiliki jaringan yang kuat, memiliki contact person di instansi-instansi terkait, bertemu banyak stake holder dan sebagainya, yang semuanya membantu saya untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan,” tutur Badriah.

Bahwa Badriah memberikan layanan konsultasi, perlahan diketahui secara luas oleh masyarakat. Kaum perempuan berdatangan dari berbagai tempat, bahkan dari luar gampongnya, untuk berkonsultasi pada Badriah. Kelompoknya berkembang, dari hanya 14 anggota menjadi 50 orang lebih. Badriah juga menginisiasi suatu bentuk koperasi bagi anggotanya.

Badriah bekerja nyaris tanpa henti. Hampir setiap hari ada yang datang mengonsultasikan masalahnya. Telepon genggamnya sangat sering berbunyi, bahkan ketika ia tengah berada di sawah, tak terkecuali pada malam hari. Badriah menerima semuanya dengan hati lapang, karena ia tahu bahwa kaumnya di desa sangat membutuhkan bantuan moril.

“Oh, ya, pasti ada perasaan itu,” ujar Badriah saat ditanya apakah ia pernah merasa jenuh. “Saat merasa letih dan jenuh, biasanya saya ambil motor, pasang headphone di telinga, menyetel musik, lalu naik motor, jalan-jalan tanpa tujuan. Sampai kepala saya jernih kembali,” katanya. Ia tersenyum manis saat mengatakan jenis musik yang dipilihnya sebagai ‘obat’:

“Musik kecapi suling Sunda,” katanya. “Suara kecapi dan suling Sunda sangat menenangkan, cepat membantu pemulihan jiwa saya yang lelah.”

Menurut Badriah, dalam sehari ia bisa melayani konsultasi hingga tiga-empat perempuan.

“Tidak pernah saya tolak. Saya tahu betapa sakitnya berada dalam posisi korban yang tak berdaya,” kata Badriah. Dalam menjalankan misi kemanusiaan ini, ketiga anak lelakinya, ibu dan adik perempuan Badriah adalah rekan dan pendukungnya yang paling utama.

“Mereka tahu apa yang harus dilakukan, seandainya datang tamu yang ingin berkonsultasi sementara saya sedang tak ada di rumah,” cerita Badriah. “Mereka langsung menyiapkan ruangan, menyuguhi, kalau perlu bahkan mereka sudah tahu cara mencatat data tamu.  Mereka mendukung saya sepenuh hati.”

Saat ini, selain berbakti pada masyarakat melalui RPuK, Badriah juga tergabung dalam Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Aceh Utara, sejak tahun 2012.

“Tahun 2015 ada acara Bazaar Layanan, tahun 2016 ada Yandu (Pelayanan Terpadu) Itsbat Nikah besutan RPuK,” terang Badriah. “Saya terlibat dalam keduanya.”

Perjuangan Badriah memperkenalkan kesetaraan, hak, dan kewajiban suami istri serta hak anak, sangat sering membentur tantangan hebat.

“Oleh komunitas saya, saya pernah dicalonkan menjadi keuchik. Gara-gara itu saya dijuluki ‘perempuan pembawa aliran sesat’ dan ‘pelanggar syariah’ oleh tetua kampung. Rekan sekampung sesama perempuan dibuat enggan bergaul dengan saya. Tapi saya tidak peduli, terus berusaha untuk melakukan sosialisasi tentang kesetaraan pada mereka yang mau mendengarkan.”

Tahun 2015, beberapa bulan setelah menerima Anugerah Perempuan Aceh Award, kegigihan Badriah mendapat tantangan besar. Dalam rapat musrenbangdes, Badriah mengutarakan kritik tentang penggunaan dana desa yang menurutnya tidak sesuai peruntukannya. Hasilnya, berbulan-bulan ia menerima teror. Putranya yang kedua bahkan patah tangan akibat dianiaya oleh oknum keuchik atau kepala desa yang merasa tersinggung. Sengketa antara Badriah dengan keuchik ini selalu gagal diselesaikan di tingkat gampong, sehingga akhirnya Badriah memutuskan untuk membawanya ke ranah hukum. Pengadilan di Lhoksukon memenangkan perkara Badriah. Setelah itu, sanksi adat bagi Badriah (dicoret dari daftar penerima raskin, beasiswa anak-anaknya tidak diberikan, tidak dilibatkan dalam kegiatan desa dan lain sebagainya) akhirnya dicabut. Ia kembali dilibatkan dalam kegiatan dan rapat gampong.

“Alhamdulillah, aparatur desa yang sekarang jauh lebih terbuka. Mereka selalu mengundang saya dalam rapat-rapat desa. Saya juga dilibatkan sebagai pendamping dan konselor apabila ada kasus menimpa perempuan dan anak,” ujar Badriah. “Program saya untuk mengadakan layanan berbasis komunitas, juga pembentukan Forum Anak Gampong, mendapat prioritas dalam rencana pembangunan gampong. Saya juga dilibatkan dalam penyusunan draf aturan terkait mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat gampong.”

Tidak terasa, matahari sudah condong jauh ke barat. Badriah menghabiskan kopinya, demikian juga Yusdarita. Mereka bermaksud untuk kembali ke kampung sore itu. Badriah ke Aceh Utara, Yusdarita ke Bener Meriah.

Melihat kedua pejuang hak asasi di tingkat akar rumput itu, hati terasa bagai mau pecah. Keharuan dan kebanggan campur aduk. Badriah dengan pakaiannya yang sangat representatif, dengan sinar matanya yang penuh percaya diri, pasti sangat berbeda dengan sosok Badriah ‘kuntilanak’ dulu, saat ia terbenam dalam penderitaan.

“Tekad saya adalah sedapat mungkin membantu kaum perempuan untuk mendapatkan hak kesetaraan. Bagi saya, tidak ada kepuasan yang melebihi kebahagiaan melihat kebangkitan kembali korban yang saya dampingi, baik secara psikologis, maupun fisik,” ujar Badriah menutup pertemuan kami.

Saat menatap Badriah berjalan pergi, kami dibuat yakin, bahwa superhero itu memang ada. Salah satunya, mengejawantah ke dalam tubuh perempuan asal Dusun Meunasah Lhok, Gampong Muara Batu itu: Badriah A Taleb.

__________________________________blang oi, Maret 2021

4 tanggapan untuk “Transformasi Badriah A Taleb; dari Korban dan Penyintas hingga Pejuang Hak Asasi Perempuan”

Semoga Badriah A Taleb ( bukan M Taleb ) diberi umur panjang, sehat terus agar satu saat lahir pengganti beliau… Sukses selalu Kak Bad… Do’a seluruh perempuan selalu menyertaimu…. Smoga…

Luar biasa perjuangan nya, seorang perempuan punya kekuatan yg dahsyat untuk sebuah perubahan. semoga akan lahir Badriah Badriah lain di Bumi Aceh

Luar biasa k,bad, sy mengenal beliau sbg sosok yg tegas, pemberani, meskipun lembut dlm tutur bahasanya, peduli thd kondisi perempuan dan anak, punya motivasi membangun kondisi mrk lebih baik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *