Kategori
Aksi

Dana Desa untuk Lingkungan

Tahun 2018 sepertinya terpaksa kita tutup dengan lembaran muram. Rentetan bencana alam yang terjadi di tanah air semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa Indonesia merupakan negeri yang rawan bencana.

Sebagai bentuk empati kepada korban bencana, beberapa kepala daerah di Indonesia secara khusus mengeluarkan imbauan agar malam pergantian tahun diisi dengan kegiatan religi seperti istigasah dan zikir bersama.

Rasanya sangat keterlaluan bila ada yang merayakan pergantian tahun dengan hura-hura dan bersenang-senang, sementara saudara-saudara kita di Aceh Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Banten masih bergelut dalam situasi bencana.

Dalam aspek teologi, adanya suatu bencana sudah sepatutnya membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. Menjadikannya sebagai momentum untuk refleksi. Namun, bencana hendaknya tidak hanya dipandang sebatas dalam aspek teologi semata, sehingga akan melahirkan sikap apatis untuk menanggulanginya.

Mengenal Bencana

Dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Undang-undang tersebut juga mengelompokkan bencana menjadi tiga jenis, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Bencana alam umumnya terjadi karena faktor alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, hingga tanah longsor.


Bencana nonalam meliputi peristiwa yang terjadi akibat gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa akibat ulah manusia yang meliputi konflik antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat dan teror.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 25 Oktober 2018 tercatat 1.999 bencana di Indonesia. Dampak yang terjadi berupa korban meninggal dunia dan hilang sebanyak 3.548 orang, 13.112 luka-luka, 3,06 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 339.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp30 triliun lebih. Angka ini tentu akan semakin menggelembung bila ditambah dengan berbagai bencana yang terjadi hingga akhir tahun.

Secara nasional, bencana alam yang terjadi di Indonesia masih didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti puting beliung mencapai 605 kejadian, banjir 506, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 353, longsor 319, erupsi gunung api 55, gelombang pasang dan abrasi 33, gempa bumi yang merusak 17, dan tsunami 2 kali (Palu dan Selat Sunda).

Bagaimana dengan Aceh? Sebelas dua belas dengan kondisi di Indonesia pada umumnya, masyarakat Aceh kian akrab dengan bencana. Banjir misalnya, nyaris terjadi di sepanjang tahun dengan sebaran wilayah yang berbeda-beda. Bila dulu kita hanya mengenal dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau, sekarang sulit untuk melihat perbedaan antara keduanya. Teranyar, banjir bandang di Aceh Tenggara yang terjadi sebanyak tiga kali dalam satu bulan di lokasi yang sama. Faktar miris yang membuat kita mengurut dada. Mau tidak mau harus kita akui, ada yang terputus dalam sistem rantai lingkungan kita.

Berdasarkan catatan akhir tahun 2018 WALHI Aceh yang dirilis dalam konferensi pers di Banda Aceh Kamis, 27 Desember 2018, tercatat 91 kali bencana ekologi (lingkungan) yang terjadi di Aceh. Estimasi kerugian finansial mencapai sekitar Rp969 miliar. Banjir menduduki urutan paling tinggi mencapai 43 kali, kebakaran hutan dan lahan (karhutla)18, kekeringan 8, angin kencang 7, puting beliung 6, longsor dan abrasi masing-masing 3 kali, dan gempa kuat satu kali, dan lainnya.


Akibatnya, 24.910 ha hutan dan lahan terkena dampak. Sedangkan jumlah manusia yang terkena dampak mencapai 50.270 jiwa, termasuk 1.728 di antaranya yang mengalami krisis air akibat kekeringan. Sebanyak 897 unit rumah rusak. Tahun ini terjadi peningkatan banjir sebanyak lima kali dibandingkan tahun sebelumnya.

Dana Desa untuk Pelestarian Lingkungan

Bencana di Indonesia adalah keniscayaan. Untuk menanggulanginya perlu usaha dan kerja keras banyak pihak. Tidak bisa dibebankan kepada satu lembaga atau instansi saja. Bencana juga tidak bisa ‘diselesaikan’ hanya dengan meresponsnya sebagai kondisi tanggap darurat. Jika seperti itu, maka kita hanya mempersiapkan stok mi instan saja untuk menghadapi bencana. Sementara akar permasalahannya tidak pernah diselesaikan.

Mengurangi risiko bencana erat kaitannya dengan edukasi dan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Oleh karena itu harus dikonsep dan disikapi secara serius pula. Menurut hemat penulis, pemerintah perlu ‘membuang’ modal yang banyak untuk investasi tersebut.

Pelestarian lingkungan sebagai upaya mengurangi risiko bencana harus diselaraskan dengan program-program lain, seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Antarinstansi terkait harus saling berkoordinasi dan bersinergi untuk menyelaraskan program-program yang dibuat. Tidak jalan sendiri-sendiri. Selain itu juga bisa dibuat sharing budget untuk menutupi kekurangan anggaran di instansi lainnya.

Misalnya, ketika yang difokuskan hanya membangun infrastruktur dengan tujuan untuk mendongkrak ekonomi masyarakat, tetapi mengabaikan aspek pelestarian lingkungan, maka saat terjadi bencana alam bukan cuma infrastruktur yang hancur, tetapi juga mematikan kehidupan masyarakat. Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus, sejatinya kita sedang menuju pada kemiskinan.

Saat ini pemerintah sedang semangat-semangatnya membangun desa dimulai sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sejak 2015 pemerintah mengalokasikan sebesar 10% dana APBN untuk membangun desa yang disebut dengan Dana Desa. Setiap desa mendapatkan kucuran dana beragam, tergantung dari letak geografis, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan luas wilayah.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Provinsi Aceh, Bukhari, dalam Refleksi 4 Tahun Implementasi Undang-Undang Desa (Potret gampong terkini pascalahir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) pada 20 Desember 2018 lalu menyebutkan, selama empat tahun lahirnya UU Desa, Aceh telah menerima kucuran dana Rp14,8 triliun. Aceh adalah provinsi ketiga penerima Dana Desa terbesar di Indonesia setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ironisnya kata Bukhari, kehadiran Dana Desa belum mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan di Aceh. Selama ini 80% Dana Desa habis untuk pembangunan infrastruktur. Ke depan skemanya akan dibalik, porsinya akan lebih besar digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Menurut hemat penulis di sinilah peran Dana Desa untuk menyokong pelestarian lingkungan bisa dioptimalkan.

Dalam hal pengelolaan Dana Desa, pemerintah agaknya perlu mengadopsi sistem yang diterapkan oleh Pemkab Pidie. Bupati Pidie melalui Perbup Nomor 12 Tahun 2018 telah mengatur bahwa 15% dari total Dana Desa yang diterima setiap desa harus dialokasikan untuk pelestarian lingkungan. Ini merupakan terobosan baru Pemkab Pidie sebagai dasar pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi. Dalam hal ini Aceh patut berbangga sebab Kabupaten Pidie merupakan pionir dalam hal ini. Satu-satunya daerah di Indonesia yang telah berpikir jauh untuk memaksimalkan pemanfaatan Dana Desa.

Dengan alokasi tersebut masyarakat bisa memanfaatkannya untuk ruang terbuka hijau, pembersihan DAS, pemeliharaan hutan bakau/hutan gampong, perlindungan terumbu karang, penghijauan pada areal hutan gampong/hutan adat, perkebunan, paya, payau, dan pantai skala gampong.

Selanjutnya untuk pembibitan dan/atau penanaman pohon langka, penanaman tanaman buah/tanaman keras, reboisasi, pengelolaan sampah, dan program atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan tipologi dan kondisi gampong.

Dengan skema di atas, ‘tanggung jawab’ menjaga lingkungan tidak hanya dibebankan kepada masyarakat desa atau pinggiran hutan saja. Namun menjadi tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. Selain itu juga sangat potensial dari segi ekonomi. Pertanyaannya, siapkah kita dengan tanggung jawab bersama ini? Wallahu’alam.[]

*Ihan Nurdin, jurnalis, anggota FAMe, dan anggota Perempuan Peduli Leuser Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *