Kategori
Feature Kisah Perempuan Perempuan Berdaya

Cara Perempuan Tenggulun Keluar dari Jerat Lingkar Sawit

JARI-JEMARI Sulastri begitu cekatan saat menganyam lidi-lidi berkuning pucat yang panjangnya kira-kira sehasta lebih. Mula-mula ia merapatkan beberapa batang lidi, kemudian membentuk pola dasar mengikuti kelenturan lidi-lidi tersebut. Begitu seterusnya. Jalinan lidi tindih-menindih dan silang-menyilang hingga menjadi sebuah wadah yang rapi dan kuat. Sementara Sulastri menganyam, rekannya yang lain bertugas memisahkan lidi-lidi dari daunnya. Beberapa yang lain mengobrol santai diselingi canda tawa, Selasa, 12 Desember 2023.

Sulastri adalah salah satu anggota Kelompok Cendana dampingan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang. Kelompok perempuan tersebut mulai dirintis sejak 2020, tetapi mulai serius dikembangkan dan terbentuk kepengurusan sejak awal 2022.

Mulanya Lastri dan rekan-rekannya berkumpul di dalam rumah Isal-salah satu anggota Kelompok Cendana-untuk menanti kedatangan empat jurnalis perempuan yang bertandang ke Sumber Makmur. Setelah mengudap aneka hidangan berbahan dasar pangan lokal dengan suguhan teh rosela, kumpul-kumpul pun berpindah ke pekarangan rumah. Selembar tikar yang terbuat dari olahan limbah plastik dibentangkan di pekarangan dekat pinggiran sungai. Sungai Rengas namanya. Airnya sedikit, tetapi tampak jernih.

Sulastri dengan cekatan menganyam lidi menjadi wadah buah. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com
Sulastri begitu cekatan menganyam lidi sawit menjadi tempat buah. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Aneka penganan yang tadi terhidang di dalam rumah Isal dikeluarkan. Ada talas rebus, jagung rebus, onde-onde dari singkong, hingga tiwul—penganan yang terbuat dari singkong yang dikeringkan dan dicampur dengan kelapa parut. Angin siang hari itu bertiup sepoi-sepoi. Sejauh pandangan mata yang terlihat hanya deretan pohon sawit. Tampak seragam seperti serdadu bertudung hijau. Di antara pohon-pohon sawit yang luas itulah terselip satu-satu rumah penduduk. Air dan ikan-ikan di Sungai Rengas telah lama menyusut seiring dengan “invasi” sawit di daerah itu. Konon di Tenggulun inilah sawit pertama kali masuk ke Aceh.

***

Sumber Makmur adalah desa baru hasil pemekaran dari Desa Tenggulun. Usianya belum pun genap setahun. Namun, jumlah penduduk desa ini tergolong banyak, ada sekitar 1.174 kepala keluarga yang tersebar di empat dusun: Rengas, Sumber Rejo, Adil Makmur, dan Tualang Tukul. Rumah Isal tempat warga berkumpul berada di Dusun Rengas yang bisa diakses melewati titi gantung.

Titi gantung menuju Dusun Rengas dengan latar kebun sawit. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Jarak antardusun cukup jauh. Dari Rengas ke Sumber Rejo misalnya, butuh waktu sekitar setengah jam dengan kendaraan bermotor. Jalan utama desa berkelok-kelok di tengah kebun sawit.

Jaringan internet di sini masih on off. Jangankan jaringan internet, jalan pun masih berkalang tanah. Selama perjalanan menuju ke Sumber Makmur, kita akan merasakan “sensasi” berkuda di sepanjang perjalanan. Di musim kering jalanan sangat berdebu. Sebaliknya, di musim penghujan jalanan menjadi becek dan licin. Jika tak lihai mengemudi bukan tak mungkin roda kendaraan akan tergelincir atau terjebak lumpur.

Dari Kota Langsa (tetangga Aceh Tamiang) membutuhkan waktu dua jam untuk sampai ke Tenggulun. Letak desa ini memang di ujung dan berbatasan langsung dengan Kawasan Ekosistem Leuser.

Namun, yang menjadikan Tenggulun spesial adalah keberadaan hutan restorasi di tengah-tengah hamparan perkebunan sawit yang mahaluas.

Hutan restorasi ini tadinya lahan perkebunan sawit milik perusahaan yang berhasil dibebaskan oleh pemerintah karena telah menyerobot kawasan hutan lindung. Pohon sawit ditumbangkan, direstorasi menjadi hutan agroforestri agar kehadirannya bisa bermanfaat bagi masyarakat Sumber Makmur. Kawasan ini dikelola oleh beberapa instansi, seperti Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Forum Konservasi Leuser. Salah satu komoditas yang sudah dihasilkan di hutan restorasi ini adalah pisang.

“Adapun HAkA mengambil peran untuk memberdayakan masyarakat di sini. Kita mengedukasi mereka mengenai pentingnya menjaga hutan untuk keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan. Kami juga mengenalkan apa itu Kawasan Ekosistem Leuser,” kata Ayu Rahmadani, staf HAkA yang mendampingi ibu-ibu di lapangan saat berbincang di Stasiun Restorasi Kawasan Hutan Tenggulun di Sumber Makmur, Rabu, 13 Desember 2023.

Pendampingan yang dilakukan oleh HAkA berjenjang. Tak langsung ke pemberdayaan ekonomi. Karena warga Sumber Makmur tinggal di sekitar perkebunan milik perusahaan dan sering terjadi konflik dengan perusahaan, mereka terlebih dahulu dibekali dengan edukasi tentang hukum. Warga diberi penguatan untuk menjadi paralegal. “Setidaknya warga bisa mengadvokasi diri mereka sendiri dengan benar saat terjadi konflik dengan perusahaan,” kata Ayu.

Setelah warga teredukasi mengenai pentingnya menjaga hutan, pentingnya “melek” hukum, barulah mereka diajak untuk memetakan potensi alam atau komoditas yang ada di sana. Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok diajak langsung masuk ke hutan. Meski warga di sana tergolong banyak, tetapi tidak semua ibu-ibu mau ikut pendampingan. Ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Cendana umumnya istri-istri yang suaminya tergabung dalam kelompok tani yang mengelola hutan agroforestri tersebut. Jumlahnya masih bisa dihitung jari.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut diketahui ada beberapa komoditas di Tenggulun. Yang utama tentu saja sawit. Selain itu juga ada pisang, singkong, dan tanaman herbal seperti kunyit. Dari sawit kemudian muncul ide untuk memanfaatkan lidinya sebagai wadah makanan. Sedangkan dari pisang dan ubi diolah menjadi tepung.

Ketua Kelompok Cendana Beti Lestari menunjukan tepung pisang dan tepung ubi yang siap dipasarkan. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Lidi-lidi sawit itulah yang sebelumnya dijalin oleh Sulastri sehingga bersalin rupa menjadi wadah kue atau tempat buah bernilai rupiah. Wadah tersebut selanjutnya dipasarkan sehingga bisa menambah penghasilan bagi anggota kelompok. Harganya bervariasi mulai dari lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Begitu juga dengan tepung ubi dan tepung pisang yang dipasarkan dengan jenama Gulun isi 250 gram dan hingga 1 kilogram.

***

Hampir semua warga di Sumber Makmur menggantungkan hidupnya dari sawit. Ada yang sebagai pemilik kebun, ada juga yang sebagai buruh kebun. Sebagaimana disampaikan Ayu, tingkat kesejahteraan masyarakatnya 50:50. Di sela-sela bersawit, ada juga yang bercocok tanam lainnya. Ada juga warga yang melakukan pekerjaan “sampingan” sebagai penebang kayu ilegal untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Padahal, dengan kondisi desa mereka yang sudah dikepung sawit, efeknya sudah lama dirasakan. Banjir menjadi langganan di Sumber Makmur.

“Banjir bandang pun pernah terjadi di desa kami,” kata Ketua Kelompok Cendana, Beti Lestari yang rumahnya di Dusun Sumber Rejo.

Bukan hanya itu, mereka juga kewalahan untuk mendapatkan air bersih. Di kawasan-kawasan yang agak rendah, air tanahnya kekuningan. Bahkan ada yang berminyak. Alur-alur kecil atau parit yang tampak di sepanjang jalur yang dilalui perempuanleuser dan tiga jurnalis perempuan lainnya di areal perkebunan sawit memang menunjukkan demikian. Bahkan ada yang kuning pekat dengan minyak-minyak yang mengapung di atasnya.

“Airnya harus disaring dulu menggunakan ijuk,” kata Beti lagi.

Dalam ingatan Beti yang kelahiran tahun ‘80-an, sejak ia bisa mengingat desanya itu memang sudah penuh dengan sawit. Bedanya, sungai-sungai di sekitar tempat tinggalnya dulu masih banyak ikan-ikan air tawar yang besar-besar. Meskipun mereka jauh dari kota dan sulit untuk mendapatkan ikan laut segar, dulu mereka masih bisa berharap dari ikan-ikan sungai.

“Sekarang, kalau mau ikan sungai yang besar-besar ya harus ke dalam, ke dekat hutan,” katanya.

Kondisi-kondisi semacam itulah yang membuat HAkA fokus pada pemberdayaan perempuan Desa Sumber Makmur.

“Kalau ibu-ibu di sini punya penghasilan tambahan, harapannya suami-suami mereka tidak lagi menebang kayu di hutan,” kata Ayu.

Tepung pisang. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Lebih dari itu, kemandirian perempuan di desa ini diharapkan bisa menyelesaikan banyak persoalan yang terasa kompleks ketika diuraikan. Menurut Ayu, di antara problem sosial yang terjadi di sana seperti pernikahan dini, perceraian, dan anak putus sekolah yang angkanya cukup tinggi. Karena itulah, sasaran pemberdayaan tidak hanya ibu-ibu, tetapi juga remaja. Mereka diajarkan cara-cara membuat eco print.

Cara-cara pemberdayaan yang dilakukan pun berbeda. Tidak dengan memberi suntikan uang segar, tetapi dengan memfasilitasi kebutuhan ibu-ibu untuk berdikari. Misalnya, dengan menghadirkan trainer-trainer untuk mengajarkan mereka membuat wadah dari lidi sawit atau cara mengolah tepung. Fasilitas lainnya yang diberikan HAkA adalah rumah pengeringan untuk menjemur bahan baku untuk membuat tepung. Pelatihan tak melulu dilakukan di desa, ada juga yang di Banda Aceh. Ini penting untuk membuka cakrawala berpikir mereka. Beti sendiri bahkan sudah sampai ke Surabaya.

HAkA juga berperan dalam memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh Kelompok Cendana. Selain hasil produksi tersebut juga dipasarkan secara online melalui akun Instagram @perempuantenggulun. Setidaknya puluhan kilogram tepung dapat dihasilkan per bulannya. Jumlahnya memang masih kecil, tetapi ibu-ibu di sana sudah mulai melihat hasilnya.

Tantangannya? Sudah pasti ada. Jarak antardusun yang jauh menjadi kendala sendiri bagi ibu-ibu untuk berkumpul. Itu sebabnya proses produksi tidak dipusatkan di satu titik. Untuk produksi tepung dipusatkan di rumah Beti sebagai ketua kelompok. Untuk produksi wadah dari lidi di rumah anggota yang lainnya. Belum lagi ada anggota kelompok yang tak bertahan. Namun, sebagaimana disampaikan Ayu, juga seperti harapan ibu-ibu di Sumber Makmur, kini setelah menyadari pentingnya arti hutan bagi kehidupan, mereka lebih memilih untuk fokus pada solusi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *