Kategori
Feature Edukasi

Berbagi Ruang Dengan “Nenek”

SUATU hari, Irlan Ahmadi dan Martunis masuk hutan di kawasan Tapaktuan, Aceh Selatan, untuk berkebun.

Saat matahari condong ke barat, Martunis pamit pada Irlan yang biasa disapa Silan untuk melihat sarang walet di gua. Mereka pun berpisah karena jalur yang dituju berbeda. Silan melanjutkan kegiatannya berkebun.

Ketika senja menjelang dan saatnya pulang ke rumah, mereka tidak kembali bersama. Silan sempat berteriak, memanggil Martunis, tapi tidak ada jawaban. Dia mengira kalau Martunis sudah pulang.

Sesampai di kampung, Silan baru menyadari jika Martunis belum pulang. Warga kasak-kusuk karena kedua sahabat karib itu tak pulang bersama.

Beberapa warga bertanya pada Silan kenapa Martunis tidak pulang bersamanya. Yang ditanya bingung karena sebelumnya mengira kalau Martunis sudah pulang duluan.

Warga pun segera memutuskan untuk mencari Martunis. Semalaman mereka mencari dalam hutan. Hasilnya nihil.

Martunis baru ditemukan keesokan harinya, tapi sudah tidak bernyawa lagi. Lokasinya dalam hutan sekitar 25 kilometer dari permukiman penduduk. Kondisi tubuhnya sangat mengenaskan karena dimangsa harimau.

Peristiwa itu terjadi, 13 tahun silam. Tepatnya, Oktober 2010. Namun, dalam ingatan Ketua KSM Rimueng Aulia, Masrita, kisah memilukan yang merenggut Martunis itu seolah baru terjadi kemarin.

Kejadian itu diceritakannya kepada sejumlah jurnalis yang bertandang ke Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan, Jumat, 8 Desember 2023. 

“Warga yang dimangsa harimau itu adalah abangnya beliau ini,” tutur Masrita, seraya menunjuk pemuda berambut gondrong yang duduk persis di sebelahnya: Musir Riswan.

Musir Riswan (rambut gondrong) dan Masrita (bertopi) saat menerima kunjungan jurnalis di Sekretarit KSM Rimueng Aulia di Gp Panton Luas, Tapak Tuan, Aceh Selatan. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser.com

Yang ditunjuk tersipu. Seketika perhatian tertuju pada Musir karena setelah abangnya dimangsa harimau, dia justru memilih bekerja pada isu-isu penyelamatan satwa liar, khususnya harimau.

“Saya tidak ingin ada manusia lain menjadi korban seperti abang saya,” ujarnya, saat ditanya alasannya memilih bekerja sebagai relawan penyelamatan sang raja hutan.  

Menurutnya, untuk menyelamatkan manusia dari konflik dengan satwa liar, terutama harimau, binatang buas itu juga harus diselamatkan.

Setahun setelah musibah menimpa abang kandungnya, Musir memutuskan menjadi relawan yang berafiliasi dengan Wildlife Concervation Society (WCS), untuk memitigasi interaksi negatif antara manusia dan harimau. Saat itu, tugasnya “bergerilya” di hutan untuk memasang kamera trap agar pergerakan harimau di Aceh Selatan dapat dipantau.

Saat ini, Musir menjadi Team Leader Wildlife Response Unit (WRU) Aceh Selatan yang membawahi wilayah kerja mulai dari Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. 

Peristiwa nahas yang terjadi pada 2010 itu menjadi titik balik kepedulian warga Panton Luas terhadap satwa liar dan lingkungan.

Dalam ingatan Masrita, sejak dulu warga di sana memang hidup berdampingan dengan alam. Karena desa mereka dilingkari hutan lebat, keberadaan satwa liar seperti harimau dan orang utan menjadi bagian kehidupan mereka.

Warga menyebut harimau dengan panggilan “nenek” sebagai bentuk penghormatan. Pantang menyebut nama binatang buas itu secara langsung dengan sebutan harimau.

Belakangan mereka menyadari, ada kebiasaan-kebiasaan yang dulu dilakukan leluhur seperti terlupakan karena pengaruh perkembangan zaman atau desakan ekonomi.

Misalnya, menebang hutan secara serampangan atau mengabaikan norma pantangan masuk ke hutan. Ini yang memicu harimau turun ke dekat permukiman warga sehingga memangsa ternak, bahkan manusia. Mereka menyadari, lunturnya kearifan leluhur bisa memicu reaksi alam, termasuk dari satwa liar.

Sebulan sebelum kejadian Martunis diterkam harimau, Masrita yang kini genap berusia setengah abad mengaku melihat raja hutan sedang mencakar-cakar tanah perbukitan di pinggir jalan ke Panton Luas. Ekor harimau itu panjang. Badannya agak langsing.

Rimueng aulia kalau kami bilang di sini,” katanya. 

Kala itu, pria paruh baya yang masih tetap energik itu pun mencoba berkomunikasi dengan “Sang Nenek”.

“Janganlah main di sini, nanti ditembak. Kalau kamu bermain di sini, nanti masyarakat jadi takut. Saat itu mungkin dia ingin memberi tanda, hanya saja kita yang tidak paham,” kata Masrita.

Interaksi Negatif

Meski berjarak sekitar enam kilometer dari Tapaktuan, sebelumnya akses jalan ke sana masih tanah, sehingga membuat Panton Luas terisolasi. Untuk ke Tapaktuan menyedot waktu hingga sejam. Jalan ke desa itu baru diaspal ketika pandemi Covid-19 melanda.

Listrik sudah lama ada. Tetapi, jaringan telepon seluler hingga kini belum menjangkau desa ini. Begitupun warga di sana —terutama kaum muda— tetap punya ponsel pintar. Agar bisa terkoneksi dengan internet mereka rela “ngetem” di puncak bukit pinggir jalan utama desa.

Meski namanya Panton Luas, luas desa ini tak sampai 40 kilometer persegi. Warganya hanya 100-an kepala keluarga (KK), yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan menggantungkan hidup dari hasil hutan.

Desa ini punya potensi sumber daya alam melimpah, terutama satwa. Selain harimau, di sini juga banyak ditemui orangutan, rusa, siamang, ular, dan aneka burung seperti elang, takur, rangkong. Bahkan bunga bangkai sering muncul di hutan desa.

Kontur Panton Luas berbukit dan berbatasan langsung dengan kawasan perhutanan sosial maupun area penggunaan lain yang mentok dengan kawasan hutan lindung. Dengan kondisi demikian, tak heran jika kawasan ini menjadi area “taman bermain” harimau.

“Memang cukup sering harimau muncul di desa kami, tapi tidak di perkampungan,” ungkap Masrita.

Musir mengaminkan ucapan Masrita. Menurutnya, jika dilihat secara administratif, hampir setiap kecamatan di Aceh Selatan berpotensi terjadi konflik manusia dan harimau.

Bahkan, korban terkaman harimau di Kluet Tengah, Aceh Selatan, pada Januari lalu, adalah tim ranger yang notabenenya sudah punya pengetahuan tentang cara mitigasi dengan satwa liar. 

“Aceh Selatan wilayah pesisir yang berbatasan langsung dengan hutan. Topografinya memang agak berbeda dengan daerah lain,” tutur Musir.

Dedi Suriadi — warga Lhok Bengkuang yang bertetangga dengan Panton Luas — juga mengeluhkan intensitas turunnya harimau yang memangsa ternak. Pria yang berprofesi sebagai peternak itu sudah tak menghitung lagi jumlah lembunya yang dimangsa “Nenek”.

Namun, kini ia bisa sedikit lebih lega setelah ada solusi berupa kandang antiserangan harimau yang digagas WCS dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh di gampongnya.

Kandang antiserangan harimau yang dikelilingi pagar berduri di Gp Lhok Bengkuang, Tapaktuan, Aceh Selatan. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser

Kandang itu tak berbeda dari kandang ternak pada umumnya. Hanya saja, di sekeliling kandang dipagari kawat duri setinggi dua meter lebih, untuk mencegah harimau masuk ke kandang.

Sejak ada kandang, ternak milik Dedi dan warga lain menjadi lebih aman. Dengan cara ini, mereka tak lagi melihat harimau sebagai ancaman.

Apa yang diceritakan Masrita, Musir, dan Dedi bukan mengada-ada. Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza, menyebutkan, selama lima tahun terakhir, Aceh Selatan tercatat sebagai kabupaten dengan interaksi negatif harimau tertinggi di Aceh.

“Jumlahnya mencapai 38 kasus interaksi negatif,” kata Gunawan saat menjadi pemateri pelatihan jurnalis di Banda Aceh, pada 26 November 2023.

Kedua terbanyak konflik terjadi di Aceh Timur yang mencapai 14 kasus. Kemudian, disusul Subulussalam 10 kasus, Singkil dan Aceh Tamiang 9 kasus, Aceh Tenggara 8 kasus, Gayo Lues 6 kasus, Aceh Tengah 3 kasus, serta Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, dan Bener Meriah masing-masing dua kasus. Sementara Aceh Barat Daya, Aceh Utara, Bireuen, dan Aceh Besar masing-masing satu kasus.

Jika dilihat sepanjang 2019-2023, 2020 tercatat sebagai tahun dengan jumlah interaksi negatif harimau tertinggi di Aceh yaitu mencapai 39 kasus. Tahun 2021 ada 33 kasus, 2022 terdapat 20 kasus, dan 2023 per Oktober tercatat 12 kasus. Pada 2019, tercatat ada sembilan kasus.

Gunawan mengakui ada tantangan dalam memitigasi interaksi negatif manusia dengan satwa liar. Salah satunya adalah pergerakan satwa liar yang tentunya tidak mengenal batas-batas administrasi. Selain itu, belum ada sinergi lintas sektoral alias masih jalan sendiri-sendiri. Yang paling parah adalah semakin berkurangnya habitat satwa karena tutupan hutan mengecil.

Pada prinsipnya, jelas Gunawan, dalam menanggulangi konflik adalah persepsi bahwa manusia dan satwa liar sama-sama harus diselamatkan karena keduanya penting. 

“Dengan begitu, secara bersamaan kita mempertimbangkan langkah apa yang baik untuk mengurangi risiko kerugian yang diderita manusia berdasarkan pertimbangan untuk kelestarian satwa,” katanya.

Karena site-nya spesifik, maka penanganannya juga berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lain karena tidak ada solusi tunggal, sambil memperhatikan skala lanskap dalam penanganannya.

“Terakhir, menyadari bahwa ini tanggung jawab multipihak,” katanya.

Kearifan Lokal

Lanskap pantai Tapaktuan, Aceh Selatan. Foto: Ihan Nurdin/perempuanleuser

Menyadari bahwa penyelesaian interaksi negatif satwa liar menjadi tanggung jawab bersama, warga Panton Luas membentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM) sebagai langkah mitigasi konflik. KSM Rimueng Aulia digagas pada 2016 dan sudah dinotariskan, tahun 2019. Masrita didapuk sebagai ketua.

Kehadirannya disambut baik BKSDA Aceh dan diharapkan menjadi model desa mandiri dalam memitigasi interaksi negatif dengan satwa liar. Rimueng Aulia juga telah terdaftar pula di Kementerian Dalam Negeri sebagai KSM dengan bidang kegiatan spesifik pada konservasi harimau dengan nomor registrasi terdaftar hingga 2028.

Sebagai KSM, warga menyadari betul bahwa kekuatan mereka bersifat kolektif dan misi menyelamatkan manusia dan satwa liar hanya bisa diwujudkan kalau mereka kompak.

Pertama yang dilakukan setelah KSM terbentuk adalah berkomitmen menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan seperti tradisi tulak bala atau tolak bala. Tradisi ini dilakukan pada Rabu abeh atau Rabu terakhir di Bulan Safar dalam penanggalan Hijriah. Pantai, sungai, atau tempat pemandian sering menjadi objek untuk melakukan tradisi tolak bala.

Warga ramai-ramai datang ke lokasi untuk berdoa bersama dan meminta kepada Allah SWT agar dijauhkan dari segala bala, termasuk serangan atau ancaman hewan buas. Mereka juga menghidupkan kembali pantangan-pantangan yang selama ini terlupakan.

“Misalnya, kalau pergi ke hutan tidak boleh sendiri. Begitu juga kalau sedang di hutan, kita bikin asap-asap supaya satwa itu tahu kalau ada manusia di sana,” kata Masrita.

Pantangan lain, jika sedang di hutan, baju yang berkeringat tidak boleh sembarangan disangkut di tunggok atau sisa batang kayu yang sudah ditebang. Selain keringat yang menempel di baju akan mudah terbawa oleh pergerakan angin, juga bisa memancing satwa ketika melihat baju tersebut bergerak-gerak bila diterpa angin.

“Edukasi-edukasi seperti inilah yang terus kita sampaikan kepada warga,” kata Masrita seraya menambahkan, saat tidur di hutan, juga pantang menegakkan kaki. “Itu juga akan menarik perhatian satwa.”

Anggota KSM yang berjumlah sekitar 30-an orang juga rutin melakukan patroli hutan. Suatu kali, mereka melihat penebang kayu di hutan. Warga mengusir penebang itu dan memastikan mereka keluar dari Panton Luas.

Kali lain, warga adu mulut dengan polisi yang menangkap ikan dengan cara meracuni ikan di sungai. Lagi-lagi, si pencari ikan yang tadinya begitu pongah akhirnya angkat kaki dari sana.

Sejak nilai-nilai kearifan lokal dan patroli rutin dilakukan, tutur Masrita, tak pernah lagi ada interaksi negatif dengan harimau. Ia berharap situasi ini bisa bertahan dan mereka bisa berbagi ruang bersama “Nenek”.

Pegiat lingkungan, Afrizal Akmal, menyatakan nilai-nilai kearifan seperti ini menjadikan manusia bisa bersikap “rendah hati” dan tidak memandang satwa liar sebagai musuh. Sehingga, cara-cara yang ditempuh manusia dalam menghadapi satwa liar pun lebih bijaksana.

Narasi “konflik satwa” yang selama ini terbangun, jelas Akmal, justru menimbulkan persepsi seolah-olah satwa yang menyerang manusia. Dengan persepsi itu seakan boleh menghilangkan nyawa satwa-satwa liar itu.

“Seharusnya manusia merenungi, mengapa sekarang harimau menerkam ternak? Mengapa gajah memakan tanaman warga?” tuturnya. 

“Mengapa dulu di Tangse, Kabupaten Pidie, harimau bisa turun ke pasar dan warga tidak takut? Karena tidak ada gangguan. Saya pernah lihat sendiri dulu di Tangse, harimau turun ke pasar untuk memakan sisa-sisa ikan yang ditinggalkan pedagang. Setelah itu, dia masuk lagi ke hutan. Gangguannya apa? Menebang hutan.”

Gangguan ekologi inilah, menurut Akmal, bisa membuat satwa merasakan ada energi tak bersahabat dari manusia.

Pada dasarnya, binatang adalah indikator dari keseimbangan alam. Karena instingnya tajam, satwa suka memberi tanda bagi manusia. Cakaran harimau di tanah misalnya, atau desis ular berbisa.

Tanda-tanda yang tak bisa dipahami manusia itu misalnya ketika satwa mengirim sinyal akan terjadinya tsunami di Aceh pada 2004 silam, kata inisiator Hutan Wakaf Jantho itu, Minggu, 10 Desember 2023.

“Begitu juga dengan harimau. Bahkan untuk menyerang kita pun dia memberi tanda. Makanya, kalau kita pergi ke suatu tempat, misalnya ke rumah orang kita bilang salam, ke kuburan kita juga ucapkan salam untuk ahli kubur, begitu juga ke hutan, semua itu ada doanya sendiri,” ujarnya.

Rekan Akmal, Yasser Premana, yang juga pegiat lingkungan menambahkan, masuk hutan memang tak boleh grasa-grusu. Seyogianya, membaca doa Nabi Nuh yang berbunyi, Salamun ‘alanuhin fil-alamin yang artinya kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.

“Kenapa binatang-binatang itu tunduk kepada Nuh saat Nuh mengumpulkan seluruh nenek moyang binatang pada masa itu? Kalau dalam perspektif masyarakat kita kan mistis, padahal itu masuk ke perspektif Islam itu,” katanya, mengajak merenung. 

Landok Begu

Tarian Landok Begu. Foto: perempuanleuser

Tanda yang dikirim harimau juga pernah diceritakan warga Gampong Koto, Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan.

Adalah Eva dan suaminya Syaukani yang berladang di seberang sungai dan tinggal di pondok. Suatu malam, hujan rintik-rintik. Mereka mendengar suara kresek di luar gubuk yang diyakini sebagai Nenek. Mereka menyakini jika itu adalah tanda karena keesokan harinya terjadi banjir.

Warga Kluet juga menyebut harimau dengan Nenek atau Ndik. Di sini, masyarakatnya juga punya kearifan tersendiri untuk “berkomunikasi” dengan harimau.

“Masyarakat Kluet punya tarian khusus untuk menghindar dari gangguan harimau yang disebut dengan landok begu,” tutur Kasumah, Sarjana Antropologi dari Kluet Utara.

Landok artinya tarian, sedangkan begu adalah harimau. “Landok begu biasanya ditarikan saat ada tolak bala karena serangan harimau juga dianggap sebagai bala,” katanya lagi.

Wanita yang akrab disapa Uma ini mengatakan, landok begu pertama kali dibawakan pada era 1950-60-an oleh Enyak Ali dan Abdul Gani. Bermula saat warga Kluet di Lawe Sawah sering kedatangan Nenek. 

“Namun saat konflik (bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka), tolak bala yang disertai tarian ini sempat meredup dan mulai hidup kembali setelah situasi kondusif,” katanya.

Tarian ini, menurut Uma, lahir dari “kreativitas” masyarakat yang ingin membela diri dari serangan harimau.

Gerakannya merupakan simbol warga Kluet yang mayoritas petani. Gerakan atraktif, berpadu tangkas dengan gerakan harimau saat berburu mangsa. Secara tersirat, tarian ini menyimbolkan perselisihan antara manusia dan harimau.

“Makanya dalam tarian ini ada silat atau disebut silek begu,” kata lulusan Universitas Malikussaleh Lhokseumawe ini.

Selama menarikan landok begu, para penari bersenandung dalam bahasa Kluet yang diawali salam dan diakhiri dengan permintaan maaf. Intinya, tunduk pada kerendahan hati dan tidak memandang manusia sebagai makhluk digdaya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *