Tahun 2018 merupakan tahun pertama bagi saya bertemu sekaligus berkenalan dengan sosok perempuan Aceh yang berperan dalam konservasi lingkungan. Kala itu ada pelatihan dalam rangkaian kegiatan yang saya ikuti dari tahun 2017 hingga 2019 awal.
Setiap pertemuan dalam pelatihan itu dilakukan di beberapa kabupaten/kota yang berbeda termasuk di Banda Aceh. Kali ini saya dan teman-teman dipertemukan dengan Kak Wiza (Farwiza Farhan) dari Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) dalam lingkup diskusi mengenai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Baru-baru ini ia dinobatkan sebagai salah satu sosok inspiratif yang masuk daftar Time 100 Next 2022 Kategori Leaders.
Saya yang saat itu masih berstatus mahasiswa di salah kampus di Aceh, sama sekali tidak mengenal Wiza sebagai seorang konservasionis. Selama diskusi itu saya terus memperhatikan tentang apa yang ia bicarakan. Hutan Leuser yang jauh dari kata subur sebagai tanah yang memiliki kekayaan hayati dan sumber dayanya. Gayanya berbicara membawa saya pada rasa penjelajahan hutan seakan saya benar-benar sedang bersafari di taman itu.
Selama diskusi forum, barangkali yang kebanyakan orang tunggu adalah kedatangan Wiza sebagai pelaku konservasi hutan Leuser. Wiza memaparkan bukan sebagai seorang guru, gaya bertuturnya beralun namun tegas. Suaranya terdengar santai khas seorang profesor berbicara, sekaligus sebagai seorang kolega kala bercerita kepada teman-temannya.
Diskusi tidak hanya sampai pada pola formal, kami melanjutkan kembali berbagi cerita masing-masing perjuangan teman-teman dari daerah yang berbeda. Sebagai perempuan, terlalu besar dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan, bagi seorang ibu akan kesusahan mencuci baju untuk anak-anaknya, memandikan anak hingga mencari nafkah.
Wiza kemudian juga melanjutkan ceritanya dengan membandingkan Kawasan Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Kawasan itu sebelumnya merupakan tempat para serigala dan rusa serta beberapa margasatwa lainnya. Namun, serigala pernah hampir punah karena perburuan tanpa batas yang menyebabkan jumlah rusa meningkat, pada akhirnya menyebabkan warga gagal panen akibat serangan hama. Baru pada tahun 1978, Yellowstone dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sebagai upaya pelestarian alam.
Bagi saya, Wiza bukan hanya representasi perempuan yang kuat, ia juga perwakilan wajah perempuan Aceh yang berani hidup dengan prinsipnya tanpa harus takut akan stigma negatif budaya masyarakat Aceh yang apabila perempuan tidak berjilbab dilabeli sebagai perempuan tidak baik-baik.
Baik dan buruk seharusnya tidak disematkan pada jilbab atau apa pun yang ia kenakan. Semua nilai-nilai itu bisa didiskusikan kembali dengan mempertimbangkan nilai-nilai luhur di atasnya.
*Catatan ini merupakan kenangan saya saat pertama sekali berjumpa dengan Wiza di Banda Aceh dan akan selalu menjadi salah satu kenangan terbaik bagi saya.
Penulis adalah anggota Perempuan Peduli Leuser dan relawan di Rumah Relawan Remaja
Satu tanggapan untuk “Sosok Farwiza yang Menjadi Inspirasi Saya”
[…] pernyataan Farwiza Farhan, chairperson HAkA Sumatera, bahwasannya serigala memiliki peran yang tidak dapat dilakukan oleh […]