Ada misteri di setiap takdir temu dan langkah kaki. Setidaknya hal itu yang tercermin dari ucapan Gita Kamath saat menyatakan kehadiran dirinya untuk pertama kali di Aceh. Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia ini hadir dalam rangka memantau program kerja sama pembangunan Australia-Indonesia, khususnya di bidang penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, pemberdayaan perempuan, tata pemerintahan, dan juga keadilan.
“Bulan ini merupakan bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia, termasuk di Aceh. Selamat kepada BNPB atas terselenggaranya bulan PRB dengan baik melalui penandatanganan program SIAP SIAGA,” ungkap Gita pada Rabu pagi di Banda Aceh (9/10/2024)
Gita menyebutkan bahwa tahun 2024 merupakan tahun istimewa. Di tahun ini, masyarakat Aceh bahkan dunia akan memperingati 20 tahun tragedi bencana megatsunami yang pernah terjadi di provinsi terbarat Negeri Zamrud Khatulistiwa. Di tahun ini pula, negara Australia dan Indonesia memperingati hubungan diplomatik yang terjalin dengan baik antara kedua negara selama 75 tahun lamanya.
Perjanjian perpanjangan kerja sama program SIAP SIAGA untuk 2024-2027 tersebut ditandatangani oleh Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gita Kamath bersama Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rustian di Banda Aceh.
“Sudah ada peningkatan kapasitas sumber daya manusia, baik secara keilmuan maupun dampaknya terhadap penanganan bencana. Manajemen kebencanaan juga diperkenalkan dalam program SIAP SIAGA. Karena hasil kerja sama ini sudah terlihat, sehingga dilakukan perpanjangan kerja sama,” ungkap Rustian.

SIAP SIAGA merupakan program kemitraan Australia-Indonesia untuk manajemen risiko bencana yang bertujuan meningkatkan kemampuan Indonesia dalam mencegah, mempersiapkan, menanggapi, dan memulihkan diri dari bencana. Program tersebut menggunakan Problem-Driven Iterative Approach (PDIA) atau ‘Manajemen Adaptif’ yang berfokus pada konsep kolaborasi pentahelix. Pentahelix adalah kolaborasi yang melibatkan lima komponen penting yakni unsur pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media. Sehingga diharapkan terbentuk efektivitas sistem penanggulangan bencana secara keseluruhan, bukan hanya efektivitas sub-sistemnya.
SIAP SIAGA bekerja dengan mitra di tingkat nasional dan daerah untuk mengidentifikasi hambatan dalam sistem penanggulangan bencana di berbagai tingkat pemerintah dan masyarakat. Kemudian melalui program tersebut dirancang solusi untuk meningkatkan efektivitas pelayanan penanggulangan bencana. Program SIAP SIAGA selaras dengan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Indonesia (RPJMN). Program ini juga sejalan dengan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana, dan Strategi Kemanusiaan Pemerintah Australia.
Adapun lokasi kerja program SIAP SIAGA yang sudah berjalan berada di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pihak pemerintahan Indonesia berharap perpanjangan kerja sama bersama pemerintahan Australia untuk dua tahun ke depan juga membuka kesempatan untuk pengembangan program SIAP SIAGA di wilayah lainnya.

“Kita harap bisa dikembangkan. Seperti di Sumatra karena adanya isu megathrust dan juga di Sulawesi karena dekat dengan ibu kota Nusantara. Itu harapan kita, mudah-mudahan bisa terealisasi dari sekarang sampai 2027”.
Petuah Indonesia, Wejangan Australia
“Ada sebuah pribahasa Indonesia yang sangat saya sukai, ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Oleh karena itu, ijinkan saya membaca pidato saya dalam bahasa Indonesia dan saya mohon maaf jika ada ucapan yang salah,” papar Gita Kamath dalam sambutannya pada Selasa Malam di Banda Aceh (8/10/2024).
Oktober yang merupakan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia terasa pekat berwarna dengan kehadiran Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia yang memilih berpidato dengan bahasa ibu rakyat Nusantara walau berada di tengah-tengah alumni Univesitas Australia yang tidak diragukan lagi kefasihan bahasa Inggris mereka. Tak berhenti di situ, Gita bahkan ikut menggunakan satu-dua kata dalam bahasa Aceh yang berhasil mengundang riuh tepuk tangan puluhan peserta hadir pada acara Australia Alumni Networking Dinner in Aceh tersebut.
“Alumni memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kerja sama antara Australia dan Indonesia. Alumni juga memiliki peran dalam mendukung bisnis, keamanan, dan kemakmuran bagi kedua negara,” papar Gita.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Farwiza Farhan—alumni magister dari University of Queensland [UQ], jurusan Manajemen Lingkungan—mengamini manfaat besar yang dia terima selaku putri Aceh yang melanjutkan pendidikan ke Negeri Kangguru tersebut.
“Saya pertama kali ke Australia di tahun 2009. Sampai di Australia saya merasa dunia saya tiba-tiba terbuka begitu luas. Saya belajar begitu banyak hal, berkenalan dengan sangat banyak orang,” papar sang penerima The Ramon Magsaysay Award for Emergent Leadership 2024.
Wiza, panggilan akrabnya, menyebutkan melalui pendidikan yang tepat, setiap orang berkesempatan untuk memberikan perubahan positif untuk dirinya dan juga masyarakat di sekitarnya. Sang aktivitas lingkungan dan konservasionis hutan di Kawasan Ekosistem Leuser tersebut menilai Australia menjadi jalan baginya untuk mengembangkan diri dan kemudian kembali ke Indonesia untuk berbakti.
“Sebab hati saya tetap di Aceh. Hati saya tetap di Kawasan Ekosistem Leuser,” papar sang penerima National Georgraphic Wayfinder 2022 dan pemimpin baru TIME100 Next 2022.

Hingga saat ini, terdapat lebih dari 400 alumni Australia asal Aceh. Adapun total keseluruhan alumni pendidikan Australia yang berasal dari Indonesia mencapai 200.000 orang. Perwakilan pemerintahan Australia tersebut menilai alumni dapat menjadi jembatan antara kedua negara untuk membangun pemahaman terkait Indonesia dan Australia serta masyarakatnya. Menurutnya, walau hubungan antarnegara itu penting, akan tetapi hubungan antar manusialah yang benar-benar sangat penting bagi terwujudnya keakraban kedua negara.
“Hubungan kita sudah terjalin selama ratusan tahun dalam perdagangan dan budaya. Tahun ini kita merayakan hubungan diplomatik antara Australia dan Indonesia yang telah berlangsung selama 75 tahun,” jelasnya.
Sang perwakilan Australia untuk Indonesia menyebutkan bahwa hubungan diplomatik yang terjalin antara Indonesia dan Australia telah membuka jalan bagi kedua negara untuk saling belajar, bertukar pengetahuan, terutama terkait mitigasi bencana. Gita menyebutkan, Australia selayaknya Indonesia, merupakan negara yang juga rawan terhadap bencana alam. Maka kerja sama dan saling dukung antara kedua negara merupakan hal yang penting untuk terus dirawat bersama.
“Banyak hal yang bisa kami pelajari dari Indonesia. Saat ini kita memiliki satu program di bidang penelitian terkait perubahan iklim. Nama programnya KONEKSI,” jelas Gita.
Kemitraan Australia-Indonesia dalam riset, sains, dan inovasi (KONEKSI) merupakan bentuk komitmen Australia dalam mendukung solusi berbasis pengetahuan melalui Platform Kemitraan Pengetahuan Australia-Indonesia. Penelitian dan inovasi akan menjadi dasar untuk menciptakan solusi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan adaptif terhadap dampak perubahan iklim dan kebutuhan sosial ekonomi yang terus berkembang. Sehingga tercapai Agenda Pembangunan Berkelanjutan di 2030.
Selayaknya pembelajaran yang diperoleh Oz dari Nusantara, maka Indonesia pun mempelajari banyak hal dari Australia. Selaku alumni, Farwiza menyebut Australia sebagai negara yang mampu melakukan penerimaan terhadap siapa pun. Menurutnya, di Australia, orang-orang bisa memilih apapun yang dia inginkan dan diterima apa adanya tanpa ada penolakan.
“Semua orang bisa menjadi dirinya sendiri. Jadi kita bisa belajar banyak dari Australia soal menghargai keragaman,” tutupnya.[]
