Kategori
Keamanan Holistik Edukasi Hak Asasi Manusia

Seberapa Penting Keamanan Psikososial Bagimu?

Hari kedua kami memulai pagi dengan refleksi diri. Kak Alifi yang memandu kegiatan menanyakan apa saja hal yang disyukuri dan membuat kami bahagia pada pagi hari itu. Tentunya masing-masing peserta mempunyai jawaban yang beragam sesuai hal yang dirasakan.

Saya sangat bersyukur pada hari itu. Pagi buta saat hamparan danau Lut Tawar masih diselimuti kabut, saya dapat merasakan hawa dingin menembus sweater yang saya kenakan. Kabut tersebut kemudian sedikit demi sedikit menghilang, terganti dengan kehadiran mentari pagi yang begitu indah.

Bersama Kak Masni, salah seorang peserta asal Aceh Barat, kami berjalan kaki menuju bukit yang berada di sebelah Hotel Renggali. Dari atas bukit tersebut, saya bisa melihat luasnya danau yang terletak di Dataran Tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah, Aceh. Laksana memandangi lautan yang luas, hanya saja lebih tenang tanpa kehadiran gelombang.

Saya begitu khidmat menikmati pemandangan pagi itu. Rasanya begitu tenang diri ini melihat keindahan ciptaan Ilahi. Saya dan Kak Masni pun tak lupa mengabadikan diri lewat beberapa foto yang kami ambil bergantian menggunakan ponsel pintar.

Kesadaran Diri

Tujuan dari sesi Keamanan Psikososial bersama Kak Alifi adalah mengenalkan kesadaran diri dan keadaan lingkungan sosial di sekitarnya. Kemudian bagaimana lingkungan-lingkungan tersebut berpeluang memberikan dampak pada kesejahteraan fisik, digital, dan juga mental para aktivis dan jurnalis.

Bagi saya, psikososial merupakan kata yang tidak asing. Kata tersebut pernah saya dapatkan semasa kuliah pada materi Keperawatan Jiwa.

Psikososial berakar pada dua penggalan kata, yaitu psiko (berhubungan dengan mental/kejiwaan), dan sosio (bergubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar).

Adapun domain psikososial yang dimaksud dalam pelatihan ini ialah ketersediaan sumber daya dan kesadaran akan sistem lingkungan. Faktor psikologi individu dan aspek lingkungan sosial. Perasaan, pikiran, kognisi, perilaku, tindakan. Keragaman pengalaman subjektif. Serta kesadaran diri dalam memahami stres.

Psikososial adalah hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mentalnya. Elemen yang terdapat dalam psikologi berupa pikiran, perasaan, emosi, sikap, perilaku. Sedangkan elemen sosial berupa interaksi dan relasi, lingkungan, budaya dan tradisi, peran dan tugas, serta konstruksi gender.

Kemudian Kak Alifi menunjukkan teori ekologi sistem yang menjelaskan bagaimana individu berinteraksi dan bergantung pada sistem di sekitarnya.Teori ini memiliki lima sistem lingkungan berlapis yang saling berkaitan, yaitu mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.

Kesadaran diri itu merupakan kemampuan seseorang untuk memahami secara mendalam hal-hal yang membentuk diri.

Termasuk di dalamnya menyangkut tentang kepribadian, tindakan, nilai, tujuan, keyakinan, kebutuhan, emosi, dan pikiran. Juga kemampuan untuk memahami dampaknya pada diri sendiri dan orang lain. Agar setiap peserta memahami makna kesadaran diri, Kak Alifi memberikan beberapa pertanyaan untuk dijawab oleh masing-masing peserta.

“Apa yang membuat ANDA menjadi ANDA saat ini?”

Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut terdapat beberapa pertanyaan turunannya. Setelah menjawab pertanyaan tersebut, saya menyadari ternyata peran saya banyak, yaitu sebagai seorang ibu, istri, anak, atasan (kepala sekolah), bawahan (copywriter), teman, adik, dan role model (guru). Dengan peran sebanyak itu, tentu banyak persoalan dan rintangan yang saya hadapi yang berpotensi mengganggu psikis saya pribadi.

Untungnya saya bisa menentukan capaian dari peran saat ini agar termotivasi untuk menjalankan peran tersebut dan menganalisa siapa saja yang terpengaruhi oleh tindakan saya. Selama proses menjawab pertanyaan tersebut, saya mulai bisa melihat benang merah kehidupan saya saat ini. Sehingga saya mampu memahami kekuatan dan keterbatasan saya pribadi.

Ketika mendengarkan banyaknya cerita dari beragam peran yang dilakoni oleh orang-orang di sekitar, maka timbul kesadaran akan keberagaman latar belakang yang harus dijalani seseorang. Kesadaran tersebut memunculkan empati pada saya setiap kali berinteraksi dengan mereka.

Materi tersebut membantu saya memahami situasi kerja yang lebih kompleks dan berisiko tinggi, serta dampak apa yang terjadi dalam lingkungan yang lebih luas. Sehingga saya mampu mengelola emosi berlebih ketika dihadapkan pada persoalan yang menantang.

Dua jam lebih pemaparan materi kesadaran diri membuat saya membuka mata akan pilihan hidup yang saya jalani saat ini. Apalagi sebelum jam makan siang, kami diberikan sebuah permainan yang membuat kami paham tentang kondisi setiap orang berbeda-beda.

Dalam permainannya, kami diberikan satu gulungan kertas yang di dalamnya berisi kasus cerita. Kami harus menjadi tokoh dalam cerita tersebut. Kemudian ada beberapa pernyataan yang diajukan oleh panitia. Bila tokoh tersebut bisa melakukan instruksi tersebut, maka peserta diminta maju satu langkah. Namun, bila tidak mampu maka mundur satu langkah.

Saya mendapatkan tokoh cerita yang menurut saya memiliki kemampuan untuk kerap maju dan memilih kata “ya” pada beragam pernyataannya. Sehingga saya menjadi tokoh yang maju paling depan. Menariknya, di lain sisi, terdapat teman saya yang dengan latar belakang tokoh yang sama seperti yang saya memiliki, justru berakhir di posisi yang paling akhir.

Melalui kasus ini kita menyadari bahwa setiap orang dengan latar belakang berbeda menghasilkan respons yang berbeda-beda pula dari setiap kesempatan dan tantangan yang ada. Bahkan orang-orang dengan persoalannya sama sekalipun, tetap bisa berakhir berbeda. Hal itu dikarenakan perbedaan sudut pandang, kapasitas mental, dukungan orang terdekat, pengetahuan, dan sebagainya bagi setiap orang dalam menyikapi setiap persoalan dan kesempatan yang hadir.

Mengenal Emosi dan Menajemen Stres

Ini merupakan materi hari ketiga bersama Kak Alifi yang berjudul, “Tantangan Emosional dalam Bekerja Sebagai Aktivis dan Jurnalis.”

Diskusi dimulai dengan membahas sebuah studi kasus tentang seorang aktivis yang berangkat dari Barat Selatan Aceh ke Takengon, menghabiskan waktu di perjalanan begitu lama. Di perjalanan mobil yang ditumpanginya mogok. Sedangkan dia hanya makan satu bungkus roti sebelum berangkat tadi. Pada akhirnya, dia pun tiba ke tempat tujuan pada pukul 21.00 WIB dengan kondisi lemas dan kelaparan.

Dari kasus tersebut kami diminta untuk mengungkapkan emosi yang muncul bila berada di posisi sang tokoh. Berbagai jawaban seperti marah, kesal, sesal, gemetar, letih, lemas, capek, lesu dan emosi lainnya muncul dari peserta. Hal tersebut merupakan ungkapan emosi yang peserta sampaikan dalam menyikapi sebuah kejadian atau peristiwa.

Apa jadinya bila emosi tersebut terus dipendam dan ditekan dalam-dalam? Tentu lama-kelamaan emosi itu akan meledak dan berdampak buruk pada kesehatan mental. Oleh karenanya, kemampuan untuk mengatur stres agar emosi dapat tersalurkan dengan baik menjadi penting.

Stres merupakan respon fisiologis terhadap sumber stres (stressor) internal atau eksternal. Stres muncul akibat ketidakseimbangan antara sumber daya dengan tuntutan atau tekanan yang ada.

Ada dua macam stres, yaitu eustress (stres positif) dan distress (stres negatif). Eustress muncul saat level stres cukup tinggi yang dibarengi dengan motivasi untuk bergerak  menyelesaikan sesuatu. Misalnya saat dihadapkan dengan ujian tes CPNS, tubuh meresponnya dengan cara belajar lebih giat untuk bisa menjawab soal. Sedangkan distress muncul saat level stress terlalu tinggi atau terlalu rendah, tapi tubuh tidak mampu mengatasi stress tersebut. Sehingga akan memunculkan berbagai emosi seperti sedih, takut, tertekan, cemas, kesepian, bahkan putus asa.

Agar stres tersebut tidak menjadi masalah bagi kehidupan kita, perlu langkah-langkah dalam mengatasinya. Pertama, kita perlu Identifikasi stres tersebut. Kenali berbagai tantangan dan risiko yang umumya berpotensi mengganggu kondisi psikososial kita. Kemudian Sadari reaksi saat stress muncul. Misalnya pada fisik, otot tegang, lemas, sedih, cemas, menangis, atau menjauh dari orang-orang. Kemudian, Validasi kondisi diri terkini yang mungkin memang sedang stress atau tidak baik-baik saja. Selanjutnya Relaksasi dan Stabilisasi dengan menarik nafas dalam untuk meredakan reaksi emosi. Terakhir Self Care (merawat diri) dengan melakukan rutinitas perawatan diri secara holistik seperti jalan-jalan, nge-gym, spa ke salon, dan sebagainya sesuai dengan individu masing-masing.

Selain itu, ada cara cepat dan efektif untuk mengurangi itensitas emosi negatif dengan menggunakan panca indra, yang disebut Teknik Self-Soothing. Dimulai dari Penglihatan dengan cara meredupkan cahaya, bisa juga menutup mata, melihat warna favorit atau yang menenangkan seperti dedaunan hijau dan pepohonan, dan menonton film atau video yang menyenangkan.

Kemudian untuk Sentuhan bisa menyentuh benda halus seperti selimut atau boneka, melakukan pijatan, mandi air hangat atau dingin. Dari Suara kita bisa mendengarkan bunyi yang menyenangkan pikiran, seperti musik yang disukai, suara alam seperti riak air, kicauan burung atau angin.

Pada Penciuman bisa menggunakan aromaterapi, udara segar, lilin wangi/dupa, atau wawangian yang membuat nyaman. Dan terakhir, untuk Perasa bisa menggunakan rasa yang kuat seerti pedas, makan perlahan, minum air hangat/dingin, makan makanan kesukaan atau makan yang membawa nostalgia bahagia seperti masakan ibu.

Teknik Self-Sooting ini pernah kami praktikkan pada saat Morning Reflection di hari terakhir. Masing-masing peserta menggunakan semua indranya untuk menikmati benda yang ada di sakitarnya menggunakan panca indra. Mulai dari melihat 5 objek, dengar 4 suara, sentuh 3 benda, cium 2 bau, dan rasakan satu suasana. Hasilnya memang benar melegakan dan berhasil menjadikan para peserta bersemangat menjalani hari, meskipun di hari terakhir.

Sebagai penutup tulisan, saya akan membagikan konsep Lingkar Kendali yang menjadi salah satu cara sederhana mengelola stres. Konsep ini dikenalkan oleh Stephen Covey dalam bukunya The Habits of Highly Effective People.

Dalam lingkar kendali terdapat 3 lingkaran yang terdiri atas; Lingkar Kendali, Lingkar Pengaruh (sebagian di dalam kendali), dan Lingkar Peduli (di luar kendali).

Dalam Lingkar Kendali, fokus terletak pada pikiran, tindakan, dan perkataan kita yang bisa dikendalikan. Pada Lingkaran Pengaruh, alihkan perhatian dan energi kita pada hal-hal yang berada dalam kendali seperti sikap, usaha, pola pikir, kondisi kesehatan, keluarga, atau kinerja tim. Adapun Lingkar Peduli alias lingkaran terluar yang tidak bisa dikendalikan, seperti komentar atau tindakan orang lain, kebijakan pemimpin, pandemi, resesi, dan cuaca maka kita tidak memiliki kuasa apapun pada posisi tersebut. Maka fokuskan diri pada Lingkar Kendali dan Lingkar pengaruh saja dan tidak perlu menghabiskan energi dan atensi yang dimiliki pada Lingkar Peduli sebab dapat meningkatkan stres dan kecemasan.

Ketika menghadapi sebuah persoalan, fokuslah pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Sehingga Lingkaran Pengaruh akan bertambah luas.

Dengan mengidentifikasi mana yang menjadi kendali dan mana yang berada di luar kendali, kita dapat mengikis stres dan bisa menjaga keseimbangan emosional dan mental dalam menghadapi tantangan hidup. 

Sejauh ini bagaimana? Apakah teman-teman aktivis dan jurnalis sudah mengenali diri dan paham cara mengambil tindakan ketika dihadapkan berbagai persoalan? Mari kita kembali menilik diri.

Tentu penting bagi aktivis dan jurnalis untuk memiliki mental yang sehat agar keamanan psikososialnya terjaga tanpa ada hambatan. Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami tata cara merawat diri (self-care) yang benar. Lantas bagaimana caranya? Nantikan ulasan selanjutnya ya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *