“Yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
–Ali bin Abi Thalib–
Kalimat itu kutemukan di buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Maknanya begitu mendalam sehingga memberiku keyakinan untuk berangkat ke Bandung untuk mengikuti kegiatan Green Leader 10 di Eco Camp. Sebelumnya ada keraguan di hati karena partisipannya dari berbagai lintas agama, daerah, usia, dan lembaga atau komunitas.
Terlebih, kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Lingkungan Hidup ini pemiliknya beragama Katholik. Ketika aku dimasukkan ke dalam grup Green Leader 10, aku melihat banyak para suster yang juga turut serta. Seketika terlintas pikiran yang “bukan-bukan”, apa nantinya keimananku terganggu ketika mengikuti kegiatan ini?
Sebagai masyarakat Aceh yang melekat dengan fanatisme agama, aku mengakui bahwa persoalan agama menjadi prinsipal. Agama tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga identitas budaya yang sudah tertanam di dalam jiwa. Namun, bagaimana ketika aku berinteraksi dengan orang yang berbeda agama?
Aku jadi semakin penasaran, apa sebenarnya tujuan Eco Camp membuat kegiatan seperti ini? Dan apa misi mereka? Aku harus menemukan jawabannya agar tidak menerka-nerka dan berprasangka. Jadi, berangkatlah aku dari Aceh menuju Jakarta pada tanggal 19 Oktober 2024. Selanjutnya dari Jakarta ke Bandung pada tanggal 20 Oktober 2024. Selama perjalanan itu, hatiku terus gundah gulana mempertanyakan apakah aku bisa hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda agama selama 11 hari?
Aku Sudah Sampai; Aku di Rumah
Setibanya aku di Kompleks Eco Camp yang berlokasi di Jalan Pakar Barat, No. 3, Dago, Kecamatan Coblong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, aku langsung disambut dengan senyum semringah para anak muda berompi. Kutaksir usia mereka sekitar 20-an tahun, dua di antaranya menyodorkan beberapa lembar kertas kapadaku, sebagai persyaratan untuk registrasi.
Peserta lainnya semakin banyak berdatangan. Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan. Rupanya mereka dari berbagai daerah. Ada yang dari Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Surabaya, Manado, hingga Papua. Namun, aku belum menemukan satu orang pun peserta yang berhijab sepertiku. Untungnya, mereka ramah-ramah. Kami pun saling berinteraksi, menanyakan asal daerah dan hal sederhana lainnya.
Sembari menunggu, aku melihat sebuah tulisan yang ditempelkan di tembok Eco Camp menggunakan flyer besar sehingga dari jarak 10 meter terlihat jelas tulisannya.
“Aku Sudah Sampai; Aku di Rumah.” Lama kupandangi kalimat itu, sambil melihat sekelilingnya. Di tempat ini terdapat berbagai pohon menjulang tinggi, beraneka macam tanaman tertata rapi, beragam dedaunan rindang yang membuat tempat ini begitu hijau dan teduh. Terlebih, riak aliran sungai membisik di telinga, seolah aku begitu familier dengan tempat ini.
Seketika ingatanku terlempar ke masa 25 tahun yang lalu, ketika usiaku baru beranjak tujuh tahun. Suasana seperti ini mirip seperti suasana di rumah nenek yang ada di Aceh Selatan. Di rumahnya terdapat pepohonan rimbun, bunga bermekaran, tanaman terhampar, dan dedaunan yang menghijau. Keberadaan telaga dan sungai kecil yang begitu jernih di depan rumah nenek menambah eksotis tempat itu.
Berbagai jenis tanaman yang ada di Eco Camp Bandung, pernah kulihat di rumah nenek, kecuali pala dan cengkih yang tidak kutemukan di sini. Sayangnya, setelah 12 tahun kepergian nenek, tanamannya pun ikut menghilang karena tidak dijaga oleh generasi sesudahnya. Bahkan telaga yang mengeluarkan sumber mata air yang begitu jernih telah ditimbun. Pepohonan seperti jambu, durian, palem, kelapa, dan kopi juga ditebang, sedangkan tanaman seperti berbagai macam jenis keladi menjadi mati karena tidak diurus lagi oleh empunya.
Tujuh Kesadaran Baru Hidup Ekologis
Selama sebelas hari, kami belajar tentang ekologi di Eco Camp. Kami mempelajari tujuh kesadaran baru ekologis. Kemudian yang diimplementasikan selama kegiatan Eco Camp. Kesadaran pertama, yaitu berkualitas. Seperti visinya Eco Camp menjadi manusia berkualitas yang merawat bumi dan berguru pada bumi. Maka setiap pagi sebelum memulai kegiatan para peserta melakukan earth care.
Para peserta dibagi menjadi delapan kelompok, masing-masingn terdiri atas 3—5 orang. Tugas earth care adalah memilah sampah, menyiapkan makanan di dapur, berkebun, menyapu halaman, membersihkan ruang makan, dan membersihkan aula sebagai tempat kegiatan. Setiap kelompok melakukan tugas earth care selama 15 menit per harinya. Dan setiap hari tugasnya berbeda-beda sesuai jadwal yang sudah ditentukan.
Selama aku mengikuti kegiatan atau pelatihan, baru kali ini kutemukan pelatihan yang pesertanya diminta melakukan pekerjaan rumah seperti itu. Bahkan sehabis makan harus mencuci piring. Bayangkan, aku jauh-jauh dari Aceh ke sana “hanya” untuk melakukan pekerjaan rumah yang setiap hari kulakukan? Terkadang kulakukan dengan hati dongkol karena kecapaian atau bosan melakukan tugas berulang.
Rutinitas ini memberikan makna lain. Ternyata, untuk menjadi manusia berkualitas kita harus hidup sebagai manusia yang mandiri. Dimulai dengan melakukan hal-hal kecil seperti membereskan rumah. Bayangkan bila setiap anggota keluarga melakukan earth care secara kompak, pasti setiap rumah bersih, tidak ada lagi sampah yang berantakan, ruangan yang acak-acakan, atau halaman yang tak terurus. Sebab semuanya mempunyai kesadaran ekologinya sendiri.
Kesadaran yang kedua ialah sederhana. Ini lebih ke pola pikir dan pola hidup. Bagaimana kita menyederhanakan hidup ini sehingga merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimiliki. Sebab, bila setiap manusia menurutkan keinginannya maka bumi ini tidak cukup untuk memenuhinya.
Menurut National Footprint and Biocapacity Accounts (2022), jika semua orang hidup seperti orang Amerika, maka membutuhkan 5,1 Bumi untuk bisa memenuhi keinginannya. Dan untuk standar hidup orang Indonesia, membutuhkan 1,5 Bumi. Padahal Bumi kita hanya satu. Bila keinginan demi keinginan terus dilanjutkan, maka sumber daya yang disediakan alam habis untuk memenuhi keinginan manusia. Bisa jadi 20—50 tahun ke depan generasi kita tidak bisa menikmati kehidupan seperti kita saat ini.
Untuk melatih hidup sederhana, para peserta yang jumlahnya 40 orang mengambil makanan secukupnya setiap kali waktu makan. Sebelumnya akan ada yang memimpin doa dan membacakan tujuh renungan sebelum makan. Ketika mengambil makanan sampai duduk di meja makan, semua dalam keadaan hening. Sampai semua peserta mendapatkan makanan, barulah dibacakan doa yang diikuti dengan renungan.
“Marilah makan berkeadilan. Ambil secukupnya dan habiskan apa yang diambil. Membuang makanan adalah mencuri dari orang miskin. Ingat, masih banyak orang kelaparan. Hindari sikap serakah dan budaya membuang. Belajarlah hidup sederhana dan secukupnya.” Itulah penggalan bunyi poin kedua dari tujuh poin renungan sebelum makan.
Selama sebelas hari aku mengikuti pelatihan ini, aku selalu menghabiskan makananku. Begitu juga teman-teman yang lain. Aku jadi teringat saat dulu mengikuti pelatihan di hotel. Saking banyaknya makanan yang tersedia, aku mengambil makanan sesukaku, akhirnya malah bersisa. Berdalih ingin memperbaiki gizi, tetapi ternyata aku lupa bahwa keserakahan akan membawa malapetaka. Dan sehabis aku ikut pelatihan di hotel, selalu saja aku jadi sakit perut.
Namun, tidak di pelatihan Eco Camp. Aku sangat menikmati makanannya walaupun menunya ala vegetarian. Rasanya jauh lebih nikmat dari masakan hotel berbintang. Di sini, aku merasakan keajaiban rasa. Bentuk dan warna dalam sepiring makanan yang aku ambil terasa lezat. Semua menunya enak. Saat kutanya pada tim dapur yang memasak makanan tersebut, ternyata mereka tidak menggunakan penyedap instan sama sekali. Mereka menggunakan kaldu jamur yang mereka racik sendiri.
Kesadaran yang ketiga hemat. Pepatah mengatakan hemat pangkal kaya. Namun, hemat untuk mengumpulkan kekayaan diri sendiri sama dengan egosentrik. Hemat yang dimaksud di sini ialah hemat karena peduli dan berbagi pada sesama, terutama yang lemah dan miskin. Prinsipnya hemat pangkal selamat sama dengan ekosentris—yakni menjadikan alam atau ekologi sebagai pusat pemikiran atau aktivitas.
Kesadaran yang keempat peduli. Di pelatihan Eco Camp ini peserta diajarkan tentang Teori Membumi, Kesadaran Hati, & Mindfulnes, Spiritualitas dan Ekologi Kehidupan, Awakening the Dreamer & Changing the Dream, Green Business, Active Hope & Cosmic Walk.
Semua itu untuk menumbuhkan rasa dan sikap kepedulian kami terhadap bumi. Dengan demikian, setelah pulang tiap-tiap peserta bisa menerapkannya di daerah masing-masing. Kepedulian untuk memberi melahirkan semangat berbagi yang merupakan poin kelima.
Dalam sesi berbagi, kami mendatangi sebuah sekolah dasar di Kecamatan Kertasari, Bandung, Jawa Barat. Kawasan tersebut pada 18 September 2024 lalu terkena musibah gempa bumi berkekuatan Magnitudo 5,0. Dampaknya, sebanyak 450 warga dari tiga desa terpaksa mengungsi, 58 orang luka ringan, dan 23 lainnya luka berat.
Oleh karena itu, kami ingin menghibur korban gempa di sana, terutama anak-anak. Ada puluhan anak-anak di sana. Kami bernyanyi; bergembira sambil bermain angklung. Tiap-tiap anak mendapatkan satu angklung. Dipandu oleh Pak Freddy sebagai dirigen, kami memainkan tiga buah lagu, salah satunya ‘Hallo-Hallo Bandung’.
Meskipun tidak sempurna karena kami hanya sempat beberapa kali latihan, dan anak-anak pun baru kali itu mengenal angklung, tetapi alunan musik begitu harmonis terdengar di telinga. Anak-anak bermain penuh antusias. Tawa, canda, gembira terlihat dari wajah mereka. Di situ aku merasakan kebermaknaan hidup yang merupakan poin keenam.
Ternyata, bahagia tidak melulu karena punya banyak harta, tapi hal kecil, sederhana, sanggup dilakukan dengan gembira itu jauh lebih indah. Bila kita tidak lagi memikirkan tentang diri sendiri, hidup jauh lebih bermakna.
Dan kesadaran yang terakhir ialah harapan. Meskipun bumi sedang tidak baik-baik saja, tetapi kita punya harapan untuk memperbaiki dan menjaganya. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang pemateri Green Leader, Bijaksana Junerosano.
“Bila kau melihat anjing mati yang mengeluarkan bau menyengat, maka lihatlah gigi putihnya yang bersih.”
Jadi, kita harus melihat sisi positif dari setiap peristiwa atau kejadian.
Sebelas hari berada di Eco Camp menyadarkanku bahwa untuk menjaga bumi bukan tugas satu umat beragama saja, tetapi semua manusia. Tidak peduli apa agamanya, suku, dan daerah mana asalnya yang jelas kita tinggal di bumi yang sama.
Pikiran negatif dan prasangka yang kubangun saat menuju Eco Camp runtuh seketika. Selama di sana, aku sangat nyaman melakukan ibadah. Khusus bagi peserta muslim, setiap masuk waktu salat, diberikan kebebasan untuk salat berjemaah di musala. Pada hari-hari tertentu, peserta yang beragama Katholik juga melakukan misa bersama.
Keimananku jadi semakin kuat ketika berada di tengah keberagaman. Keyakinan kita dalam berhubungan dengan Tuhan berbeda-beda, tetapi kita disatukan dengan tujuan yang sama, yakni menjaga alam ini agar tetap lestari hingga bisa diteruskan untuk generasi mendatang.[]
Penulis adalah anggota Perempuan Peduli Leuser; copywriter dan fasilitator Bumoe Learning Community. Tulisan-tulisan lainnya dapat dibaca di www.yellsaint.com.
Editor: Ihan Nurdin