Bila mendengar kata ranger, generasi tahun 90-an seperti saya pasti teringat akan sebuah serial televisi yang menampilkan aksi lima manusia super dinamai Power Rangers. Dengan meggunakan kostum rangers, mereka bertugas menyelamatkan warga bumi dari para monster yang ingin menguasai dunia. Serial yang populer di tahun 1993-2002 itu menyita banyak perhatian publik, khususnya anak-anak.
Power Rangers ini pada dasarnya hanyalah cerita fiktif yang diadaptasi dari serial televisi Jepang. Namun, di Aceh keberadaan ranger nyata adanya. Mereka adalah tim polisi hutan yang bertugas berpatroli dan melakukan aksi penyelamat hutan dari ancaman kegiatan illegal, seperti perburuan, perambahan, dan pembalakan liar. Hutan tersebut dinamai dengan Leuser, sebagian kawasannya dikenal sebagai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Leuser inilah yang merupakan paru-paru dunia, sumber air bagi 4 juta penduduk Aceh dan Sumatera Utara, serta tempat tinggal berbagai macam satwa.
Dengan beban di punggung yang beratnya mencapai 50 kilogram sebagai bawaan, para ranger menyusuri Leuser berhari-hari.Terkadang mereka harus mengarungi sungai, melewati jalan menanjak, menurun, bahkan medan yang terjal pun harus dilalui untuk mencapai titik lokasi yang dituju. Belum lagi ketika mereka dihadapkan dengan para pembalak yang kadang susah untuk diajak kompromi. Bila tidak pandai-pandai bernogosiasi justru akan menimbulkan konflik yang dapat mengancam keselamatan diri.
Ranger bagian yang tidak bisa terpisahkan dari Leuser karena dengan adanya mereka, Leuser yang luasnya mencapai 2,6 juta hektare itu bisa terjaga keselamatannya dari para perambah. Tidak hanya mengamankan Leuser, ranger juga bertugas mencatat jejak, sarang, dan kotoran satwa serta menghancurkan jerat yang dipasang pemburu. Kegiatan itu rutin dilakukan sebulan sekali dengan lama patroli 14-15 hari. Selama berada di dalam Leuser, mereka membawa perbekalan seadannya, tidur di dalam tenda ditemani oleh penghunyi rimba.
Mungkin pekerjaan ini dianggap lazim bagi laki-laki, namun bukan berarti perempuan tidak dapat ikut berperan. Pekerjaan yang dilakukan Marini sebagai satu-satunya ranger perempuan yang ambil bagian sebagai tim patroli hutan di wilayah kerjanya menjadi contoh baik peran perempuan di ruang publik. Walau sudah menikah dan memiliki anak, nyatanya Marini masih saja aktif mengawal hutan Leuser hingga sekarang.
Lantas bagaimana Marini Siregar mampu bertahan hingga12 tahun lamanya menjalani profesi sebagai ranger? Mari simak kisahnya.
****
Minggu, 18 Juli 2021, saya bertolak ke Aceh Barat Daya (Abdya) dari Aceh Selatan yang merupakan tempat kediaman saya. Tujuan saya ke daerah tetangga ini untuk bertemu Marini Siregar yang juga teman sekomunitas saya di Perempuan Peduli Leuser (PPL). Ia tinggal di sebuah rumah dinas Puskemas Bineh Krueng, Kecamatan Tangan-tangan. Bersama suami dan ketiga anaknya, mereka menempati rumah tersebut, karena suami Marini berstatus sebagai petugas Ambulance Puskesmas Bineh Krueng.
Setiba di kediaman Marini, saya disambut oleh bocah laki-laki yang merupakan anak bungsu Marini. Kemudian disusul sang kakak berusia kurang lebih tiga tahun lebih tua dari si adik. Kedua bocah tersebut tersenyum, seolah mereka mengetahui bahwa saya orang yang ditunggu oleh ibu mereka. Tidak lama kemudian, Marini pun keluar menyambut kedatangan saya. Saat itu, Marini sedang sibuk mempersiapkan makan siang.
“Harap maklum saja ya Yel, kondisi rumah di hari libur ini,” ujarnya dengan seyum khas sambil mempersilakan saya dan suami duduk. Selanjutnya, ia bergegas ke dapur untuk membuat minuman dan mengambil cemilan untuk dihidangkan.
Marini yang saya lihat saat itu, hanyalah seorang perempuan biasa. Rasanya sungguh menakjubkan jika mengingat bahwa ibu tiga anak di hadapan saya ini sesungguhnya adalah seorang ranger. Sama halnya seperti Power Ranger yang terlihat biasa ketika berada di masyarakat dan akan berubah mengenakan kostum ranger saat melakukan upaya penyelamatan. Begitulah kehidupan Marini yang bisa menyesuaikan diri antara profesionalitasnya saat bekerja dan kesahajaannya saat bersama keluarga.
Bila Marini sedang melakukan patroli, anak-anak akan diasuh oleh sang suami. “Saya bilang ke anak-anak, ‘Mamak kerja nggak pulang selama beberapa hari, jadi kalian di rumah bersama abah ya.’ Mereka tanya kenapa saya lama di hutan dan ngapain aja di sana. Di situlah saya mengedukasi mereka tentang pentingnya menjaga hutan.” Jelas Marini.
Sebelum Marini berangkat untuk patroli ke hutan, semua persediaan di rumah seperti bahan makanan dan kebutuhan anak-anaknya disiapkan terlebih dahulu. Jadi, ketika Marini pergi meninggalkan rumah, ia merasa tenang. Sehingga ia dapat fokus terhadap apa yang dikerjakannya di hutan. Kemudian, ketika Marini pulang dari patroli, ia tidak lupa membawa buah tangan untuk anak-anaknya. Tidak perduli pakaiannya yang masih berlumpur, ia singgah dulu ke kedai untuk membeli jajanan sebagai oleh-oleh dibawa pulang. Begitulah keseharian Marini menyeimbangkan perannya sebagai seorang ibu dan ranger.
Pertama kali saya bertemu dengan Marini, yaitu di tahun 2017 saat kegiatan pelatihan Perempuan Peduli Leuser (PPL) yang diselenggarakan oleh USAID Lestari. Saat itu kami terpilih sebagai perwakilan perempuan dari lima kabupaten/kota di Aceh yang dilatih untuk mengampanyekan isu-isu lingkungan, khususnya Leuser.
Marini yang mewakili Kabupaten Abdya saat itu berstatus sebagai ranger di TNGL. Meskipun ia tahu banyak tentang isi dalam Leuser, tapi sang ranger lebih memilih diam dan banyak mendengarkan cerita dari teman-teman perempuan lainnya. Ia hanya berbicara seperlunya bila dimintai pendapat atau menceritakan pengalamannya selama di lapangan. Pembawaanya yang santai dan murah senyum membuatnya mudah berbaur dengan para peserta pelatihan, hingga ia dikenal baik oleh sesama anggota PPL.
Mungkin banyak yang penasaran tentang kehidupan Marini sebagai seorang ranger. Sebab, jarang sekali perempuan melakukan pekerjaan ini, terlebih harus berlama-lama di dalam hutan meninggalkan keluarga. Oleh karena itu, saya mendatanginya langsung untuk mendengarkan kisah awal mula Marini terlibat sebagai ranger hingga akhirnya ia mencintai profesinya tersebut.
Perempuan Satu-satuya
Sebelum terlibat sebagai ranger, Marini adalah seorang honorer yang bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk wilayah TNGL. Ia mengerjakan tugas di bagian tata usaha dan kebetulan hanya Marini seorang perempuan yang bekerja di situ. Di awal masa kerjanya, Marini merasa tidak percaya diri karena hanya dia sendiri yang perempuan.
“Baru beberapa bulan saya bekerja di situ, kemudian saya nggak masuk lagi sampai setahun lamanya. Sebab, saya berpikir akan dideskriminasi karena cuma sendiri perempuan. Rupanya pemikiran saya salah besar. Justru tempat ini yang memberi kenyamanan saya bekerja hingga sekarang. Padahal sebelumnya, saya ganti-ganti terus pekerjaan.” Ungkap Marini yang juga mengaku pernah bekerja di mini market dan di Bank.
Namun ketika Marini tidak masuk kerja, ia dipanggil lagi oleh atasannya dan menanyakan alasan kenapa ia tidak mau bekerja. Setelah menyampaikan alasan klasik yang ada dipikirannya, ia pun sadar bahwa tidak perlu ada yang ditakutkan karena rekan kerjanya tidak pernah macam-macam terhadapanya. Ia pun menghalau semua kegundahan yang dikhawatirkannya selama ini, lalu bekerja kembali di instansi tersebut, meskipun hanya dirinya yang seorang perempuan.
Perempuan asal Sumatera Utara ini pun mulai tertarik dengan pekerjaannya yang awalnya hanya duduk manis di kantor, kemudian ingin mencoba terjun lapangan untuk berpatroli hutan. Marini penasaran melihat teman-temannya yang setiap bulan memasuki Leuser dengan membawa berbagai macam perbekalan dan perlengkapan. Awalnya ia hanya mencoba rute pendek selama dua malam, rupanya ia ketagihan menikmati perjalanan di hutan. Hingga akhirnya, ia memberanikan diri mengambil rute panjang sampai dua minggu lamanya memasuki Leuser hingga ke pedalaman.
Marini juga dibekali dengan berbagai macam pengetahun tentang apa yang harus dilakukan selama di hutan. “Jadi, ada semacam semester pendek dulu yang harus diikuti. Di sini kita belajar mengenali tanda-tanda satwa, seperti sarang, jejak, lintasan, dan kotorannya. Kemudian mengamati apakah masih ada ketersediaan makanan di sekitar satwa tersebut. Dengan begitu kita bisa memastikan keberadaan satwa tersebut di Leuser ini, berapa jumlah populasinya, dan di mana saja keberadaannya. Selain itu, kita juga belajar bagaimana tindakan yang kita lakukan saat menemukan orang yang sedang melakukan pembalakan, dan hal yang paling penting ialah bagaimana menginput temuan kita selama berada di hutan menjadi sebuah data dasar,” jelas Marini.
Itulah retetan kegiatan yang dilakukan Marini bersama teman-teman rangernya selama 15 hari di hutan Leuser. Jadi, mereka bukan sekadar jalan-jalan saja, melainkan bekerja untuk memperoleh data. Dari temuan merekalah dapat diketahui jumlah satwa yang tersisa, dan bagaimana kondisi hutan Leuser yang merupakan sumber air dan oksigen bagi kehidupan manusia.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Marini saat ini jauh berbeda dari latar belakan pendidikannya. Perempuan kelahiran Kota Pinan, 23 Maret 1988, ini lulusan akutansi dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tahun 2007. Setelah mencoba berbagai macam pekerjaan, di tahun 2010 Marini bekerja di TNGL, hingga akhirya memilih menjadi ranger. Ia bisa beradaptasi dengan pekerjaannya itu walau semua teman-temannya laki-laki.
“Toh mereka semua sopan-sopan sama saya. Selama saya bekerja hingga sekarang, tidak pernah mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan. Justru saya sudah menganggap mereka sebagai keluarga. Dan mereka pun juga memberikan perhatian sesuai porsinya dan privasi sama saya. Misalnya saat di hutan, saya diberikan tenda sendiri. Kemudian ketika saya mandi di sungai dekat perkemahan, mereka pergi jauh-jauh supaya saya tidak terganggu dengan keberadaan mereka. Jadi, kalau saya nggak betah, tidak mungkin rasanya saya bisa bertahan sampai sekarang,” ujar Marini.
Sudut Pandang Pekerjaan Marini
Bekerja di tempat yang didominasi oleh laki-laki, tidak menjadi persoalan bagi suami Marini. Justru laki-laki yang bernama Jaddal Iman ini, selalu mendukung Marini selama istrinya bisa menjaga diri dan melakukan pekerjaan sesuai jalurnya. Namun, ada kalanya sudut pandang orang terhadap pekerjaan Marini membuat bunga api dalam rumah tangganya. Untungnya cobaan itu bisa mereka lalui dengan jalan diskusi dan saling membuka diri.
“Pandangan orang ketika saya bekerja di sini yang berat. Apalagi ketika turun patroli dari hutan, dilihat sendiri perempuan, semua mata tertuju pada saya. Bahkan suami saya sempat termakan hasutan orang yang membuatnya tidak sabar. Kemudian saya kasih pengertian ke dia, omongan orang jangan ditelan mentah-mentah gitu. Sebab, orang menyampaikan ke kita bukan karena niat baik, tapi ingin melihat kita hancur. Jadi, itu tergantung abang. Kalau misalnya saya disuruh keluar dari pekerjaan ini, saya keluar. Namun, kalau abang mendukung, saya melanjutkannya.” Kata Marini mengulang ucapan yang disampaikan ke suaminya.
Itulah tantangan Marini di masa awal-awal pekerjaannya. Seiring berjalannya waktu, orang-orang akhirnya memahami apa yang dikerjakan Marini bersama ranger lainnya. Hingga tidak ada lagi yang memandang buruk pekerjaannya. Bahkan masyarakat di sekitar Leuser pun sudah mengenal baik Marini. Ketika ada perselisihan di masyarakat tentang status kepemilikan hutan adat, Marini biasanya ambil bagian untuk bernegosiasi dengan para perempuan di tempat tersebut.
Berada di hutan dan melakukan patroli selama berhari-hari dan bermalam-malam, menjadi pengobat stress bagi Marini ketika bosan bekerja di kantor. Apalagi ketika ia menemukan hal-hal baru di dalam Leuser. Pengalaman berkesan yang membuat Marini semakin mencintai pekerjaannya ialah saat pertama kali menemukan jejak harimau secara langsung.
Anak sulung dari pasangan Alm Umar Dani Siregar dan Mardiana Pohan ini juga menjelaskan sekilas tentang perilaku harimau. Lebih lanjut Marini mengatakan bahwa bila harimau mencium keberadaan manusia, satwa yang satu ini akan menghindar. Jadi, ia dan teman-temannya hanya bisa menemukan jejaknya saja tanpa pernah bertemu langsung dengan raja hutan tersebut.
“Kemudian bila kita tersesat di hutan dan bertemu jejak harimau, maka ikuti saja jejak tersebut. Pasti jejak tersebut akan membawa kita ke tepi sungai. Jadi, bila sudah menemukan sungai tinggal ikuti saja alurnya hingga sampai ke perkampungan. Cara ini sering kami lakukan saat tersesat di hutan. Sebab, yang namanya GPS kan sering error, bahkan kadang-kadang kami lebih memilih mengikuti petunjuk alam dari pada alat buatan manusia,” ujar Marini dengan senyum khasnya.
Selama menjadi ranger, banyak ilmu baru yang ditemuinya khususnya pengetahuan dalam menjaga hutan. Marini berharap ke depan ada perempuan-perempuan lainnya yang mau dan tertarik melakukan tugas ini. Sebab, perempuan bisa bercerita lebih banyak tentang hutan khususnya bisa menjadi bahan edukasi bagi anak-anak mereka.
Teruntuk para perempuan, Marini berpesan supaya tetap berpikir positif dan percaya terhadap kemampuan diri. Jangan mau diintimidasi dan diintervensi oleh siapa pun dan jadilah diri sendiri. Bila mempunyai kemampuan dan keterampilan, teruslah mengasahnya dan belajar. Jangan pedulikan apa kata orang lain, selagi itu masih di jalur yang benar.[]