Oleh Amrina Habibi*
Dengan ucapan bismillah, sepanjang perjalanan pulang saya menetapkan tujuan ingin menuliskan sebahagian kenangan indah di tanah tempat saya dilahirkan, yaitu Gampong Namploh Blang Garang. Secara administrasi pemerintahan, saya menemukan informasi bahwa Gampong Namploh Blang Garang memiliki kode Kemendagri 11.11.01.2007. Kode ini menunjukkan bahwa gampong saya telah memiliki status administrasi pemerintahan yang jelas.
Gampong saya terletak di Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, dan berbatasan dengan beberapa desa lain, yaitu Gampong Kandang, Namploh Krueng, Gampong Putoh, dan Gampong Namploh Baro. Luas wilayahnya sekitar 1.234 km2 dengan jumlah penduduk berkisar 341 jiwa. Berulang kali ayah saya mengatakan, bahwa banyak janda di gampong kami dan sekaligus berperan sebagai kepala keluarga.
Pemberian nama dusun menggunakan nama tokoh yang memiliki karakteristik istimewa, bahkan salah satunya menjadi situs bersejarah dan dipercaya oleh banyak orang sebagai tempat keramat. Alhasil, setiap hari Senin dan Kamis ada orang yang datang ke kampung kami untuk peuglah kaoy atau melepaskan nazar. Mereka membawa ketan, ayam, bebek, kambing, bahkan sapi untuk dimasak di lokasi tersebut. Banyak juga yang datang dari jauh, bahkan beberapa seingat saya berasal dari Peureulak, Aceh Timur.
Semoga niat peuglah kaoy ini tidak melenceng dari aturan Allah. Peuglah kaoy ini juga memberi dampak ekonomi kepada masyarakat setempat dan juga memiliki dampak sosial lainnya karena warga dapat merasakan nikmatnya kuah kari kambing atau lembu yang juga dibagikan kepada masyarakat. Istilahnya yak theun kuah bak kubu.
Sedangkan dua dusun lagi, yaitu Dusun Tgk Tanoh Abee dan Dusun Tgk Di Pantee jug memiliki cerita dan sejarah luar biasa karena kedua tokoh tersebut adalah orang dengan pengetahuan yang baik dan suri teladan bagi masyarakat.
Mata Kehidupan
Orang-orang di kampung saya memiliki profesi yang beragam. Ada yang berjualan, bertani, bergerak di sektor layanan jasa, dan juga menjadi pegawai pemerintah. Banyak juga yang merantau dan punya cerita sukses kendati ada juga yang sedih, juga ada yang bekerja sebagai buruh kasar. Maka, sangat wajar jika kemudian setiap saat muncul rasa rindu dalam diri saya untuk pulang kampung karena akan bertemu orang tua, sanak saudara, dan sahabat-sahabat baik. Kerinduan itu bertambah sempurna saat membayangkan bisa menyusuri lorong lorong atau jurong-jurong kecil yang tentunya penuh dengan kenangan manis.
Aneka juadah dan makanan tradisional yang dijual seperti bu guri, seupet, keukarah, hingga boh usen sudah berganti tangan peraciknya karena para miwa dan nyakwa yang dulu gesit sudah pada sepuh, bahkan beberapa sudah kembali ke akhirat.
Pada kepulangan kali ini di pertengahan Februari 2025, pagi-pagi sekali saya menyusuri satu lorong yang sebahagian jalannya sudah diaspal. Terlihatlah ada buhom (kompleks kuburan) salah satu keluarga tokoh di kampung kami yang di dalamnya penuh dengan tanaman cabai dan timun suri. Ini pasti dipersiapkan untuk Ramadan dan ternyata sudah mulai panen kecil. Rezeki saya bisa menikmati timun suri segar di pagi itu. Ada empat buah yang sudah tua dan bisa dipanen. Timun suri itu pun langsung dipetik dan berpindah ke tangah saya. Sebagai gantinya, saya menyodorkan uang Rp50 ribu. Begitu sampai di rumah, saya pecahkan es batu dan mencemplungkan ke dalam daging timun yang sudah dibersihkan, juga sedikit gula pasir. Rasanya nikmat luar biasa.
Perempuan Tangguh dan Berkarya
Selepas dari kebun timun suri, saya bertandang ke sebuah rumah dan terdengar aktivitas di dapur yang cukup ramai. Ternyata, ibu-ibu di dapur sedang mempersiapkan pesanan nasi goreng untuk acara penutupan pengajian TPA yang akan ditutup sementara untuk menghadapi Ramadan. Ibu yang punya rumah langsung keluar dengan sambutan yang sangat hangat. Itu salah satu ciri khas orang kampung, adat peumulia jamee sangat dijaga dan kemudian disusul oleh anak perempuannya yang notabene merupakan pemilik pohon anggur dan aneka tanaman lainnya seperti strobery dan bayam brazil yang tumbuh menghijau dan sangat subur.
Dari mulutnya yang munggil keluarlah cerita bagaimana anggur bisa berbuah lebat dengan aneka jenis. Ia bercerita bahwa tanaman anggur membutuhkan perawatan yang bagus. Harus konsisten merawatnya. Perlakuan ini sama juga dengan perjalanan sebuah rumah tangga, butuh dirawat dan diberi “pupuk”, serta perlu dipangkas atau dibuang cabang-cabang yang tidak diperlukan.
Ketika saya tanya apa motivasinya menanam, ibu muda ini menjawab selain karena hobi dan menjadi saluran yang menyenangkan untuk membuat hari-harinya menjadi lebih bahagia. Plusnya ada rupiah yang dapat diperoleh untuk mengisi dompet dan ikut mendukung keuangan rumah tangga.
Ayo, ibu-ibu dan mamak-mamak di mana pun berada, mari kita penuhi lahan perkarangan kita dengan tanaman yang bernilai. Karena selain kita dapat nilai (value), juga bisa meningkatkan posisi tawar kita (bargaining) dalam rumah tangga karena ada unsur kemandirian. Tentunya, alam pun menjadi lebih hijau dan sehat.
Kalau ekonomi kita sehat, rumah tangga menjadi lebih tangguh. Sebuah pembelajaran luar biasa, bukan?
Secara otomatis pula, melalui kegiatan berkebun di rumah, ibu-ibu sudah mendukung program kerja pemerintah terutama 10 program pokok PKK yang ketiga, yaitu pangan. Dalam hal pangan, PKK menggalakkan penyuluhan untuk pemanfaatan pekarangan, antara lain, dengan menanam tanaman yang bermanfaat, seperti sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, dan bumbu-bumbuan. Bahkan juga dianjurkan memelihara unggas dan ikan serta cara pemeliharaannya di lahan pekarangan mereka sendiri. Hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga. Selebihnya dapat dijual untuk menambah pendapatan keluarga dan meningkatkan penganekaragaman pangan lokal.
Berbicara soal pangan lokal tentu lebih sehat, lebih murah, dan terjamin kualitasnya. Hanya saja, ketika disajikan atau diolah butuh sedikit kreativitas karena generasi sekarang, yakni Gen-Z atau Gen Alpha tentu beda dengan generasi terdahulu para Baby Boomer. Generasi muda sekarang punya kecenderungan mengonsumsi makanan yang tentu berbeda seleranya dengan generasi-generasi sebelumnya. Umumnya suka yang instan dan terkadang mengabaikan kualitas gizi makanan yang dikonsumsi tersebut. Hal ini menjadi tantangan dan PR bagi para orang tua agar pangan lokal dapat diolah dan disajikan secara menarik. Juga, perlu membangun kebiasaan positif dalam mengonsumsi makanan agar real food lebih disukai ketimbang junk food.
Sehat Itu Mahal
Seseorang bisa sehat tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa orang yang saya jumpai di kampung terlihat masih bugar kendati usianya lebih tua dari saya. Menurut mereka, makan secukupnya, tetapi tetap berimbang adalah kuncinya. Artinya, dalam setiap makanan yang dikonsumsi ada karbohidrat, protein, dan sayur rebus sudah cukup. Sedangkan untuk asupan buah pada umumnya mereka makan pisang atau buah pepaya. Seringnya, buah pepaya atau boh peutek ini juga melengkapi manisnya kuah reuboh yang menjadi konsumsi hari-hari para miwa atau nyakwa.
Orang tua di kampung, terutama di era nenek saya dan juga secara umum berlaku sampai sekarang, mendapat asupan vitamin D berupa sinar matahari yang cukup. Mereka mendapatkan vitamin D saat beraktivitas di sawah, kebun, atau di pekarangan rumah. Hingga usia senja chik (nenek) saya memiliki pola hidup yang sangat teratur, termasuk kebutuhan berjemur dibarengi culek bak naleung atau mencabut rumput dengan menggunakan pisau. Masyaallah, orang kampung hidup dengan keberterimaan diri sepenuhnya bahwa apa pun yang dijalani adalah bagian dari ketentuan Allah. Mereka bangun lebih cepat dan juga tidur lebih cepat. Namun, tampaknya budaya itu sekarang sudah bergeser. Di rumah-rumah tampak belum ada aktivitas kendatipun matahari sudah mulai tinggi. Mungkin karena sang empunya tidur terlalu larut sehingga kesulitan beraktivitas di pagi hari.
Gampong Sudah Berubah
Suasana gampong semasa saya kecil jauh lebih asri dan hijau. Datangnya banjir yang hampir setiap tahun justru membuat tanah tanah menjadi lebih subur. Hingga awal tahun ’90-an, kampung saya masih banyak pohon durian, termasuk di kebun tanjong milik keluarga kami. Jika cerita enak dan puasnya makan durian, masa-masa itu sudah pernah saya lewati. Ada jenis boh drien mee, kecil buahnya tapi rasanya legit. Ada jenis durian berbuah besar, yang dalam satu batang mungkin hanya ada beberapa buah saja, tapi kalau jatuh suaranya seperti bom meletus saking kerasnya suara gedebum. Suaranya sampai ke rumah kami yang berselang beberapa jauh dari Tanjong.
Ada aneka ragam jenis durian lainnya yang memang sungguh nikmat dan memang buah surga ini bikin ter-hawa-hawa atau kepingin. Semua itu tinggal kenangan. Kebun Tanjong saat ini telah bersalin rupa menjadi pusat peradaban dengan berdirinya Dayah MUDI Mesra 2 sebagai sebuah harapan baru bagi para fisabillah. Juga harapan menjadi pusat pendidikan agama yang terintgerasi memberi
kesejahteraan kepada warga kampung saya.
Baca juga: Kreatifnya Saudi, Mengubah Sampah Menjadi Rial Bernilai Triliunan
Hal lainnya yang menggelisahkan saya adalah kondisi air sungai yang keruh dan menyusut karena buangan sampah, limbah rumah tangga, ataupun dampak dari galian C. Anak-anak sekarang pasti tak senyaman saat kami kecil dulu ketika mandi berjam-jam di sungai. Pada musim tertentu, kami masih bisa mencari pempeng/lokan atau kerang sungai karena sungai masih memiliki pantee atau pantai.
Saya berharap akan ada kebijakan pengelolaan sampah, apalagi buangan got rumah tangga tidak turun ke sungai karena sungai bisa rusak dan ketika sungai rusak maka rusak juga peradaban.
Pemimpin Muda
Dalam beberapa tahun terakhir, pimpinan gampong atau keuchik sudah berasal dari kalangan anak muda. Salut saya atas keberanian mereka memimpin roda pemerintahan yang tentu tidaklah mudah dan banyak tantangannya. Beberapa program yang mereka jalankan juga memberi dampak dan perhatian langsung kepada kelompok rentan, seperti anak yatim, ada usaha berkelanjutan, dan daging meugang tidak perlu beli karena gampong menyediakannya secara gratis. Masyarakat yang berkurban pun selalu ada karena dibuat sistem julo-julo.
Saya mencintai gampong saya karena saya percaya itu adalah sebagian dari iman. Saya juga berharap, jika ada beberapa anak putus sekolah dapat dicegah dengan sistem subsidi silang atau bentuk pemberdayaan lainya. Karena putus sekolah akan berdampak buruk, apalagi buat anak perempuan yang bisa menyebabkan mereka menikah di usia anak. Mata rantai kemiskinan tidak akan putus bila angka putus sekolah tinggi dan sejumlah dampak lainnya termasuk harus bekerja di usia anak.
Semoga gampong halaman saya terus berbenah dan warganya hidup sejahtera dan bahagia. Dengan demikian, tamsilan Blang Garang yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti Sawah Gembira benar adanya.[]
Penulis adalah Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh