Banda Aceh—Untuk mendorong kesadaran bersama tentang bahaya kekerasan seksual yang meningkat, Balai Syura Ureung Inong Aceh mengadakan Kajian Duha dengan tema “Tanggung Jawab Sosial Islam terkait Pencegahan Kekerasan Seksual di Aceh.” Kajian ini berlangsung di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, dan dihadiri oleh berbagai perwakilan lembaga perempuan Aceh, Jumat, 7 Maret 2025.
Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional (IWD) 2025 dan bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai implementasi nilai-nilai Islam dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di masyarakat.
Selain itu, juga membahas optimalisasi peran aktif masyarakat, khususnya perempuan Aceh, dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.
Kajian ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. Rasyidah, M.Ag. selaku Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh dan Masithah dari Fatayat NU Aceh.
Rasyidah mengatakan, kepedulian terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual merupakan kewajiban setiap individu. Pencegahan ini tidak cukup dengan doa, tetapi diperlukan aksi nyata.
“Dalam Islam, aksi nyata ini merupakan dakwah amar makruf nahi mungkar dan melaksanakannya menjadi jalan untuk mendapatkan predikat sebagai orang yang beruntung. Namun, di antara kita masih banyak yang lebih memilih diam dan abai daripada peduli dengan aksi nyata,” tegas Rasyidah.

Sebagai refleksi bersama, perlu dibangun kembali sistem pengawasan komunal terhadap anak-anak di masyarakat. Pada masa-masa sebelumnya, setiap individu merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan menegur anak-anak yang tidak berada di sekolah atau berperilaku menyimpang. Di Aceh konsep ini dikenal dengan istilah “pageu gampong” atau pagar kampung, yakni setiap anak dianggap sebagai bagian dari komunitas.
Ungkapan “anakmu, anakku, anak kita semua” menjadi hal yang lumrah di masa lalu. Namun, saat ini kepedulian sosial seperti ini kian menurun, seiring melemahnya fungsi sosial tokoh mayarakat.
“Situasi ini berkontribusi pada meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak-anak, termasuk kekerasan seksual,” kata Rasyidah.
Senada dengan itu, Masithah menambahkan tentang pentingnya pengawasan orang tua terhadap akses pada teknologi digital oleh generasi muda, agar aktivitas di media sosial tetap positif. Di era ini, anak-anak dan remaja memiliki akses tak terbatas ke berbagai informasi dan konten melalui internet.
“Kecanggihan teknologi, jika tidak diimbangi pengawasan dan bimbingan yang tepat, dapat berdampak negatif, termasuk paparan konten pornografi, pelecehan seksual (cyber harassment), dan berbagai bentuk eksploitasi seksual lainnya.”
Para peserta kajian sepakat bahwa orang tua perlu meningkatkan literasi digital agar dapat memahami cara kerja teknologi dan melindungi anak-anak dari potensi bahaya di dunia maya.
Selain itu, fakta bahwa pelaku kekerasan seksual sering kali adalah orang yang dikenal korban, bahkan memiliki hubungan dekat seperti ayah, teman, atau keluarga menjadi keresahan besar. Hal ini menjadi tantangan serius dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
Masyarakat perlu lebih peka terhadap tanda-tanda potensi kekerasan seksual, terutama di lingkungan keluarga atau orang terdekat.
Korban sering kali takut atau malu melaporkan kejadian yang dialami, terutama jika pelaku memiliki otoritas. Oleh karena itu, menciptakan lingkungan yang aman dan suportif sangat penting agar korban berani berbicara dan mencari bantuan.
Faizah dari Balai Syura Kota Banda Aceh turut berbagi pengalamannya tentang aksi nyata untuk penanganan kekerasan seksual. Menurutnya, sangat penting berstrategi dalam menjalankan aksi nyata ini. Sebagai tuha peut perempuan, Faizah menerima beberapa laporan kasus KS, dan jalur penangan yang diupayakannya melalui silent movement. Ini menjadi lebih aman menurutnya.
Efek jera bagi pelaku juga bagian yang hangat dalam Kajian Duha Balai Syura ini.
Salah satu peserta, Nur, dari pengajian komunitas Lam Duro menyampaikan kegelisahannya terkait efek jera yang kurang berefek untuk menjerakan pelaku. Cambuk, bahkan penjara masih sangat ringan menurutnya. Mestinya kata Nur bisa lebih berat lagi.
Peran perempuan Aceh saat ini sangat dibutuhkan dalam mencegah kasus kekerasan seksual. Selain itu, pengajian-pengajian perlu diaktifkan kembali sebagai wadah edukasi dan diskusi. Bersamaan dengan itu, organisasi terkait juga harus lebih aktif berkontribusi dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus secara lebih strategis.[]
Editor: Ihan Nurdin