Dalam budaya Kluet–salah satu suku yang mendiami beberapa kecamatan di Aceh Selatan– pada umumnya masyarakat memiliki kepercayaan tentang hal-hal gaib di lingkungan alamnya. Kepercayaan yang tumbuh dari nenek moyang mereka mekar hingga saat ini, beberapa bahkan menjadi ciri khas orang-orang ini seperti bahasa yang merupakan unsur pertama dalam sistem kebudayaan.
Bahasa Kluet, jika didengar secara gamblang mirip seperti bahasa Gayo, beberapa seperti bahasa Karo dan bahasa Jawa. Bahasa lisan ini tumbuh dalam setiap gerakan budaya yang terpancar dalam satu tarian khas orang Kluet yakni, tarian landok begu. Satu tarian yang dipercaya sebagai simbol menghindari serangan harimau di hutan. Juga salah satu budaya yang kini telah lama dilupakan oleh sebagian orang Kluet yang berhubungan dengan harimau .
Tarian ini merepresentasikan hubungan manusia dengan hewan yang dikenal buas. Bagi masyarakat setempat, tarian ini merupakan sebuah tarian yang memiliki kesakralan yang cukup tinggi yang diperoleh melalui cerita-cerita rakyat sehingga terbentuklah sebuah edukasi untuk mengusir harimau. Landok artinya tarian, sedangkan begu artinya harimau.
Landok begu adalah upaya masyarakat untuk menghindari diri dari serangan harimau. Serangan dari harimau dianggap sebagai bala, sehingga tiap setahun sekali saat pelaksanaan upacara tulak bala atau tolakbala dilakukan pengusiran dengan cara ini. Hanya saja, saat ini tarian landok begu sangat sedikit digunakan sehingga banyak orang yang tidak tahu tentang keberadaan tarian ini.
Landok begu pertama kali dibawakan oleh Enyak Wali dan Abdul Gani antara tahun 1950-an dan tahun 1960. Namun, ketika terjadinya konflik tarian ini sempat meredup dan mulai hidup kembali ketika kondisi di Aceh mulai kondusif. Awal terciptanya landok begu ini karena masyarakat Lawee Sawah dulunya sering bertemu dengan harimau, sehingga mereka mencari cara untuk membela diri ketika berhadapan dengan raja hutan tersebut.
Landok begu merupakan sebuah tarian yang menirukan gerakan harimau di mana di dalam tarian ini terciptanya suasana yang mencekam karena perselisihan antara manusia dengan harimau. Landok begu ditarikan dengan harapan bahwa harimau tidak akan mengganggu ketentraman masyarakat setempat.
Gerakan pada tarian ini merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Kluet yang pada umumnya bekerja sebagai petani, gerak lincah, gesit, dan tangkasnya seekor harimau yang sedang berburu mangsanya. Maka dalam tarian ini terdapat silat atau disebut silek begu.
Tidak ada pakaian tertentu yang digunakan saat menarikan tarian ini, hanya pakaian biasa yang umumnya digunakan orang-orang zaman dahulu. Namun, dalam beberapa kesempatan para penari menggunakan kostum kekinian yang menyerupai kulit harimau. Gerakan tarian ini diawali dengan salam pembuka dan diiringi dengan syair dari syeh hingga salam penutup.
Berikut syair yang dinyanyikan selama tarian berlangsung.
Salam alaikum, salam alaikum…
Salam alaikum kami ucapkon
Bandu hai sedaro, bandu hai sedaro..
Bandu hai sesedaro kekerianno, bandu hai sesedari kekerianno…
Landok begu, landok begu…
Landok begu no merupokon…
Sebuah gambaran, sebuah gambaran..
Sebuah gambaran maso waridi..
Gambaran ngeluh, gambaran ngeluh…
Gambaran ngeluh nyelamotkon diri..
Maso waridi, maso waridi..
Maso wari di na ngeluh dibagas talon..
Selalu jumpo, selalu jumpo..
Selalu jumpo, ngon begu-begu..
Begu nerong, begu nerong…
Begu nerong, tando bahayo…
Kuni caro, kune caro..
Nyelamotko diri..
Silek begu, silek begu..
Silek begu, idi mo di pakie..
Idimo caro, idiom caro…
Idiom caro, nyelamotko diri..
Wahe Bapak, wahe Bapak..
Wahe Bapak kam sedaro..
Maaf ko kelok, maaf ko kelok..
Maaf ko kelok mene lot salah.[]
Artikel ini telah tayang di acehtrend.com pada tanggal 03 November 2020