Sebagai perempuan, saya sadar isu Covid-19 ini tak hanya berpotensi menyerang ketahanan kondisi sosial dan ekonomi keluarga, tetapi juga fisik dan mental secara personal. Wara-wiri berita pandemi di dunia maya yang entah benar entah hoaks, membuat masyarakat semakin jemu. Terlebih kaum ibu. Perempuan tiba-tiba menjadi garda utama bagi segala aktivitas keluarganya. Mulai dari penjagaan kesehatan, pendidikan, kepastian stok konsumsi, bahkan tak tertutup kemungkinan turut pasang badan sebagai korban kekerasan dalam rumah tangganya sendiri.
Di era Covid-19 ini, perempuan menerima beban kerja, rasa lelah, juga kecemasan berlipat ganda. Sehingga, benar kiranya bahwa pengetahuan untuk mampu mengakses informasi kredibel terkait perkembangan dan pencegahan Covid-19 menjadi salah satu hal penting untuk diketahui bersama.
Tanpa kemampuan berpikir kritis serta mengakses informasi secara tepat, kaum ibu mungkin akan kesulitan membimbing anak remaja mereka untuk tetap taat menjaga jarak dalam pergaulan, memakai masker, dan mencuci tangan. Tanpa informasi yang tepat, para istri menjadi tidak sadar bahwa keabaian suami mereka yang tetap berkerumun dalam ruang tertutup, seperti warung kopi atau lapangan futsal, tanpa menaati protokol kesehatan secara tidak langsung telah mendaftarkan anggota keluarnya dalam antrean calon pasien Covid-19. Dengan kata lain, tanpa pemahaman pengaksesan informasi yang tepat, keberadaan internet—terutama media sosial—hanya menjadi tambahan beban mental tanpa solusi mencerahkan.
Kerentanan perempuan
Dunia ini seimbang. Jika terdapat sisi gemerlap, maka tentu ada bagian gelap. Demikian juga dengan kehebohan work from home atau study from home yang terus didengungkan sepanjang 2020 ini. Sebegitu berisiknya, mungkin kita jadi tidak sempat menyadari hal penting lainnya yang justru terbungkamkan. Seperti kerentanan berlipat ganda yang dihadapi para perempuan.
Kemampuan manusia untuk membawa hampir seluruh aktivitas sosial sehari-hari ke dalam rumah dengan bantuan teknologi tentunya sekilas terkesan solutif dan sungguh bergaya modern. Namun, pada kenyataannya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tersebut juga membawa beragam kemelut baru yang tak disangka-sangka. Seperti peningkatan rasa kesepian (loneliness), problematika kawin-cerai dini, pernikahan siri, dan juga tindak kekerasan di ranah domestik.
Demikianlah yang disampaikan Amrina Habibi, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, yang hadir sebagai salah satu pemateri diskusi. Melalui tema “Problematika Perempuan yang Muncul Akibat Covid-19”, Amrina memaparkan besarnya kerentanan masalah kesehatan dan keselamatan para perempuan di era Covid-19 dengan beban domestiknya yang mengganda.
Bisa jadi struktur sosial masyarakat Aceh yang kini cenderung patriarki menjadi salah satu pemicunya. Masyarakat dengan mudah melabelkan segala aktivitas domestik sebagai “lencana” milik perempuan seorang. Sehingga, ketika pandemi terjadi, segala aktivitas sosial di luar rumah pun menjadi bagian domestik, maka perempuanlah yang dituntut sepenuhnya bertanggung jawab. Perempuan pergi belanja, memasak, cuci piring dan pakaian. Perempuan menjaga dan mengajarkan anak, melayani suami dan perempuan juga harus menyelesaikan beban kerjanya sendiri. Sayangnya, kebanyakan perempuan tak sadar bahwa segala hal yang disematkan sebagai “kewajiban” itu bukanlah miliknya seorang diri karena menyandang jenis kelamin perempuan.
Sebagai manusia, kaum laki-laki yang makan dan berpakaian, juga bisa membantu berbelanja, memasak, dan mencuci. Para suami juga bisa meluangkan waktu mengajari anak-anaknya. Bahkan, mereka juga dapat belajar melayani dan menolong sesama anggota keluarga lainnya.
Sejatinya, kondisi lockdown ini dapat digunakan untuk kembali membangun relasi kerja sama yang sehat di ranah domestik. “Menata ulang kebenaran makna berkeluarga yang seharusnya banyak dibubuhi kata ‘saling’ dalam setiap aktivitas di dalamnya,“ papar Amrina yang juga aktif sebagai Dewan Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh.
Kita terlalu lama hidup dalam dogma-dogma palsu. Narasi aneh yang mengharuskan laki-laki bersikap cuek dan dingin agar dihormati. Padahal, laki-laki yang peka, mampu berempati, bekerja sama, dan memperlihatkan kehangatan emosi tentu lebih dipandang terhormat, bahkan mampu dicintai dan disayangi oleh anggota keluarganya secara penuh.
Akses informasi
Terkait akses informasi ini, Nurlaily Idrus MH, Komisioner Komisi Informasi Aceh, yang hadir sebagai pemateri diskusi, menerangkan bahwa masyarakat seharusnya tahu bahwa mereka memiliki hak untuk mengakses informasi publik terbaru dan terpercaya dari badan publik. Hal ini sejalan dengan amanah UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam kondisi wabah seperti ini badan publik berkewajiban memberikan informasi serta-merta yang mudah diakses oleh masyarakat melalui website-website resmi mereka. Jika tidak tersedia, maka informasi tersebut dapat diajukan permintaan ketersediaannya ke badan publik terkait entah itu di bidang kesehatan, pendidikan, maupun sosial. Menurut Nurlaily, proses perolehan data/informasi publik itu penting untuk dipelajari, terutama oleh kaum perempuan sebagai salah satu upaya mengurangi dampak Covid-19 yang mereka hadapi.
Menjelang siang, diskusi santai—penuh pengetahuan, tetapi tetap taat protokoler pencegahan Covid-19—di bawah Rumoh Aceh Tibang itu pun harus berakhir. Diskusi keperempuanan yang dimoderatori Yamen Dinamika, Pembina Forum Aceh Menulis sekaligus Redaktur Serambi Indonesia, ditutup dengan khidmat. Semoga kegiatan tersebut mampu menginspirasi masyarakat untuk menggelar diskusi-diskusi serupa pada hari-hari selanjutnya.
Artikel ini telah tayang di serambinews.com pada tanggal 19 September 2020.