Kategori
Edukasi Opini Perempuan

Harimau Sumatera dalam Perjuangannya Bertahan Hidup

Surga dunia memang indah. Setidaknya demikian ungkapan seorang yang tengah dilanda cinta. Cinta itu tumbuh bersama perjuangan untuk menjaga yang dikasihi. Sudah menjadi bagian dari diri manusia itu sendiri untuk mempertahankan hal yang disayangi. Demikian juga bagi mereka yang mencintai keindahan dan keseimbangan alam melalui penjagaan. Walau sulit, penuh tantangan, tetapi tetap ingin berjuang.

Perjuangan untuk hidup (stuggle for existence) sendiri sebenarnya terinspirasi dari buku bacaan yang belum lama ini saya baca, The Origin of Species—Asal Usul Makhluk Hidup Melalui Seleksi Alam—yang ditulis oleh Charles Darwin. Sekilas, kita mengenal teorinya yang kontroversial di kalangan agamawan yang menentang keras hasil pemikirannya tersebut. Namun di balik itu, ada pesan yang lebih penting ketimbang mengimani ketidaksetujuan kita terhadap teorinya. Sedikit saya ulas hal tersebut dalam tulisannya ini.

 Darwin memberi pernyataan terkait sejarah umat manusia bahwa setiap makhluk hidup yang ada pada masa kini adalah berasal dari satu nenek moyang dan ada karena proses seleksi alam.  Buku yang terdiri lebih dari lima ratus halaman ini memuat pemahaman penting yang sebaiknya kita cermati dan pikirkan, yakni tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap alam.

Bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap alam?

Terkait kerusakan yang terjadi hari ini, Darwin telah memberi pemahaman yang mendalam untuk saya. Tentu bukan hal mudah untuk meng-convert pemikiran Darwin yang orientalis tersebut. Bagi sebagian pemeluk agama bahkan enggan walau sekadar menyimak apa yang ditulisnya. Sungguh, bahkan untuk menuliskan kata per kata saja sudah membuat saya gugup. Bila nantinya tulisan ini hanya menjadi bualan bagi orang-orang keras kepala, layaknya seorang koruptor.

Jangan Remehkan Siklus Kehidupan

Kali ini kita membahas tentang kemelut perburuan illegal harimau sumatera, gajah sumatera, badak, orangutan, hingga burung, yang merupakan hewan terancam punah (Critically Endangered). Ketika para hewan tersebut berusaha memulihkan jumlah keturunannya, mirisnya pada saat yang sama manusia justru membantai gajah hamil, serta menembaki ibu dan anak orangutan hingga tewas. Seakan manusia tersebut menginginkan mereka punah dari muka bumi. Mungkin saat itu manusia baru sadar bagaimana melelahkannya harus bekerja sendiri untuk meregenerasi hutan, melakukan penyerbukan tumbuhan, dengan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Seolah hukum alam telah disahkan. Sehingga hewan-hewan kunci dengan status terancam punah justru kini paling sedikit menghasilkan keturunan. Rata-rata Orangutan membutuhkan waktu mengandung selayaknya manusia, selama Sembilan bulan dan hanya akan melahirkan setiap delapan tahun. Penantian untuk meningkatkan jumlah keturunan oleh Orangutan Warrior pun memakan waktu yang tidak sedikit. Waktu di mana pemburu mungkin lebih siap beraksi dari pada kondisi Orangutan untuk memproduksi keturunan. Benar, ini hanyalah contoh kecil saja.

Sayangnya, hal miris serupa nyatanya juga terjadi terhadap hewan-hewan yang mampu menghasilkan jumlah keturunan yang lebih banyak, contohnya lebah. Meskipun lebah bisa membuahi lebih dari 200 juta spermatozoanya, potensi kepunahannya juga tidak dapat dielakkan. Penyebabnya beragam, dari faktor perubahan iklim hingga efek dari penggunaan pestisida pada lingkup pertanian. 

Dari kedua contoh kasus tersebut, kita dapat melihat bagaimana struggle for existence dijelaskan dari sudut pandang sains. Perjuangan untuk bertahan hidup para satwa dalam melawan perburuan, perubahan iklim, dan faktor lainnya.

Perlu kita sadari bersama bahwa salah satu penentu jumlah spesies adalah faktor iklim. Namun di masa kini, masalah iklim semakin bertambah. Hal tersebut tentu tidak bisa dianggap remeh. Belum lagi masalah perburuan terhadap hewan yang hampir punah yang permasalahannya masih sulit ditangani walau dengan bantuan keahlian teknologi di masa kini. Jika masalah iklim, manusia mencari cara menciptakan alat untuk memperoleh keseimbangan iklim, atau untuk kekeringan, manusia bisa menciptakan pipa untuk menyedot air dari tenaga angin. Akan berbeda jawaban jika itu menyangkut kepentingan egoisme manusia.

Manusia bisa dianggap sebagai “hantu” di tengah hutan bagi hewan-hewan ini. Gajah mati setelah diambil gadingnya, harimau mati setelah kulit terpisah dari dagingnya, badak mati demi dilelang culanya, dan masih banyak lagi kisah mengerikan yang sungguh menyayat hati.

Efek Buruk Kepunahan Satwa Kunci Bagi Manusia

Banyaknya hama babi bagi sebagian masyarakat kita pasti terasa sangat menganggu pertanian, terutama di musim menanam jagung. Di mana siang dan malam para petani harus berada di perkebunan. Lengah sedikit, tanaman mereka bisa dibabat habis para babi. Dalam mata rantai makanan, babi termasuk makanan harimau yang oleh masyarakat kita meyakini harimau sebagai raja hutan dan disegani. Namun kini, keberadaan harimau semakin berkurang, padahal jika populasinya masih dapat dirasa, hama utama para petani ini tak akan merajalela.

Begitu juga dengan kasus meningkatnya hama serangga ketika populasi hewan penyerbuk semakin berkurang. Seperti lebah, yang melakukan penyerbukan secara alami untuk proses reproduksi pada tanaman. Manusia bisa saja menggantikan peran dari hewan-hewan ini, seperti yang tersebut di atas, tetapi tentunya akan memakan biaya yang banyak dan memerlukan tenaga yang tidak sedikit.

Manusia seperti magma di dalam gunung berapi yang sewaktu-waktu bisa melahap habis kehidupan di sekitarnya. Bila magma itu tak segera diberi arah untuk keluar dari sarangnya maka ia tak segan-segan untuk melintas sekehendaknya. 

Kehidupan Rimba

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan sebuah notifikasi dari grup WhatsApp mengenai berita warga yang diserang Harimau Sumatera hingga harus dibawa lari ke rumah sakit. Berita ini sontak mengejutkan sekaligus memilukan saya.

Berselang tujuh hari saya mendapatkan notifikasi kembali, tetapi kali ini dari kakak saya yang tinggal di Menggamat. Tidak biasanya dia mengirimi saya berita tentang kejadian di kampung. Saya berpikir mungkin karena saya pernah mewawancarai tetua di kampungnya tentang hal yang sama. Foto dan video yang dikirim itu adalah seekor harimau yang sudah berada di dalam kandang dengan luka di bagian wajahnya. Video beruntun juga mulai menyebar dari status WhatsApp teman-teman saya yang tinggal di Kluet; entah mereka menyaksikan sendiri kejadian tersebut atau mereka juga dapat kiriman dari orang terdekatnya.

Rekaman yang diambil asal itu memperlihatkan warga berbondong-bondong datang ke Jamburteka untuk melihat harimau yang berhasil ditangkap oleh warga. Seolah tak satupun mau ketinggalan melihat si raja hutan dibopong ke tengah kampung dengan mengabadikan momen itu dalam rekaman amatir setiap pemilik seluler.

Masyarakat Kluet pada umumnya masih percaya bahwa Ndik (sebutan khusus untuk harimau) merupakan perwujudan dari kesakralan hutan sebagai sesuatu yang tidak boleh sembarangan diganggu. Hutan dan harimau, meski menakutkan, nyatanya kerap diperbincangkan oleh masyarakat di desa-desa Kluet

Ndik (sebutan khusus untuk harimau) merupakan perwujudan dari kesakralan hutan sebagai sesuatu yang tidak boleh sembarangan diganggu.

Komunikasi antara masyarakat dengan si raja hutan biasanya akan terjadi ketika manusia mulai memasuki hutan. Ada pantangan yang tidak boleh dilanggar selama di hutan, seperti berkata-kata jelek hingga menyebut kata “harimau” secara langsung.

Rencana untuk bertahan hidup kadang kala terasa berada di ujung tanduk, antara menyerang atau diserang. Begitulah petuah orang tua jaman dulu kala seseorang dihadapkan pada maut. Saat nyawa terancam, tentu setiap makhluk hidup tidak akan menyerah begitu saja.

Demikianlah hal yang terjadi pada manusia maupun harimau. Toh keduanya sama-sama terluka dan kritis demi mempertaruhkan hidup mereka. Barang kali ada batasan yang kita tidak sadari telah terlewati. Sehingga keberadaan manusia menyinggung harimau di hutan rimba. Sehingga harimau mengaum memberi peringatan agar manusia tidak memasuki wilayah yang dikuasainya lebih jauh lagi.

Kadangkala komunikasi tak selalu berasal dari bunyi yang keluar dari rongga mulut. Kita tahu bahwa hewan pada dasarnya tidak berbicara seperti manusia. Mereka biasanya akan menyampaikan pesan melalui tanda-tanda. Misalnya, harimau menandai wilayahnya dengan urin untuk berbicara kepada hewan lain ataupun manusia agar tidak mengganggu wilayahnya. Sebagai manusia yang telah dianugrahi Sang Pencipta dengan kecerdasan akal pikiran dan kemampuan komunikasi dengan keselarasan tingkat tinggi, bukakah seharusnya kita belajar memahami pesan yang disampaikan melalui tanda-tanda alam semesta?

Taman Bunga dan Harmonisasi Kehidupan

Ketika pergi ke taman bunga, membawa serta keluarga untuk berlibur. Kita melihat pemandangan yang begitu indah, bunga bermacam warna, anak-anak riang gembira sambil berlari di sekitar taman yang harum semerbak. Lalu lebah penyerbuk mendekati kelopak yang mekar. Sekilas, tak ada yang istimewa dari persinggahan serangga ini. Namun ini sangat dibutuhkan oleh bunga-bunga untuk penyerbukan karena sebagian mereka tak dapat melakukan penyerbukan sendiri. Penyebaran serbuk sari dari satu bunga ke bunga lain. Sehingga tumbuhan-tumbuhan itu dapat bereproduksi berkat bantuan lebah.

Bayangkan, jika hari ini populasi lebah menurun (memang di beberapa negara sedang krisis jumlah serangga penyerbuk)? Tentu kinerja pertumbuhan bunga akan berkurang bahkan hilang. Masalah akan bermunculan ketika keseimbangan alam menghilang. Bahkan tak ada lagi istilah berlibur ke taman bunga hanya karena ada satu spesies saja yang hilang.

Mengutip pernyataan Darwin yang menggugah, “Kita memandang wajah alam dengan penuh rasa senang, kita selalu melihat ada makanan yang melimpah, tetapi kita tidak menyadari atau dengan sengaja melupakan bahwa burung-burung yang berkicau di sekeliling kita sebagian besar hidup dari serangga atau biji-biji yang disediakan oleh alam, dan karena keacuhan itu kita terus menerus merusak kehidupan. Kita hampir tidak pernah berpikir bahwa meskipun saat ini makanan bisa berlimpah tapi belum tentu (tetap ada) di musim-musim dan tahun-tahun yang akan datang”.

Manusia bertahan hidup dengan makan dan minum yang kita peroleh dari alam. Alam mati, maka kehidupan manusia akan mati. Sekalipun di masa depan manusia mulai menciptakan pil anti-lapar. Hewan dan tumbuhan juga perlu hidup, bertahan hidup dengan cara mereka. Dari penyebaran biji-biji oleh burung, hewan-hewan yang saling memangsa, pepohonan yang menampung curah hujan. Artinya, setiap makhluk bergantung pada makhluk hidup lainnya dan juga kepada kebijakan manusia dalam menjaga harmonisasi alam semesta. Sampai saat itu. manusialah pemegang kunci utama dari pencegahan kerusahan kehidupan ini.

Setiap makhluk bergantung pada makhluk hidup lainnya dan juga kepada kebijakan manusia dalam menjaga harmonisasi alam semesta.

Sebagai contoh kasus. Taman Nasional Yellowstone yang terdapat di Amerika Serikat merupakan rumah bagi spesies serigala yang hampir punah. Kemudian sejak tahun 90-an, pemerintah mulai menggalakkan peningkatan jumlah spesies ini di wilayah masyarakat setempat. Pada mulanya, masyarakat yang bekerja sebagai petani dan peternak menolak upaya tersebut. Menurut mereka, serigala adalah ancaman bagi peternakan mereka. Namun setelah program tersebut berjalan, para petani mulai merasakan dampak baiknya. Tak ada lagi banjir dan longsor, hasil pertanian jadi meningkat dari sebelumnya, dan air menjadi lebih jernih. Lantas, apa hal yang sebenarnya terjadi?

Mengutip pernyataan Farwiza Farhan, chairperson HAkA Sumatera, bahwasannya serigala memiliki peran yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Serigala memakan rusa yang memakan rumput-rumput di bantaran sungai. Namun sayangnya, manusia berburu serigala dengan menembakinya. Hal tersebut membuat populasi serigala kacau. Padahal kehadiran serigala membuat para rusa menjauh dari pemukiman penduduk dan masuk ke dalam hutan.  Sehingga rumput-rumput di bantaran sungai yang tidak lagi dimakan rusa berestorasi. Hal tersebut menyebabkan kemunculan beragam serangga yang membantu penyerbukan pertanian. Selain itu, tumbuhan yang tumbuh di sekitar sungai juga menjernihkan aliran air, mencegah erosi dan juga longsor.

Serigala memiliki peran yang tidak dapat dilakukan oleh manusia.

Maka penting untuk kita sadari bersama bahwa penjagaan dan pengelolaan alam secara bijaksana wajib mempertimbangkan gaya hidup ramah lingkungan (sustainable living) untuk kehidupan yang sehat dan baik di masa sekarang dan juga masa depan. Bisa jadi, makhluk hidup lainnya di sekitar kita sedang berjuang untuk menyeimbangkan kehidupan melalui kehadiran keturunan meraka. Benar bahwa bumi berubah dan secara alamiah setiap makhluk hidup akan mengalami kepunahan pada periode tertentu. Namun pencegahan penghancuran terhadap suatu spesies tentu akan membantu siklus kehidupan berjalan seimbang sesuai aturan.

Setiap makhluk hidup memiliki peranan masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam. Naluri setiap makhluk untuk hidup secara harmonis perlu kita jaga bersama. Manusia tentu tidak bisa seenaknya menggantikan posisi makhluk lain hanya karena ingin mencapai keinginan mereka. Sebagai makhluk yang mampu berpikir, sudah seharusnya kita mengambil pembelajaran dari alam dan mengaplikasikannya dalam keseharian kehidupan.

Setiap makhluk hidup memiliki peranan masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam. Naluri setiap makhluk untuk hidup secara harmonis perlu kita jaga bersama.

Dari banyaknya masalah yang pernah kita ketahui, tentunya tidak semua kalangan melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang akan dampak ke depan. Sebagian orang memang enggan menjadi kriminal kerusakan alam, tetapi tak jarang masih ditemukan kelompok-kelompok tertentu yang menutup mata atas kerusakan alam ini demi kepentingan kaumnya.

Kita bisa mengatakan telah tumbuh menjadi manusia tapi apakah kita sudah benar-benar menjadi seorang manusia? Pernahkah kita berpikir selama hidup ini hal apa saja yang telah kita lakukan terhadap alam? Atau jangan-jangan, disadari atau tidak, justru kitalah monster yang sebenarnya merusak kehidupan?

Adakah kita berpikir sejenak, merenungkan dan membayangkan, bahwa dari jarak jutaan mil di atas sana kita bahkan tak melihat? Sungguh betapa kecilnya kita. Kita yang tak ada apa-apanya ini haruskah berlaku sombong atas kenikamatan sesaat yang ada di depan mata? Saya rasa jika kita berhenti sejenak membayangkan alam semesta yang amat luas ini setidaknya selaku manusia kita sadar bahwa salah satu praktik syukur adalah dengan menjadikan lingkungan dan alam sekitar kita menjadi lebih baik. Jika pun belum demikian, setidaknya kehadiran kita tidak sampai merusak. Bukankah sejatinya demikian fungsi dari kehadiran manusia di muka bumi?   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *