SATU per satu bocah berseragam baju olahraga SDN Cibubukan menuruni undak-undakan dermaga di bibir sungai Kampung Serasah. Lalu dengan sigap mereka melompat ke dalam boat bertenaga mesin Honda WL20XN. Warga setempat menyebutnya robin. Sebuah perahu kayu berbadan jenjang dengan muatan hingga lima orang dewasa. Satu-satunya moda transportasi yang menghubungkan Kampung Serasah dengan Kampung Cibubukan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil.
Yang paling besar di antara bocah itu bernama Nurmaini. Saat ini sudah duduk di kelas enam sekolah dasar dan belum memutuskan akan melanjutkan ke mana setelah tamat nanti. Ke SMP ataukah pesantren. “Belum tahu,” jawab Nurmaini kalem. Yang pasti, kalau ingin melanjutkan sekolah, Nurmaini harus keluar dari Serasah.
Para bocah itu sudah terbiasa dengan kendaraan robin. Meskipun robinnya bergoyang ke kiri dan ke kanan saat mereka naiki, mereka tetap santuy. Tak sedikit pun menunjukkan perasaan dag dig dug atau takut tercemplung. Toh, mereka juga piawai berenang. Kalau tercebur, ya, tinggal berenang. Mereka juga tampaknya tak terpengaruh dengan debit air yang hari itu tampak lebih tinggi dari beberapa hari sebelumnya. “Tidak takut. Sudah biasa,” kata Pia, salah satu bocah yang masih kelas dua SD.
Tak lama kemudian robin mulai bergerak dan perlahan-lahan meninggalkan dermaga. Dreeeeeerrrrrr….. dreeeeerrrr…. dreerrrrrr…. suaranya seolah mengapung di permukaan sungai.


Pengemudi robin itu adalah Marganda, ayah dari bocah bernama Pia. Jika Marganda sedang ada kesibukan, maka istrinya, Aisyah, yang bertugas menyeberangkan Pia dan beberapa anak tetangga dengan robin. Aisyah baru setahunan terakhir bisa mengemudikan robin. Tetapi kepiawaiannya mengayuh perahu sudah tak perlu diragukan lagi. Dia sudah mahir sejak masih SD.
Sabtu pagi, 11 Februari 2023, air sungai tampak lebih keruh dari hari-hari sebelumnya. Debit airnya juga meningkat dan tampak lebih berarus. Sehari sebelumnya hujan lebat mengguyur Singkil. “Tapi ini tidak deras arusnya,” kata Aisyah. “Kalau hujan di hulu bisa lebih tinggi lagi air sungainya,” kata warga lainnya, Sumi, yang sedang mencuci pakaian di pinggir sungai.
Sungai itu bernama Lae Cinendang. Luasnya sekitar 120 meter dan berhulu ke Kabupaten Pakpak Bharat di Sumatera Utara. Hilirnya ke Samudra Hindia. Lae Cinendang adalah urat nandi bagi sebagian masyarakat Aceh Singkil yang bermukim di Kecamatan Simpang Kanan, khususnya yang menetap di Kampung Tanjung Mas, Kampung Cibubukan, dan Kampung Serasah. Sungai ini tidak saja menjadi andalan untuk jalur transportasi bagi warga, tetapi juga untuk mencuci dan mandi, kecuali untuk kebutuhan air minum yang menggunakan air bersih dari sumber mata air di kaki bukit.
Dari tiga kampung tersebut, Kampung Serasahlah yang paling bergantung pada Lae Cinendang karena letaknya di seberang sungai. Sementara jalan lintas utama desa terdapat di Kampung Cibubukan. Tak ada akses lain ke Cibubukan, kecuali menyeberangi Lae Cinendang. “Sebetulnya ada juga jalan darat, tapi jauh sekali, tembusnya ke Trans 26,” kata Kepala Desa Serasah, Zulkarnaen.
Serasah hanya sebuah kampung kecil di seberang Lae Cinendang. Kampung ini dihuni sekitar tiga puluhan kepala keluarga saja. Karena letaknya yang terisolasi oleh sungai, sebagian besar warganya memilih untuk menetap di kampung seberang. Umumnya rumah warga di Serasah berbentuk panggung.
Lembaga pendidikan yang ada di Serasah hanyalah sebuah PAUD dengan murid belasan orang. Sekolah dasar hanya ada di Cibubukan. Kalau mau melanjutkan ke sekolah menengah pertama, maka harus ke Lipat Kajang—ibu kota kecamatan. Begitu juga dengan sekolah menengah atas. Karena itu, anak-anak Serasah yang tamat SD sering dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya.
Karena persoalan akses transportasi ini pula, jika hujan lebat dan Lae Cinendang meluap, maka anak-anak di Serasah memilih untuk tidak ke sekolah. Meski mereka adalah “anak-anak sungai”, tetap saja keselamatan adalah nomor satu. Bahkan, menurut penuturan istri kepala desa, keahlian berenang menjadi prasyarat bagi anak-anak Serasah agar bisa sekolah. “Kalau mereka bisa berenang aman sikit kita saat menyeberang,” ujar ibu tujuh anak tersebut, tiga di antaranya sudah dikirim ke pesantren.
Hampir semua bocah yang ada di Serasah tampaknya memang mahir berenang. Bahkan bocah-bocah yang belum sekolah sekalipun. Saban pagi dan sore mereka mencemplungkan diri ke sungai untuk membersihkan diri. Meskipun umumnya warga di sini punya kamar mandi di rumahnya, tetap saja mandi di sungai menjadi pilihan utama. Jarak rumah ke sungai yang cuma sekali tarikan napas tampaknya lebih menggoda anak-anak itu untuk selalu berenang. Meskipun menurut warga di sungai ini juga terdapat buaya, tetapi sepertinya itu tidak begitu mengintimidasi mereka.

Dulu, kata istri Pak Kades, sebelum banyak moda transportasi darat seperti sekarang, warga juga menggunakan akses sungai Lae Cinendang untuk pergi ke Suro. Bagi warga setempat, punya perahu atau robin berarti sama seperti punya kendaraan bermotor lainnya. Kalau tidak, maka seperti “putus kaki”. Dengan perahu itu juga mereka mengangkut hasil kebun yang utamanya adalah sawit. Tak jauh dari kawasan ini juga terdapat satu pabrik kelapa sawit.
Saat berada di Serasah atau Cibubukan, sejauh mata memandang, yang terhampar adalah pohon sawit. Bahkan pohon cibubukan, yang dulu banyak tumbuh di sekitar sungai itu kini tak lagi ditemukan. “Cibubukan itu pohon rambutan yang buahnya asam dan tak mudah lekang. Dulu banyak di pinggir sungai ini, maka kampung itu namanya Cibubukan,” kata salah satu warga.
Sekitar dua dekade silam, kawasan ini dipenuhi dengan pohon rambung (karet). “Tetapi nggak ada harganya,” kata Aisyah. Ini menjadi alasan bagi warga untuk menebang rambung dan menggantinya dengan tanaman monokultur jenis sawit. Rumah-rumah warga di sana terselip di antara pohon-pohon jenis palem itu. Aisyah sendiri bergantung hidup dari kebun sawit yang menurutnya tak seberapa puas. Tetapi cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya dengan dua anak.
Harapan warga Serasah untuk memiliki akses transportasi yang tidak berisiko tinggi akan terwujud sebentar lagi. Itu karena jembatan gantung sepanjang 180 meter yang menghubungkan Serasah dengan Cibubukan hampir rampung dibangun. Jembatan ini dibangun oleh Vertical Rescue Indonesia melalui program Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung untuk Indonesia.
“Ini jembatan gantung pertama yang kita bangun di Aceh untuk ekspedisi ini,” kata Arief Budiman, Komandan Tim Ekpedisi Jembatan Gantung di Aceh.
Arief mengatakan, berdirinya jembatan gantung di Lae Cinendang ini berawal dari permintaan masyarakat setempat melalui Komunitas Kibarkan Asa pada 2022 lalu. Selanjutnya juga sudah melewati tahapan tiga kali survei: pertama oleh Kibarkan Asa; kedua oleh tim Kibarkan Asa dan VRI Regional Sumut; terakhir survei langsung dari tim Mabes VRI Bandung. Kibarkan Asa yang juga bertindak sebagai donatur memercayakan pembangunan jembatan gantung ini kepada VRI.
Menurut Arief, tak ada alasan untuk tidak membangun jembatan gantung yang menghubungkan Serasah dengan Cibubukan. “Syaratnya itu, kalau ada satu nyawa saja yang menyeberang itu sudah wajib (ada jembatan). Yang penting saat kita survei masyarakatnya antusias dan mereka mau bergotong royong,” kata Arief.
Lae Cinendang memiliki karakteristik tersendiri. Menurut Arief, ini jembatan gantung terpanjang yang mereka bangun selama Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung untuk Indonesia dicetuskan pada 2016 silam. Selain panjang bentangannya yang mencapai 180 meter, tingginya juga mencapai 5,5 meter di atas permukaan tanah. Sungai ini termasuk yang paling sering meluap dan ketika banjir ketinggiaan airnya bisa mencapai hingga tiga meter di atas permukaan tanah.
Karena ini pula, pengerjaan yang biasanya ditargetkan selesai selama dua minggu untuk satu jembatan, hampir berlangsung selama satu bulan sejak dimulai pertengahan Januari 2023 karena sempat terkendala banjir dan material.



Pembangunan jembatan ini dilakukan oleh belasan personel VRI yang terdiri atas Mabes VRI Bandung (Arief Budiman, Suarjan, Fikram), VRI Regional Sumut (Irfan Tri Handoko, Andi Juliawan, Harianto Panjaitan, Mimba Priswadi, Fadli), dan VRI Regional Aceh (Fitriani, Fakhrur Reza, Indah Zahratun Faiza, M. Hafidzan Alqi). Di lapangan, para relawan VRI juga dibantu oleh personel TNI dari Koramil 0109-04 Simpang Kanan dan warga Kampung Serasah dan Kampung Cibubukan. Budget yang diperlukan untuk membangun jembatan ini berkisar Rp370 juta yang mencakup kebutuhan untuk material, logistik, dan operasional relawan. Namun, semua keperluan material dibeli langsung oleh donatur dan dikirim ke lokasi.
Mimba Priswadi yang turun langsung ke lokasi untuk survei mengatakan, proses survei tak boleh dilewatkan begitu saja. Salah satu yang paling urgen untuk disurvei ialah kepastian mengenai status kepemilikan tanah di dua desa tersebut. Jangan sampai nanti setelah jembatan selesai dibangun justru malah menimbulkan cek-cok di belakang hari. Hal teknis lainnya ialah melihat kondisi tanah di sekitar sungai. “Kalau tanah yang di lokasi kita bangun jembatan ini sangat bagus kondisinya, pasir bercampur tanah liat,” katanya.
Berawal dari Jembatan Gantung Cartenz

Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung untuk Indonesia bermula ketika personel VRI rutin melakukan ekspedisi ke Puncak Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya di Papua. Ini adalah puncak gunung dengan ketinggian mencapai 4.884 mdpl dan dikenal sebagai salah satu gunung yang masuk dalam daftar Seven Summit Indonesia. Gunung ini juga masuk daftar World Seven Summits.
“Waktu itu tahun 2015, kali kelima kami ekspedisi ke Puncak Carstensz dan kami membangun jembatan di sana. Istilahnya Burma Bridge, hanya ada dua seling untuk pegangan dan satu seling untuk pijakan. Tidak begitu panjang, tetapi dalamnya itu bisa sampai beberapa ratus meter, ini jalur khusus untuk pendaki.”
Pada tahun 2016 ketika banjir bandang di Provinsi Jawa Barat, personel Mabes VRI Bandung juga terjun langsung untuk membuat jembatan darurat di salah satu desa yang terisolir. Sejak saat itulah, permintaan pembangunan jembatan gantung di berbagai desa yang terisolir di Indonesia mulai berdatangan. Permintaan masyarakat ini lantas disahuti oleh Komandan VRI, Tedi Ixdiana, untuk meluncurkan Ekspedisi 1000 Jembatan Gantung untuk Indonesia.
“Saat ini sudah ada sekitar 168 jembatan gantung yang kami bangun dan tersebar di 16 provinsi termasuk Aceh.”
Jembatan Penghubung Asa

Kehadiran jembatan gantung Serasah—Cibubukan tentunya disambut antusias oleh warga setempat, terutama para perempuan.
Nurmawati, istri kepala dusun, buru-buru menjawab sambil tertawa, “Belajar keretalah (sepeda motor) kita.”
Nurmawati mengaku selama ini tak bisa mengendarai sepeda motor. “Percuma pun kalau bisa,” katanya, “mau berkendara di mana?”
Beberapa warga di sini memang mempunyai sepeda motor, tetapi banyak yang “parkir” di serambi rumah. Ada juga yang seperti Marganda, dititipkannya pada kenalan atau kerabat di Cibubukan. Baru dipakai kalau mereka hendak bepergian ke Lipat Kajang atau Singkil atau Subulussalam. Sama halnya seperti ada juga warga yang memiliki mesin cuci, tetapi tetap memilih mencuci di sungai.
Ridani, yang sejak dua tahun terakhir menjadi guru PAUD Maju Bersama Tiga di Kampung Serasah juga sudah tak sabar menanti jembatan gantung itu selesai. “Selama ini tak bisa ke mana-mana kalau tidak diantar suami, saya tak bisa bawa perahu,” kata ibu dari seorang balita itu, Rabu (8/2/2023).

Kalau jembatan itu rampung dan bisa dilalui nanti, Ridani tak perlu bergantung penuh dari suaminya jika ingin menyeberang ke Cibubukan atau pergi ke Lipat Kajang untuk berbelanja.
Sebenarnya sudah pernah akan dibangun jembatan gantung di Serasah, bekas tapak untuk membangun tiangnya pun masih ada. Tepat di titik pembangunan yang sekarang. Tetapi, seperti yang sering-sering terjadi, kontraktornya kabur. Musim berganti dan banjir bolak-balik datang, jembatan yang dinanti-nanti tak kunjung hadir.
Sumi juga menaruh harapan yang sama. Perempuan berusia seperempat abad dan sudah punya empat anak itu mengaku akan segera memasukkan anaknya ke TK kalau jembatan gantung itu sudah selesai. “Sudah lima tahun umurnya sekarang, belum sekolah dia, dia maunya sekolah ke seberang biar bisa wisuda seperti kakaknya.”
Koordinator VRI Regional Aceh, Fitriani, menyampaikan terima kasih kepada Mabes VRI dan donatur yang sudah menyahuti permintaan warga Serasah untuk membangun jembatan gantung ini. Meskipun VRI Regional Aceh belum lama terbentuk, tetapi sebagai bentuk partisipasi aktifnya, VRI Regional Aceh menurunkan empat personelnya sebagai relawan pembangunan jembatan gantung tersebut.

Fitri berharap kehadiran VRI Regional Aceh bisa menjembatani kebutuhan masyarakat Aceh, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan jembatan gantung di daerah-daerah pelosok. Di samping itu juga bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan rescue atau penyelamatan saat terjadi bencana. Fitri menegaskan bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan VRI berbasis pada semangat kesukarelawanan yang tidak berorientasi profit.
“Pembangunan jembatan ini murni gerakan sosial VRI sebagai bentuk sumbangsih kami kepada masyarakat. Jadi, tidak ada unsur mencari keuntungan di sini. Kami terus mengajak masyarakat untuk senantiasa saling peduli dan bisa berkontribusi sesuai dengan kemampuan masing-masing.”[]
7 tanggapan untuk “Jembatan Penghubung Asa di Lae Cinendang”
Semoga jadi tambah semangat belajarnya dg adanya akses jembatan gantung.
Aamiin…
sungguh usaha yang mulia. Harusnya pemda ikut bergerak membantu, namun tim VRI tetap semangat hingga selesai. sehat selalu buat tim VRI, dan semoga jadi motivasi buat pemerintah untuk memprioritaskan masyarakat yang terisolasi di daerah lain agar dapat hidup dengan nyaman dan aman. karena itu salah satu hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Mengikuti amanah undang2 dasar 45.
Semoga kebaikan para relawan dibalas dengan pahala yang banyak oleh Allah Swt.
Allhamdulilah, rasa syukur saya ucapkan kepada Allah SWT. Dan ribuan ucapan terimakasih saya ucapkan kepada tim VRI ekspedisi 1000 jembatan gantung untuk Indonesia yg telah membangun jembatan penghubung antara desa cibu bukan dan desa serasah ini. Jujur saja saya sangat bahagia atas jembatan yg telah di bangun ini , saya merupakan pemuda dari desa serasah yang sedang menempuh pendidikan di USK banda Aceh, selama kurun waktu 17 tahun saya merasakan betapa sulitnya akses penyeberangan ke desa cibu bukan untuk melakukan aktivas sehari-hari seperti yang telah di rasakan oleh masyarakat setempat Namun dengan adanya jembatan ini saya berharap dapat menjadi jalan untuk menuju kehidupan yang lebih baik lagi.
Ayo, semangat selesaikan kuliahnya biar bisa pulang kampung membangun desanya.
Semoga dengan Adanya jembatan gantung sebagai penghubung desa serasah Dan cibubukan ini menjadikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dan menjadi penyemangat bagi anak-anak sekolah untuk disiplin waktu datang ke sekolah.
👍👍👍