Banda Aceh — Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat Komisioner Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Akmal Abzal, menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaran pemilu di Aceh. Secara umum, masyarakat dapat berpartisipasi sebagai pemilih maupun untuk dipilih dengan terlibat langsung sebagai peserta pemilu.
Namun, kata dia, masyarakat juga dapat berkontribusi dalam mengedukasi publik terkait kepemiluan karena keterbatasan penyelenggara pemilu yang tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Hal itu disampaikan Akmal Abzal dalam diskusi publik bertema Warga Berdaya Pelopor Pemilu Jujur dan Adil yang diselenggarakan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui Koordinator Jurnalis Warga Banda Aceh, Selasa, 24 Januari 2024. Diskusi ini berlangsung di kantor LSM Flower Aceh di Jalan Kebun Raja, Ulee Kareng.
“Banyaknya warga dengan profesi dan strata sosial yang berbeda membuat penyelenggara tak mampu menembus seluruh lapisan masyarakat,” kata Akmal.
Peran warga dalam mengedukasi bisa lebih efisien karena berkomunikasi dengan bahasa masyarakat, seperti mengedukasi mereka agar tidak terkecoh dengan informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang mudah sekali masuk ke ruang-ruang privasi individu melalui WhatsApp atau konten-konten berbasis internet yang masif muncul di musim pemilu.
Kemudian juga bisa mengedukasi mengenai dampak buruk politik uang yang berakibat pada rendahnya mutu pemimpin. Dampak jangka panjangnya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan semangat publik.
Akmal juga menekankan pentingnya masyarakat untuk tidak mudah terpecah belah akibat fanatisme politik karena “cinta buta” pada salah satu sosok. Karena sikap fanatisme buta itu kemudian melahirkan kebencian pada kelompok lain, bahkan tanpa sadar menjadi penebar fitnah.
“Jangan sampai gara-gara politik kita kehilangan identitas sebagai muslim. Di sisi lain, kepentingan-kepentingan politik segelintir orang yang tidak terakomodasikan oleh penyelenggara pemilu sehingga dimunculkan fitnah-fitnah keji bagi penyelenggara,” kata Akmal.
Salah satu yang mencuat dalam diskusi ini ialah polemik seleksi calon anggota panitia pemungutan suara (PPS) yang ditengarai publik tidak transparan dan sarat nepotisme. Pertanyaan terkait ini muncul dari salah seorang jurnalis warga yang mempertanyakan mengapa ada pelamar yang nilai CAT-nya tinggi, tetapi tidak masuk pada tahapan selanjutnya yakni tahapan wawancara.
Perihal ini, Akmal menjelaskan bahwa jika masyarakat menemukan adanya indikasi pelanggaran dalam penyelenggaraan tahapan pemilu, dipersilakan untuk mempertanyakan langsung kepada pihak penyelenggara. Namun, ia juga menekankan pentingnya melakukan cek dan ricek, tidak hanya menuding berdasarkan asumsi. Misalnya, hal-hal yang diketahui publik bisa saja berbeda dengan aturan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya, penyelenggara tetap berpegang pada mekanisme aturan yang berlaku.
Sebagai contoh kata Akmal, pernah suatu ketika dalam ujian tertulis panitia hanya mengambil nilai 15 besar tertinggi, tetapi karena ada tiga peserta dengan skor yang sama, maka ketiganya tetap dihitung masuk dalam 15 besar, bukan 18 besar. Informasi-informasi seperti ini menurutnya terkadang tidak sampai kepada publik, di sisi lain penyelenggara juga kurang energi atau sumber daya untuk menjelaskan hal-hal yang sangat teknis seperti itu.
Oleh karena itu, Akmal berharap warga yang sudah teredukasi bisa berperan aktif dalam mengedukasi individu lain, misalnya dengan memanfaatkan media sosial. Ia tak menampik bahwa keberpihakan pada sosok tertentu merupakan fitrah manusia, tetapi jangan sampai karena itu membenarkan hal-hal tidak terpuji seperti menghujat dan menebar fitnah.
“Warga jangan mau dijadikan alat politik, buatlah simpul-simpul dengan partai, buat kontrak politik yang jelas supaya nanti bisa diawasi bersama, kalau kontrak politik tidak dipenuhi, masyarakat bisa mencabut dukungannya kepada sosok tersebut,” ujarnya.[]