TULISAN OYSTER CHIP dengan tiga bintang berwarna kuning emas terlihat mencolok di kemasan yang didominasi hijau tua. Di bagian atas kemasan ada logo kartun dengan topi khas Aceh dan bertuliskan jenama Kiboy by Natural Food. Di bawahnya, terdapat “potongan-potongan” kerupuk yang menawarkan rasa gurih dan kriuk. Benar saja, saat saya mencicipi kerupuk yang ada di dalamnya, rasanya memang gurih dan kriuk-kriuk. Enak juga dijadikan tambahan sebagai lauk untuk makan.
Oyster Chip adalah camilan berupa kerupuk yang dibuat dari bahan baku tiram. Camilan ini diproduksi oleh ibu-ibu di Dusun Podia Mad, Desa Alue Naga, Kota Banda Aceh. Daging hewan bercangkang yang menjadi bahan baku utama camilan ini juga merupakan hasil budi daya yang dipanen oleh ibu-ibu di dusun itu. Sekitar lima puluh ibu rumah tangga di sana kini menjadi penggerak ekonomi keluarga yang terlibat sebagai petani maupun pengolah kerupuk tiram.
Desa Alue Naga merupakan salah satu desa pesisir di Kota Banda Aceh. Desa ini berjarak sekitar tujuh kilometer ke arah timur dari jantung kota. Terletak di Kecamatan Syiah Kuala, desa ini terbagi menjadi empat dusun, masing-masing Dusun Buenot, Musafir, Kutaran, dan Podia Mad. Antara Dusun Buenot dan Musafir dengan Dusun Kutaran dan Podia Mad dipisahkan oleh sungai (krueng) yang bermuara ke laut. Sungai ini menjadi salah satu urat nadi bagi warga Alue Naga untuk menopang ekonomi mereka. Jika para prianya banyak yang berprofesi sebagai nelayan, maka para perempuannya banyak yang berprofesi sebagai pencari tiram. Saban sore Alue Naga juga ramai dikunjungi wisatawan lokal. Itu sebabnya di antara warganya juga ada yang menjadi pedagang makanan.
Saat tsunami pada 26 Desember 2004 silam, Alue Naga termasuk salah satu desa yang porak-poranda. Bukan hanya merenggut banyak korban jiwa, tsunami juga turut mengubah tata letak desa ini karena mengalami pengurangan wilayah akibat bergesernya garis pantai. Belasan tahun setelah tsunami berlalu, berangsur-angsur kehidupan di sini mulai normal kembali, termasuk pada cara masyarakatnya yang bertahan hidup dengan mengandalkan potensi alam pesisir. Salah satunya adalah tiram yang hidup di sungai dan area payau sekitarnya.
Tiram-tiram itu kemudian dijual ke agen-agen pengepul. Sebagian ibu-ibu memilih menjual sendiri atau mengolah tiramnya untuk mendapatkan harga lebih. Tak heran jika di bantaran sungai terdapat banyak lapak nyak-nyak atau ibu-ibu yang menjual tiram, kepiting, ataupun kerang.
Sejak dua tahun belakangan ini, tiram-tiram yang ada di Dusun Podia Mad tidak lagi sepenuhnya dijual segar kepada agen atau pengepul. Tiram-tiram itu diolah menjadi kerupuk yang dikemas dan dipasarkan dengan jenama Kiboy. Hasilnya, tiram-tiram Alue Naga kini bisa “nangkring” di sejumlah gerai makanan, swalayan, dan toko souvenir. Tidak hanya bisa dinikmati sebagai lauk pelengkap hidangan, tetapi sebagai makan ringan untuk teman di kala santai.
“Tidak hanya di Banda Aceh saja, camilan ini juga kita pasarkan sampai ke Jakarta, tepatnya di M-Bloc Market. Sering juga kami ikutkan dalam pameran-pameran UMKM yang dibuat oleh instansi,” kata Risna saat berbincang akhir September 2021 lalu.
Risna adalah sosok kunci di balik layar lahirnya produk turunan dari tiram ini. Berkat keseriusannya mendampingi ibu-ibu tersebut, tiram-tiram dari Alue Naga bisa dinikmati masyarakat dari berbagai daerah sebagai oleh-oleh. Namun, yang lebih penting, kehadiran produk turunan ini telah memberikan nilai ekonomi lebih bagi kelompok perempuan di desa tersebut.
Risna Erita, S.Pd. namanya. Usianya baru beranjak dua puluh lima tahun saat ini. Ia baru saja lulus dari Universitas Bina Bangsa Getsempena Banda Aceh ketika direkrut sebagai tenaga magang oleh Lembaga Penelitian dan Pelatihan Natural Aceh pada 2018. Lembaga inilah yang sejak beberapa tahun lalu menjadikan sekelompok ibu-ibu di Alue Naga, khususnya Dusun Podia Mad sebagai binaan mereka. Setahun kemudian Risna akhirnya dipercayakan menjadi program manager, menggantikan posisi senior/atasan yang melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Dengan posisinya itu, Natural Aceh kemudian memercayakan Risna untuk bertanggung jawab penuh pada Divisi Natural Food dalam pembinaan dan pendampingan ibu-ibu di Dusun Podia Mad.
“Desa Alue Naga ini merupakan salah satu desa penghasil tiram di Banda Aceh, selama ini pemanenan tiram di sini dilakukan secara konvensional, yakni dengan mengutip tiram-tiram yang tumbuh secara alami di batu-batu atau karang di sungai,” kata Risna, “tetapi sejak Natural Aceh masuk beberapa tahun lalu, sudah ada inovasi baru, baik pada cara budi daya tiram ataupun produksi produk turunan yang lebih bernilai ekonomis,” kata Risna saat ditemui di rumah produksi tiram Natural Aceh di Alue Naga.
Pada ibu-ibu di sana diperkenalkan sistem floating culture atau model peternakan tiram terapung. Jika selama ini tiram-tiram itu berkembang biak secara alami di bebatuan atau karang-karang, dengan model floating culture ini tiram-tiram itu akan berkembang biak di material-material khusus yang ditaruh di dalam air seperti galon atau ban bekas. Cara ini membuat proses pemanenan jadi lebih efektif dan hemat waktu. Selain itu juga bisa menjadi solusi untuk mendaur ulang limbah. Natural Aceh juga menyulap kawasan tambak di daerah itu sebagai lokasi baru untuk budi daya tiram. Tak hanya itu, Natural Aceh juga menanam bakau di kawasan tambak yang menjadi lokasi peternakan tiram untuk mendukung ekosistem pesisir sekitar.
Setelah program budi daya tiram ini berjalan, Risna kemudian menginisiasi ibu-ibu tersebut untuk mendapatkan pelatihan pengolahan produk dari tiram. Dari puluhan ibu-ibu yang selama ini dibina, enam di antaranya diandalkan sebagai tenaga produksi dan satu di antara mereka ditunjuk sebagai ketua kelompok.
“Kelompok kecil inilah yang diandalkan untuk mengolah tiram-tiram itu menjadi kerupuk, nuget, dan juga hidangan cepat santap seperti kari dan pepes tiram, tetapi kalau untuk prospek, kerupuk tiram yang lebih menjanjikan,” kata Risna.
Tantangan selanjutnya kata Risna, ialah mencari akses untuk memasarkan kerupuk tiram yang sudah dihasilkan oleh ibu-ibu tersebut. Diakui Risna, awalnya memang tidak mudah. Ia mendatangi satu demi satu toko-toko yang ada di Banda Aceh dan dinilai potensial untuk memasarkan produk kerupuk tiram, seperti toko souvenir yang ada di kawasan Peunayong Banda Aceh. “Kini setidaknya ada sekitar 30 toko yang kami titip jual oyster chip. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya, karena meskipun kita sudah menghasilkan produk yang bagus, tetapi kalau pemasarannya tidak jalan kan tidak bisa mendatangkan profit juga,” katanya.
Walau bagaimanapun, Risna bertanggung jawab pada kesejahteraan anggota kelompok produksi karena upah yang dibayarkan kepada mereka sangat bergantung pada hasil penjualan produk.
Untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, Risna juga memasarkannya secara online di beberapa market place dengan nama akun Kiboy Food. Dia juga membuat sekaligus menjadi pengelola akun Instagram @kiboy_place dan @kiboy-food sebagai tempat untuk men-display camilan tiram ini secara online.
Ke depan, tidak hanya daging tiram yang akan diolah, tetapi cangkang tiram yang kaya akan kandungan kalsium dan magnesium juga akan diolah menjadi bubuk cangkang tiram. Risna juga berencana untuk mengolah pupuk kompos dengan memanfaatkan limbah dedaunan yang berlimpah di Podia Mad.
Kehadiran Risna melalui Natural Aceh dirasakan betul nilai positifnya oleh Yusniar, salah seorang anggota tim produksi yang sekaligus dipercayakan sebagai ketua kelompok. Sebelum hadirnya Natural Aceh kata Yusniar, dirinya yang sebelumnya sudah mendapat pembekalan dari Pusat Layanan Usaha Terpadu tentang cara pengolahan tiram pun membuat nuget tiram. Kemudian dia menjajakan sendiri hasil produksinya ke kantor-kantor pemerintahan.
Kondisi ini tak jarang membuatnya kelelahan, tenaganya tidak hanya terkuras untuk proses produksi, tetapi juga dinilai sangat tidak efisien karena harus berkeliling untuk menjual produk. Belum lagi risiko jika produk tak laku. Namun, setelah proses pemasaran diambil alih oleh Risna, ia tidak perlu lagi pusing untuk urusan pemasaran. Yusniar pun jadi lebih punya waktu luang bersama anak-anaknya di rumah. Apalagi selama pandemi yang intensitas dengan anak dirasakan cukup tinggi karena harus mendampingi mereka untuk belajar daring.
Selain itu, sejak didampingi oleh Risna, ibu-ibu ini juga dilatih ulang cara mengolah tiram yang sehat.
“Kalau sekarang fokus saya cuma di produksi saja, secara tenaga jauh lebih hemat karena saya tidak perlu lagi memikirkan pemasaran, kalau soal penghasilan memang agak kurang-kurang dikit dari yang sebelumnya, tetapi itu nggak masalah buat saya,” kata Yusniar.
Hal yang sama berlaku pula bagi ibu-ibu lain yang fokus pada mengambil tiram, dengan hadirnya Natural Aceh dan rumah produksi tiram, ibu-ibu itu tidak perlu lagi menjual tiram-tiramnya ke pengepul. Setelah dipanen, tiram bisa langsung dijual kepada Natural Food. Jika sebelumnya hanya mengandalkan tiram yang hidup di sungai, sejak ada penambahan lokasi peternakan tiram oleh Natural Aceh, panen yang dihasilkan pun bisa lebih banyak.
“Harga yang kita beli di atas harga yang mereka jual kepada agen, tetapi memang agak lebih miring dibandingkan mereka jual sendiri, tetapi hasil panen mereka langsung kita tampung,” kata Direktur Natural Aceh, Zainal Abidin Suradja, Rabu, 6 Oktober 2021.
Sosok yang Gigih
Risna awalnya adalah seorang mahasiswa magang di Natural Aceh. Namun, berkat kegigihan dan keseriusannya berkecimpung di masyarakat, Natural Aceh lantas mengangkatnya menjadi program manager. Zainal menuturkan, sosok Risna tidak saja memiliki kemampuan secara teknis, tetapi dia juga bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Ia sosok yang komunikatif. Dan, seperti yang diketahui, komunikasi yang lancar menjadi salah satu kunci keberhasilan program-program yang dijalankan di masyarakat. Kadang-kadang Risna juga menginap di rumah produksi Natural Aceh yang ada di Podia Mad. Dengan cara ini, kedekatan yang terbangun antara Risna dengan warga tidak hanya sebatas urusan pekerjaan.
“Risna punya kemampuan yang bagus dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat dan lingkungan, dia punya passion di situ, tidak semua orang punya dedikasi seperti Risna. Kalau tahun ini tidak pandemi dia sudah ke Meksiko untuk mengikuti sebuah konferensi,” kata Zainal.
Sebagai contoh kata Zainal, belum lama ini Natural Aceh menerima dana dari salah satu instansi untuk program menanam mangrove di Kabupaten Simeulue. Salah satu kabupaten di Aceh yang berada di perut Samudra Hindia. Meski secara nominal jumlahnya terbatas, tetapi Risna sangat bertanggung jawab dan mengantar sendiri dana tersebut ke Kabupaten Simeulue. Untuk memudahkan mobilisasinya, Risna mengendarai sepeda motor, dilanjutkan naik kapal laut untuk menyeberang ke pulau. Namun, jarak Banda Aceh ke Simeulue bukanlah jarak yang dekat. Setidaknya, ada enam kabupaten yang harus dilalui. Pergi melintasi pesisir barat selatan Aceh dengan sepeda motor bisa dibilang sebuah “kegilaan”.
“Dalam perjalanan itu Risna bahkan sampai mengalami kecelakaan, yang jatahnya tiga hari di sana jadi tertahan selama seminggu di Simeulue karena ada badai dan kapal tidak bisa berlayar, kalau orang lain mungkin sudah menyerah dengan kondisi seperti itu, tetapi dia sangat totalitas.”
Keputusan Zainal memilih Risna sebagai pendamping ibu-ibu di Alue Naga tidaklah salah. Risna dinilai mampu mengemban tanggung jawabnya dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari terobosan-terobosan yang diupayakan oleh Risna kepada ibu-ibu di sana. Natural yang semula hanya berorientasi pada kegiatan-kegiatan penelitian dan pelatihan, belakangan mulai memperluas program dengan mengembangkan social enteprise atau perusahaan sosial untuk membangun komunitas masyarakat. Salah satu yang sudah menunjukkan hasil positif adalah budi daya tiram di Alue Naga dengan output-nya kerupuk tiram.
Risna Erita lahir di Ujung Padang, Aceh Selatan, pada 1 September 1996. Pendidikan SD hingga SMA ia habiskan di kampung halaman dan hijrah ke Banda Aceh untuk melanjutkan kuliah di Universitas Bina Bangsa Getsempena di Fakultas FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan lulus pada 2018. Jiwa organisasinya telah tumbuh sejak di bangku sekolah dan semakin terasah setelah duduk di bangku perguruan tinggi. Sejumlah prestasi pun telah diraihnya, seperti menjadi delegasi Indonesia perwakilan Aceh dalam forum International Global Goals Summit 30 Negara di Kuala Lumpur, Duta Aksi Global (Global Goals Action Ambassador 2020, Duta Pepelingasih (Pemuda Peduli Lingkungan Asri dan Bersih) Indonesia Provinsi Aceh 2020, finalis usaha bidang teknopreneur WMP Kemenpora RI 2020, 100 besar finalis usaha kuliner kreatif Indonesia food start up Indonesia MMXX. Risna juga terpilih sebagai Pemuda Berprestasi Aceh 2020 oleh Dinas Pemuda dan Olahraga, dan baru-baru ini ia terpilih sebagai The Country Winner (Indonesia) of Youth World Cup 2021 in Climate Action Category.
Sebagai seorang lulusan perguruan tinggi, di tengah tingginya animo lulusan muda untuk menjadi pegawai negeri sipil, Risna malah tak berminat untuk bekerja di pemerintahan. Ia begitu menikmati pekerjaannya bekerja di tengah-tengah masyarakat.
“Bekerja di masyarakat membuat kita bertumbuh, kerja-kerja yang tidak hanya berorientasi pada profit semata membuat kita lebih berkembang dan saya sangat menikmati aktivitas ini,” ujarnya di pengujung obrolan.
Karena motivasi itulah, meski tugasnya di Podia Mad hanya untuk membina ibu-ibu, tetapi dengan basic pendidikan sebagai guru, Risna juga mendidikasikan waktunya untuk mengajar les anak-anak di sana.[]
Satu tanggapan untuk “Penggerak Perempuan Pesisir di Alue Naga Banda Aceh”
Bekerja di masyarakat membuat kita bertumbuh, kerja-kerja yang tidak hanya berorientasi pada profit semata membuat kita lebih berkembang dan saya sangat menikmati aktivitas ini,” ujarnya di pengujung obrolan.
Karena motivasi itulah, meski tugasnya di Podia Mad hanya untuk membina ibu-ibu, tetapi dengan basic pendidikan sebagai guru