Perkenalan Diri yang Canggung
Sinar matahari pada siang hari di sini sangatlah berbeda dibanding ketika berada di tengah hiruk pikuk Kota Banda Aceh. Di sini, saya merasa sangat kedinginan, meski cuaca tampak cerah. Hari ini merupakan kali pertama bagi saya berjumpa dengan anak-anak remaja Desa Bah. Kening saya mengerut ketika mendapati tubuh dan wajah anak-anak, yang usianya terpaut sepuluh tahun lebih muda dari saya, tampak lebih dewasa ketimbang saya. Anak remaja yang berusia setingkat pendidikan SMA dan SMP semuanya perempuan. Sementara yang lainnya sudah melanjutkan ke sekolah agama. Sehingga yang hadir di hari pertama dalam program Guru Impian Desa Bah itu hanya sembilan orang.
Riuhnya percakapan jiwa-jiwa muda kekinian, yang dulunya tentu juga pernah saya alami, sebagai gadis remaja adalah hal biasa. Ketika memiliki handphone, anak-anak cenderung merayakannya dengan berswafoto bersama teman-temannya. Saya tidak heran karena masa muda semacam itu memang menyenangkan, semisal tampil narsis di depan kamera. Namun di sisi lain kelompok yang saya sebut “Arisan PKK” berbeda dengan beberapa anak lainnya yang terlihat “biasa saja” bagi saya.
Pada akhirnya, perkenalan awal tersebut pun diakhiri dengan berswafoto bersama mereka. Tentu tindakan tersebut murni permintaan mereka. Saya hanya menuruti. Hal itu merupakan langkah awal yang bagus untuk berkenalan dan memupuk relasi, bukan? Walau merasa kacau harus ikut bergaya layaknya anak-anak itu, minimal saya ikut tersenyum ceria. Awalnya, saya berpikir akan sulit memasuki dunia para remaja, apalagi mereka yang menggilai K-Pop. Namun pada kenyataaanya, saya justru mampu menjalin pertemanan baru. Mencoba menjadi bagian dari mereka melalui memahami kegemaran mereka, berdialog tentang apapun yang mereka senangi termasuk berbincang tentang pernikahan atau K-pop.
Oh iya, baru-baru ini saya mendapat kabar bahwa Dea-salah seorang anak remaja Desa Bah-semakin meningkat prestasinya setelah belajar bersama Guru Impian. Saya pikir hal itu merupakan sebuah prestasi besar Di kelas, Dea adalah anak yang lumayan aktif, dia sering mengajak saya berbicara. Dia sering membuat pertanyaan yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya, tapi saya pikir inilah caranya berkomunikasi dengan saya.
Kelas Privat Pada Malam Hari
Sebelum masuk ke kelas konten, biasanya anak-anak diinisiasi untuk menentukan kelas yang akan diberikan kepada mereka. Kebetulan, saya memegang kelas remaja. Saya pikir modal pengalaman mengajar para remaja terdahulu akan memudahkan saya untuk mengajari anak-anak yang berada di kelas yang sama ketimbang mengajar anak-anak kelas dasar.
Selama proses belajar, saya mendapati kasus unik tentang seorang anak yang tidak paham baca-tulis kecuali menulis namanya sendiri. Hal tersebut baru saya ketahui saat meminta semua anak menuliskan biodata mereka. Melihat kertasnya masih kosong, saya terus saja menuntunnya menulis, sejauh yang dia mampu. Namun, dia hanya menyeringai. Lalu seorang teman di sebelahnya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menulis, barulah kemudian ia dibantu untuk menuliskan biodata. Namanya Sahara.
Sahara adalah anak terakhir dari lima bersaudara. Keempat kakaknya telah menikah semua. Menurut penuturan sang ibunda, kesemua anaknya bisa membaca kecuali Sahara. Sejak di bangku Sekolah Dasar, Sahara memang sudah menunjukkan ketidakmampuan mengenali huruf hingga akhirnya dia menyelesaikan tiap tingkat dari rasa iba para guru. Saat ini, dia sudah delapan bulan lulus dari bangku Sekolah Dasar. Potensi belajarnya semakin berkurang sebab dia tak paham baca-tulis.
Dari jauh, Sahara berjalan menghampiri saya dengan membawa sebuah tablet berwarna putih. Saya pun bertanya apa yang biasa dia lakukan dengan tablet itu. Dengan polosnya, dia menjawab digunakan untuk game. Mengetahui Sahara belum bisa baca tulis sementara ditangan anak remaja ini sudah disuguhkan tablet untuk bermain game sempat membuat saya geram. Malam itu saya memulai dengan mengajaknya menyebut huruf. Dia mampu melakukannya lalu membuat namanya berdasarakan urutan abjad. Saat saya memintanya menyebut satu huruf secara acak, dia tidak mampu sama sekali. Banyak huruf yang dituturkan terbalik-balik.
Saya tidak ingin menyebut ini sebagai tanggung jawab karena saya yakin kemampuan anak ini sepenuhnya disadari oleh dirinya sendiri. Saya hanya mencoba memfasilitasi dirinya untuk belajar baca-tulis dan setelah saya kembali pulang tantangannya apakah dia ingin belajar sendiri atau tidak. Tapi ketika saya bertanya tentang bagaimana nanti jika saya kembali ke Banda Aceh?
Dia pun menjawab, “Kalau bersama kakak saya bisa membaca” sebari tersenyum kecil dan malu-malu.
Pemilihan waktu belajar di malam hari ini saya pikir cukup efektif untuk Sahara agar dia dapat fokus. Saya mendengar darinya bahwa jika di rumah dia lebih sering memasak dan membersihkan rumah. Jika di rumah, dia tidak punya waktu untuk belajar. Menurut penuturan ibunya, Sahara lebih senang pergi ke kebun dari pada belajar. Selama proses belajar bersama kami, Sahara selalu datang setelah magrib. Begitulah kesepakatan kami. Selain itu, saya juga melarang Sahara untuk membawa tablet selama proses belajar.
Beberapa metode yang saya peroleh dari buku bacaan kadang jika itu relevan dengannya akan saya gunakan. Termasuk pendekatan untuk membuat dirinya merasa nyaman belajar baca-tulis. Saya bertanya kepada Sahara apakah dirinya benar-benar ingin belajar atau mengatakan bahwa “kalau kamu tidak bisa baca tulis bagaimana kalau nanti ada orang asing datang membawa beberapa dokumen dan dia meminta tanda tangan kamu. Tapi , karena kamu tidak bisa baca tulis kamu hanya mendengarkan ucapan mereka tanpa melihat isi dokumen itu” Dia hanya manggut-manggut dan masih dengan senyuman yang susah kumengerti. Bukan untuk menakuti-nakuti, tapi bukankah di zaman yang oleh Steve Tesich sebut sebagai era Post-Truth ini segala wacana yang menjadi sumber kebutuhan manusia modern bisa dimanipulasi (data manipulation).
Literasi dasar membantu mencegah anak untuk tidak hanyut dalam pengaruh Radikalisme Post-Truth di masa depan. Yang bisa kita bekali adalah bagaimana anak memiliki minat baca yang menyenangkan bagi mereka, mampu menulis dan memahami lingkungan sekitarnya. Sadar literasi berarti ikut memajukan peradaban dari pembodohan zaman yang terus mencoba menggerus orang-orang buta literasi untuk ikut menjadi kelompok penyebar kebohongan.
Kelas Adalah Taman Bermain
Anak-anak di desa Bah super aktif. Selalu saja ada pergerakan otau ocehan yang mereka bicarakan terutama anak-anak remaja dalam bahasa Gayo. Di sini, anak-anak akan datang lebih awal dari jam dimulainya kelas. Kegiatan ini merupakan bagian dari program Pustaka Kampung Impian. Jika yang dijadwalkan jam 13.30 WIB, mereka akan datang antara pukul 11.00 atau 12.00 WIB. Padahal di waktu tersebut, para Guru Impian masih sibuk mempersiapkan konten atau bahkan belum sempat sarapan. Namun, kedatangan anak-anak di waktu yang sungguh awal tersebut, apalagi mereka senang berteriak dan berlari ke sana ke mari, membuat suasana ruang terasa gerah.
Kebiasaan mereka ini saya pikir adalah sebuah upaya untuk diperhatikan. Mereka menyenangi kehadiran kami dan seolah-olah kami ini adalah makhluk asing yang jarang mereka jumpai. Bak seorang artis ibu kota mampir ke desa. Beragam cara mereka lakukan termasuk memberikan sesajian bunga mawar, jika tidak dalam pot maka tangkai bunga pun akan dipetik.
Di kelas, anak-anak tidak harus belajar dengan kaku; duduk dan memperhatikan apa yang disampaikan mentor. Anak-anak punya kebiasaan tengkurap saat menulis dan itu tidak lantas harus diubah. Kenyamanan belajar yang efektif paling mungkin untuk menumbuhkan minat belajar yang tidak mengekang di sekolah. Sekalipun nantinya mereka mau memanjat pohon untuk belajar itu pun tidak masalah. Sebab kita bukan mengajar anak-anak di kota yang terbiasa duduk di bangku empuk agar konsentrasi belajar. Anak-anak di sini lebih terbiasa belajar sambil tengkurap, memanjat, bahkan berlari-lari.
Beberapa anak yang saya temui selalu membawa serta adik-adiknya ke perpustakaan. Mereka bertugas menjaga adiknya selama orang tua mereka pergi berkebun. Namun, kehadiran kami tentu tak lantas mengalihkan tugas dan kebiasaan mereka. Pandangan bahwa anak sekecil itu sudah diberi tugas untuk menjaga adiknya merupakan hal keterlaluan mungkin dianggap kurang tepat. Jika itu dilakukan dengan terpaksa oleh mereka boleh saja kita mengira bahwa itu kekerasan terhadap anak. Namun inilah keseharian bagi mereka, bahkan jauh sebelum program ini ada. Merupakan hal yang wajar bila seorang anak berusia sembilan tahun menggendong bayi di pelukannya. Mereka tetap bisa ikut belajar meski bayi dipangkuan mereka.
Pernyataan Yang Memarginalkan
Sebelum Pameran Karya di Desa Bah kami laksanakan, kami menemui seorang lelaki untuk meminta izin menggunakan lahan untuk pameran. Lelaki ini merupakan pendatang dari kota beberapa bulan lalu. Dia bercerita tentang perbedaan didikan anak-anak kota dengan desa. Saya mendengarkan penuturannya dengan baik.
Jika anak-anak kota selain dapat belajar di sekolah ada dukungan orang tua yang ikut menyokong motivasi mereka untuk belajar. Lantas lelaki itu menyebut dengan serampangan bahwa orang-orang di desa ini masih primitif, sebutan untuk masyarakat yang tidak memiliki peradaban. Sebuah kata yang tak pantas diucapkan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi seperti dirinya. Saya menahan diri untuk tidak menyanggah. Tapi, sungguh, kata seperti primitif seharusnya tak harus diucapkan karena itu menyakitkan.
Kata-kata primitif sudah lama tidak digunakan oleh para akademisi di kalangan saya, bahkan kata primitif itu dilarang sama sekali. Kata primitif mencerminkan sekelompok masyarakat yang marginal, kotor, tidak berperadaban, dan bahkan tidak bersifat manusiawi. Kata itu tidak pantas dilontarkan untuk sekelompok manusia meski ia jauh dari peradaban kekotaan. Kita dibentuk oleh komunitas kita dan di sanalah kepribadian setiap individu mencerminkan kelompoknya.
Seorang anak yang lahir dari kelompok dengan kesadaran literasinya kurang bukan menjadi masalah besar bagi kelompoknya karena apa yang mereka percayai tidak sama dengan apa yang orang kota pikirkan. Sebagai contoh, anak desa Bah tidak melanjutkan sekolah ke jenjang Universitas karena alasannya mereka ingin berkebun saja di desa. Pada usia lima belas tahun mereka sudah memiliki kebun sendiri, mereka sudah diberi tanggung jawab untuk mengelola warisan yang telah dibagi oleh orang tua mereka. Kemampuan ini tentunya tak dimiliki oleh anak-anak kota untuk lihai dalam berkebun. Literasi dasar yang wajib mereka pahami sehingga mereka pandai baca tulis. Selebihnya adalah apa yang mereka butuhkan baik dari kelompoknya maupun dari dirinya sendiri. Saya yakin bahwa program ini tidak dirancang untuk membawa anak-anak keluar dari komunitasnya lalu sukses di kota sebagai orang yang lupa pada akar komunitasnya.[]